Kolonialisme berasal dari kata “colonus” yang
memiliki arti menguasai. Kolonialisme memiliki arti upaya sebuah negara
untuk mengembangkan kekuasaannya di luar wilayah kekuasaan negara tersebut.
Kolonialisme memiliki tujuan mencapai dominasi kekuatan dalam bidang ekonomi,
sumber daya alam, sumber daya manusia, dan politik.
Wilayah koloni
biasanya merupakan wilayah-wilayah yang memiliki kekayaan bahan mentah yang
dibutuhkan oleh negara yang melakukan kolonialisme. Dalam kolonialisme, ada
kepercayaan bahwa bangsa yang melakukan kolonialisasi jauh lebih superior dari
bangsa yang dikoloni.
Sedangkan imperialisme berasal dari kata “imperium” dalam
bahasa Latin, yang berarti kekuasaan tertinggi, kedaulatan, atau sekadar
kekuasaan. Imperialisme merupakan kebijakan atau ideologi untuk memperluas
kekuasaan atas negara lain dan penduduk asli negara tersebut, dengan tujuan
memperluas akses politik dan ekonomi, kekuasaan dan kontrol, dan seringkali
dilakukan dengan menggunakan kekuatan militer.
Perbedaan kolonialisme
dan imperialisme terletak pada tujuannya. Kolonialisme berfokus pada penguasaan
suatu wilayah dengan sumber daya alam tertentu untuk dibawa ke negeri asal
penjajah. Sementara imperialisme berfokus dalam penguasaan politik dan pemerintahan
negara yang lain untuk memiliki pengaruh terhadap negara tersebut.
Latar Belakang
Kolonialisme dan Imperialisme di Indonesia
Kolonialisme dan imperialisme sudah dilakukan oleh bangsa Eropa sejak abad
ke-15 di seluruh dunia, sampai akhirnya masuk ke nusantara (Indonesia). Pada
saat itu, latar belakang bangsa Eropa masuk ke wilayah nusantara disebabkan
oleh beberapa hal, seperti jatuhnya Konstantinopel di kawasan Laut Tengah ke
kekuasaan Turki Usmani pada tahun 1453, merosotnya ekonomi dan
perdagangan bangsa Eropa, serta terjadinya revolusi industri.
Perlu diketahui, kolonialisme dan imperialisme modern muncul setelah
terjadinya revolusi industri karena bertujuan untuk mengembangkan perekonomian
bangsa Eropa. Revolusi industri, membuat bangsa Eropa menciptakan kapal laut
yang digunakan untuk menjelajah samudra demi mencari sumber daya di belahan
dunia lain. Disamping itu, misi ini juga dilakukan untuk melanjutkan semangat
Perang Salib.
Dalam upaya tersebut, bangsa Eropa mulai menyebar ke seluruh dunia, sampai
akhirnya kolonialisme dan imperialisme di Indonesia pun terjadi. Di sisi lain,
kejatuhan Konstantinopel ke tangan Turki Usmani pada tahun 1453, menyebabkan
akses bangsa Eropa dalam mendapatkan rempah-rempah yang lebih murah di kawasan
Laut Tengah menjadi tertutup dan membuat harga rempah-rempah di Eropa meningkat
tajam. Bangsa Eropa kemudian terdorong untuk mencari dan menemukan
wilayah-wilayah penghasil rempah-rempah ke dunia baru yang ada di timur Eropa.
Lama-kelamaan, mereka
semakin berambisi menguasai berbagai negara untuk keuntungan ekonomi dan
kejayaan politik mereka, terutama pada wilayah-wilayah seperti Indonesia yang
merupakan penghasil rempah-rempah, seperti lada, cengkih, pala, dan lain-lain.
Rempah-rempah yang dihasilkan di Indonesia mendorong mereka untuk melakukan
kolonialisme dan imperialisme karena rempah-rempah pada masa itu menjadi
komoditas yang sangat laris di Eropa. Bangsa Eropa kemudian menyebut nusantara
sebagai Hindia.
Respon Bangsa
Indonesia Terhadap Kolonialisme dan Imperialisme
Ada empat aspek utama yang terjadi di Indonesia setelah merespon sistem
kolonialisme dan imperialisme, antara lain ekonomi dan politik, sosial dan
budaya, seni dan sastra, serta pendidikan. Berikut penjelasannya:
Aspek Ekonomi dan
Politik
Bangsa Indonesia pada masa kolonialisme dan imperialisme dirugikan dalam
bidang ekonomi dan politik. Oleh karena itu, bangsa Indonesia melakukan
perlawanan terhadap Portugis, VOC, dan pemerintahan Hindia Belanda. Beberapa
perlawanan berupa perang akibat ekonomi dan politik in, di antaranya:
A. Perlawanan
Terhadap Portugis
Ada beberapa peristiwa
besar yang terjadi akibat upaya bangsa Indonesia melawan penjajahan bangsa
Portugis, antara lain:
1.
