Senin, 27 Mei 2024

Posted by Rumah Ratu On Senin, Mei 27, 2024

 


Kolonialisme berasal dari kata “colonus” yang memiliki arti menguasai. Kolonialisme memiliki arti upaya sebuah negara untuk mengembangkan kekuasaannya di luar wilayah kekuasaan negara tersebut. Kolonialisme memiliki tujuan mencapai dominasi kekuatan dalam bidang ekonomi, sumber daya alam, sumber daya manusia, dan politik.

Wilayah koloni biasanya merupakan wilayah-wilayah yang memiliki kekayaan bahan mentah yang dibutuhkan oleh negara yang melakukan kolonialisme. Dalam kolonialisme, ada kepercayaan bahwa bangsa yang melakukan kolonialisasi jauh lebih superior dari bangsa yang dikoloni.


Sedangkan imperialisme berasal dari kata “imperium” dalam bahasa Latin, yang berarti kekuasaan tertinggi, kedaulatan, atau sekadar kekuasaan. Imperialisme merupakan kebijakan atau ideologi untuk memperluas kekuasaan atas negara lain dan penduduk asli negara tersebut, dengan tujuan memperluas akses politik dan ekonomi, kekuasaan dan kontrol, dan seringkali dilakukan dengan menggunakan kekuatan militer.

Perbedaan kolonialisme dan imperialisme terletak pada tujuannya. Kolonialisme berfokus pada penguasaan suatu wilayah dengan sumber daya alam tertentu untuk dibawa ke negeri asal penjajah. Sementara imperialisme berfokus dalam penguasaan politik dan pemerintahan negara yang lain untuk memiliki pengaruh terhadap negara tersebut.

Latar Belakang Kolonialisme dan Imperialisme di Indonesia

Kolonialisme dan imperialisme sudah dilakukan oleh bangsa Eropa sejak abad ke-15 di seluruh dunia, sampai akhirnya masuk ke nusantara (Indonesia). Pada saat itu, latar belakang bangsa Eropa masuk ke wilayah nusantara disebabkan oleh beberapa hal, seperti jatuhnya Konstantinopel di kawasan Laut Tengah ke kekuasaan Turki Usmani pada tahun 1453, merosotnya ekonomi dan perdagangan bangsa Eropa, serta terjadinya revolusi industri.

Perlu diketahui, kolonialisme dan imperialisme modern muncul setelah terjadinya revolusi industri karena bertujuan untuk mengembangkan perekonomian bangsa Eropa. Revolusi industri, membuat bangsa Eropa menciptakan kapal laut yang digunakan untuk menjelajah samudra demi mencari sumber daya di belahan dunia lain. Disamping itu, misi ini juga dilakukan untuk melanjutkan semangat Perang Salib.

Dalam upaya tersebut, bangsa Eropa mulai menyebar ke seluruh dunia, sampai akhirnya kolonialisme dan imperialisme di Indonesia pun terjadi. Di sisi lain, kejatuhan Konstantinopel ke tangan Turki Usmani pada tahun 1453, menyebabkan akses bangsa Eropa dalam mendapatkan rempah-rempah yang lebih murah di kawasan Laut Tengah menjadi tertutup dan membuat harga rempah-rempah di Eropa meningkat tajam. Bangsa Eropa kemudian terdorong untuk mencari dan menemukan wilayah-wilayah penghasil rempah-rempah ke dunia baru yang ada di timur Eropa.

Lama-kelamaan, mereka semakin berambisi menguasai berbagai negara untuk keuntungan ekonomi dan kejayaan politik mereka, terutama pada wilayah-wilayah seperti Indonesia yang merupakan penghasil rempah-rempah, seperti lada, cengkih, pala, dan lain-lain. Rempah-rempah yang dihasilkan di Indonesia mendorong mereka untuk melakukan kolonialisme dan imperialisme karena rempah-rempah pada masa itu menjadi komoditas yang sangat laris di Eropa. Bangsa Eropa kemudian menyebut nusantara sebagai Hindia.

Respon Bangsa Indonesia Terhadap Kolonialisme dan Imperialisme

Ada empat aspek utama yang terjadi di Indonesia setelah merespon sistem kolonialisme dan imperialisme, antara lain ekonomi dan politik, sosial dan budaya, seni dan sastra, serta pendidikan. Berikut penjelasannya:

Aspek Ekonomi dan Politik

Bangsa Indonesia pada masa kolonialisme dan imperialisme dirugikan dalam bidang ekonomi dan politik. Oleh karena itu, bangsa Indonesia melakukan perlawanan terhadap Portugis, VOC, dan pemerintahan Hindia Belanda. Beberapa perlawanan berupa perang akibat ekonomi dan politik in, di antaranya:

A.   Perlawanan Terhadap Portugis

Ada beberapa peristiwa besar yang terjadi akibat upaya bangsa Indonesia melawan penjajahan bangsa Portugis, antara lain:

1.    Perlawanan Kesultanan Ternate

Kebijakan monopoli perdagangan bangsa Portugis membuat Sultan Hairun memimpin perlawanan rakyat Ternate terhadap mereka. Sayangnya, Sultan Hairun berhasil ditangkap dan dihukum mati oleh bangsa Portugis pada tahun 1570. Meski demikian, perlawanan Kesultanan Ternate tidak berhenti di situ. Perjuangan Sultan Hairun kemudian dilanjutkan oleh Sultan Baabulah. 

Di bawah kepemimpinan Sultan Baabulan inilah Kesultanan Ternate berhasil mengusir bangsa Portugis dari Maluku pada tahun 1575. Bangsa Portugis yang terusir dari Maluku ini kemudian menyingkir ke Pulai Timor dan berkuasa di Timor Timur hingga menjelang akhir abad ke-20. 

2.    Perlawanan Kesultanan Demak

Selain di Ternate, bangsa Portugis juga melakukan praktik monopoli perdagangan mereka di Malaka. Praktik monopoli tersebut membuat para saudagar Muslim di Malaka merasa terganggu. Kesultanan Demak yang khawatir bangsa Portugis juga akan mengekspansi pulau Jawa dan merasa perlu menunjukkan solidaritas mereka terhadap Kesultanan Malaka dan para saudagar Muslim yang ada di Malaka, akhirnya memutuskan untuk menyerang bangsa Portugis.

Di bawah pimpinan Sultan Trenggono, Kesultanan Demak menyerang Sunda Kelapa pada tahun 1526 dan berhasil menguasai wilayah tersebut. Setahun kemudian, pada tahun 1527, bangsa Portugis yang saat itu tidak menyadari kalau Sunda Kelapa sudah dikuasai oleh Kesultanan Demak, datang untuk membangun benteng di sana.

Akibatnya, bangsa Portugis pun berhasil diusir oleh Kesultanan Demak di bawah kepemimpinan Fatahillah. Fatahillah kemudian mengganti nama Sunda Kelapa menjadi Jayakarta, yang berarti kemenangan yang gemilang.

3.    Perlawanan Kesultanan Aceh

Perlawanan Kesultanan Aceh terhadap bangsa Portugis dimulai pada tahun 1514–1540 di bawah kepemimpinan Sultan Ali Mughayat Syah. Pada masa itu Kesultanan Aceh berhasil mengusir bangsa Portugis dari wilayah Aceh. Perlawanan Kesultanan Aceh terhadap bangsa Portugis kemudian dilanjutkan oleh Sultan Alaudin Riayat Syah Al-Qahar pada tahun 1538–1571 dengan bantuan Turki.

Sultan Alaudin Riayat Syah, yang menjadi penggantinya, juga menyerang bangsa Portugis di Malaka pada tahun 1573 dan 1575. Sultan Iskandar Muda pun pernah menyerang bangsa Portugis di Malaka pada tahun 1615 dan 1629.

Sekalipun Sultan Iskandar Muda tidak berhasil mengusir bangsa Portugis, dari Malaka, perlawanan rakyat Aceh terus berlanjut sampai Malaka jatuh ke tangan VOC pada tahun 1641.

B.   Perlawanan Terhadap VOC

Ada beberapa peristiwa penting yang terjadi sebagai upaya bangsa Indonesia melawan penjajahan VOC, antara lain:

1.    Perlawanan Kesultanan Mataram

Awalnya, hubungan Kesultanan Mataram dengan VOC berjalan dengan baik, sampai-sampai Kesultanan Mataram mengizinkan VOC mendirikan benteng sebagai kantor perwakilan dagang di wilayah Jepara. Namun, lama-kelamaan Sultan Agung menyadari kalau keberadaan VOC membahayakan pemerintahannya.

Sultan Agung pun mulai menyerang VOC pada tahun 1628, tapi serangan pertama ini gagal dan mengakibatkan sekitar 1.000 prajurit Mataram gugur. Serangan kedua yang dilakukan pada bulan Agustus–Oktober 1629 pun mengalami kegagalan karena Kesultanan Mataram kalah persenjataan, kekurangan persediaan makanan (karena lumbung-lumbung persediaan makanan yang ada di Tegal, Cirebon, dan Karawang dimusnahkan VOC), jarak yang terlalu jauh, dan wabah penyakit yang menyerang pasukan Mataram. 

2.    Perlawanan Kesultanan Gowa

Perlawanan Kesultanan Gowa dimulai dengan pelucutan dan perampasan armada VOC di Maluku, di bawah kepemimpinan Sultan Hasanuddin. Perang Makassar pun pecah karena pelucutan dan perampasan armada tersebut. Perang Makassar berlangsung selama tiga tahun, dari tahun 1666–1669. Dalam Perang Makassar, VOC bersekutu dengan Arung Palaka, Raja Bone, yang saat itu berseteru dengan Kerajaan Gowa.

3.    Perlawanan Kesultanan Banten

Perlawanan Kesultanan Banten dimulai karena persaingan dagang dengan VOC dan gangguan VOC terhadap politik Kerajaan Banten. Sultan Ageng Tirtayasa pada akhirnya melawan VOC dengan bekerja sama dengan pedagang-pedagang asing lainnya, seperti pedagang Inggris.

Sultan Ageng kemudian menyerang kapal-kapal VOC yang ada di perairan Banten serta wilayah-wilayah yang berbatasan dengan Batavia, seperti peperangan di daerah Angke dan Tangerang pada tahun 1658–1659.

4.    Perlawanan Terhadap Pemerintahan Hindia Belanda

Awalnya, masa pemerintahan Hindia Belanda tidak lagi menerapkan praktik kolonialisme ala VOC, namun hal tersebut tak membuat praktik dagang dan kerja rodi berakhir. Saat Belanda kembali berkuasa, penindasan pun terjadi lagi di Indonesia, berikut penjelasannya:

5.    Perlawanan Rakyat Maluku

Perlawanan rakyat Maluku dilakukan karena mereka tidak mau orang Belanda kembali ke wilayah mereka. Saat Thomas Stamford Raffles berkuasa di Hindia Belanda, beberapa aturan VOC seperti praktik monopoli dagang dan kerja rodi tidak diterapkan.

Namun, saat Belanda kembali berkuasa pada tahun 1817, aturan-aturan yang menindas seperti praktik monopoli perdagangan cengkih dan kerja rodi kembali diterapkan. J.R van den Berg, Residen Saparua yang baru pada saat itu, juga dianggap tidak peka pada keluhan rakyat. Belanda juga memaksa para pemuda Maluku untuk menjadi tentara yang ditugaskan ke Jawa. 

6.    Perlawanan Rakyat Palembang

Perlawanan rakyat Palembang yang dipimpin oleh Sultan Baharuddin terjadi karena Belanda berusaha menguasai Palembang yang memiliki letak strategis dan kaya akan barang (Kepulauan Bangka Belitung).

Sultan Baharuddin kemudian memimpin penyerangan ke benteng-benteng pertahanan Belanda. Saat pergantian kekuasaan dari Belanda ke Inggris terjadi pada tahun 1811 karena Perjanjian Tuntang, Inggris memusatkan sebagian besar perhatiannya ke pulau Jawa.

Sultan Baharuddin pun memanfaatkan kondisi ini dengan menyerang garnisun Belanda di Palembang. Sultan Baharuddin juga menentang keberadaan Inggris di wilayah kekuasaannya. Inggris yang tidak menyukai perlawanan dari Sultan Baharuddin pun menyerang Palembang pada tahun 1812. Mereka menjarah isi istana dan melantik Ahmad Najamuddin, adik Sultan Baharuddin, menjadi Sultan.

7.    Perlawanan Rakyat Sumatera Utara

Perlawanan rakyat Tapanuli di bawah kepemimpinan Raja Sisingamangaraja XII terjadi karena Belanda ingin menjajah Tapanuli dengan membentuk Pax Neerlandica (ambisi Belanda menguasai seluruh Nusantara). Keinginan Belanda inilah yang menyebabkan terjadinya Perang Tapanuli pada tahun 1870–1907.

Aspek Sosial dan Budaya

Perlawanan bangsa Indonesia terhadap kolonialisme dan imperialisme juga dilakukan dalam bentuk gerakan sosial-budaya. Beberapa gerakan tersebut adalah sebagai berikut: 

1.    Gerakan Sosial di atas Tanah Partikelir

Gerakan sosial ini adalah bentuk protes dan perlawanan atas peraturan Belanda yang tidak adil, serta rasa tidak puas atas kondisi sosial-ekonomi yang kurang memberikan tempat bagi kehidupan para pelaku dan pendukung gerakan sosial ini. Gerakan sosial ini muncul di kalangan petani yang merasakan ketidakadilan karena praktik penjualan atau pemberian hadiah tanah oleh Pemerintah Belanda kepada perseorangan atau swasta, yang kemudian menjadi tuan tanah.

Tanah inilah yang kemudian menjadi tanah partikelir (swasta). Para tuan tanah tersebut merasa memiliki hak untuk menindas penduduk yang ada di tanah partikelir mereka. Penduduk di tanah tersebut diharuskan menyerahkan hasil garapan mereka dan memeras tenaga mereka selayaknya budak. 

Aspek Seni dan Sastra

Seni sastra pada masa perjuangan melawan kolonialisme dan imperialisme juga memiliki peranan yang sangat penting. Karya-karya sastra yang lahir pada masa itu menyuarakan ketidakadilan yang dialami oleh para pribumi karena kolonialisme dan imperialisme yang dilakukan oleh bangsa Belanda ke luar Hindia Belanda, termasuk ke negara Belanda sendiri.

Karya-karya sastra pada masa itu juga membangkitkan semangat kemerdekaan bagi para pembacanya. Beberapa sastrawan pada masa itu dan karya sastra mereka adalah sebagai berikut:

Eduard Douwes Dekker: Max Havelaar

Eduard Douwes Dekker merupakan nama pena dari Multatuli, seorang Belanda yang peduli pada nasib kaum pribumi. Nama Multatuli sendiri diambil dari bahasa Latin yang berarti “banyak yang sudah aku derita”. Kepedulian Douwes Dekker ini kemudian dituangkan dalam novelnya yang berjudul Max Havelaar (1860). Novel inilah yang kemudian menjadi inspirasi pergerakan nasional Indonesia serta mendorong sastrawan-sastrawan Indonesia menuangkan pemikiran mereka mengenai penjajahan Belanda, khususnya angkatan Pujangga Baru (1933–1942).

Mas Marco Kartodikromo: Student Hidjo dan Rasa Merdeka

Mas Marco merupakan keturunan priyayi rendahan di Cepu, Blora, Jawa Tengah. Mas Marco bergabung dengan Medan Prijaji yang menjadi surat kabar yang menyuarakan pemikiran pribumi terpelajar.

Medan Prijaji ini dipimpin oleh Tirto Adhi Suryo. Saat bekerja di Medan Prijaji, Mas Marco bertemu dengan Ki Hajar Dewantara dan Douwes Dekker, yang kemudian menjadi bagian dari Indische Partij.

Lewat tulisan-tulisannya, Mas Marco mengajak kaum terdidik Indonesia pada masa itu untuk membangun kesadaran politik masyarakat pribumi. Kesadaran politik ini dianggap penting untuk menggerakkan masyarakat pribumi untuk bergerak melawan pemerintahan kolonial dalam kesetaraan dan solidaritas.

Tulisan-tulisannya inilah yang kemudian membuat Mas Marco ditangkap dan dibuang oleh pemerintah kolonial ke Boven-Digoel, Papua, pada tahun 1926. Mas Marco kemudian meninggal di sana pada tahun 1932 karena malaria.

Soewarsih Djojopoespito: Manusia Bebas

Soewarsih merupakan pengarang perempuan yang menulis novel “Manusia Bebas” pada tahun 1940. Novel tersebut diterbitkan dalam bahasa Belanda dengan judul “Buiten het Gareel” yang berarti “Di Luar Kekang”.

Novel ini berkisah mengenai para pendiri dan guru “sekolah liar” yang tak pernah putus asa walau hidup serba kekurangan dan tak pernah mengenal takut sekalipun diawasi dan diancam ditangkap pemerintah kolonial Hindia Belanda. Sekolah liar pada masa penjajahan Belanda adalah sekolah-sekolah swasta yang didirikan oleh para tokoh pendidikan Indonesia untuk memajukan pendidikan bagi masyarakat pribumi.

Aspek Pendidikan

Perjuangan para pahlawan Indonesia dalam bidang pendidikan merupakan salah satu perjuangan paling penting dalam melawan kolonialisme dan imperialisme Belanda. Para tokoh pendidikan di masa penjajahan Belanda membangun sekolah-sekolah swasta untuk memajukan pola pikir dan menumbuhkan semangat nasionalisme masyarakat pribumi.

Sekolah-sekolah swasta ini kemudian dianggap sebagai “sekolah liar” oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda karena dianggap mengancam kedaulatan dan kekuasaan mereka di Indonesia. Dua di antara sekolah swasta yang dibangun pada masa itu adalah sebagai berikut: 

 

 

Indisch Nederlandse School Kayu Tanam

Indisch Nederlandse School Kayu Tanam didirikan di Kayu Tanam, Padang, pada tanggal 31 Oktober 1926 oleh Mohammad Syafei, tokoh pendidikan nasional yang pernah menjabat sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia ketiga dalam Kabinet Sjahrir II. Sekolah ini kemudian melahirkan beberapa nama besar dalam sejarah politik dan seni nasional, seperti Ali Akbar Navis, Mochtar Lubis, dan Tarmizi Taher.

Mohammad Syafei sangat menekankan pentingnya pendidikan bagi bangsa Indonesia karena melalui pendidikan, bangsa Indonesia dapat mengembangkan rasa nasionalisme. Visi pendidikan Mohammad Syafei adalah head, heart, dan hand.  

Head berarti sekolah memfasilitasi para siswanya untuk mampu berpikir rasional, heart berarti sekolah memfasilitasi para siswanya menjadi pribadi dengan karakter yang mulia, dan hand berarti sekolah memfasilitasi para siswanya agar dapat memiliki keterampilan yang nyata sesuai dengan bakat yang dikaruniakan Tuhan kepada masing-masing orang.

Taman Siswa

Taman Siswa didirikan pada tanggal 3 Juli 1922 oleh Ki Hajar Dewantara di Yogyakarta. Taman Siswa menjadi salah satu organisasi pergerakan yang bergerak di bidang pendidikan pada masa perjuangan kemerdekaan Indonesia. Ki Hajar Dewantara menerapkan tiga konsep pengajaran di Taman Siswa, yaitu ing ngarso sung tulodo, ing madya mangun karsa, dan tut wuri handayani.

Ing ngarso sung tulodo memiliki arti bahwa para guru memiliki tanggung jawab dalam memberikan pendidikan dan harus mampu memberi contoh sikap dan perilaku yang baik, agar dapat menjadi teladan bagi para siswanya.

Ing madya mangun karsa memiliki arti bahwa guru harus mampu memberikan motivasi yang baik pada para siswanya dan memberikan bimbingan yang terus-menerus supaya para siswanya mampu berkembang sesuai dengan bakat dan minat mereka.

Sementara Tut wuri handayani memiliki arti bahwa guru wajib membimbing para siswanya agar dapat menggali sendiri pengetahuannya dan menemukan makna dari pengetahuan yang mereka peroleh, agar pengetahuan mereka dapat berguna bagi kehidupan mereka.

 

0 comments:

Posting Komentar