Perlawanan Kesultanan Ternate
Kebijakan monopoli perdagangan bangsa Portugis membuat Sultan Hairun
memimpin perlawanan rakyat Ternate terhadap mereka. Sayangnya, Sultan Hairun
berhasil ditangkap dan dihukum mati oleh bangsa Portugis pada tahun 1570. Meski
demikian, perlawanan Kesultanan Ternate tidak berhenti di situ. Perjuangan
Sultan Hairun kemudian dilanjutkan oleh Sultan Baabulah.
Di bawah kepemimpinan
Sultan Baabulan inilah Kesultanan Ternate berhasil mengusir bangsa Portugis
dari Maluku pada tahun 1575. Bangsa Portugis yang terusir dari Maluku ini
kemudian menyingkir ke Pulai Timor dan berkuasa di Timor Timur hingga menjelang
akhir abad ke-20.
2.
Perlawanan Kesultanan Demak
Selain di Ternate,
bangsa Portugis juga melakukan praktik monopoli perdagangan mereka di Malaka.
Praktik monopoli tersebut membuat para saudagar Muslim di Malaka merasa
terganggu. Kesultanan Demak yang khawatir bangsa Portugis juga akan
mengekspansi pulau Jawa dan merasa perlu menunjukkan solidaritas mereka
terhadap Kesultanan Malaka dan para saudagar Muslim yang ada di Malaka,
akhirnya memutuskan untuk menyerang bangsa Portugis.
Di bawah pimpinan
Sultan Trenggono, Kesultanan Demak menyerang Sunda Kelapa pada tahun 1526 dan
berhasil menguasai wilayah tersebut. Setahun kemudian, pada tahun 1527, bangsa
Portugis yang saat itu tidak menyadari kalau Sunda Kelapa sudah dikuasai oleh Kesultanan
Demak, datang untuk membangun benteng di sana.
Akibatnya, bangsa
Portugis pun berhasil diusir oleh Kesultanan Demak di bawah kepemimpinan
Fatahillah. Fatahillah kemudian mengganti nama Sunda Kelapa menjadi Jayakarta,
yang berarti kemenangan yang gemilang.
3.
Perlawanan Kesultanan Aceh
Perlawanan Kesultanan
Aceh terhadap bangsa Portugis dimulai pada tahun 1514–1540 di bawah
kepemimpinan Sultan Ali Mughayat Syah. Pada masa itu Kesultanan Aceh berhasil
mengusir bangsa Portugis dari wilayah Aceh. Perlawanan Kesultanan Aceh terhadap
bangsa Portugis kemudian dilanjutkan oleh Sultan Alaudin Riayat Syah Al-Qahar
pada tahun 1538–1571 dengan bantuan Turki.
Sultan Alaudin Riayat
Syah, yang menjadi penggantinya, juga menyerang bangsa Portugis di Malaka pada
tahun 1573 dan 1575. Sultan Iskandar Muda pun pernah menyerang bangsa Portugis
di Malaka pada tahun 1615 dan 1629.
Sekalipun Sultan
Iskandar Muda tidak berhasil mengusir bangsa Portugis, dari Malaka, perlawanan
rakyat Aceh terus berlanjut sampai Malaka jatuh ke tangan VOC pada tahun 1641.
B.
Perlawanan Terhadap VOC
Ada beberapa peristiwa
penting yang terjadi sebagai upaya bangsa Indonesia melawan penjajahan VOC,
antara lain:
1.
Perlawanan Kesultanan Mataram
Awalnya, hubungan
Kesultanan Mataram dengan VOC berjalan dengan baik, sampai-sampai Kesultanan
Mataram mengizinkan VOC mendirikan benteng sebagai kantor perwakilan dagang di
wilayah Jepara. Namun, lama-kelamaan Sultan Agung menyadari kalau keberadaan
VOC membahayakan pemerintahannya.
Sultan Agung pun mulai
menyerang VOC pada tahun 1628, tapi serangan pertama ini gagal dan
mengakibatkan sekitar 1.000 prajurit Mataram gugur. Serangan kedua yang
dilakukan pada bulan Agustus–Oktober 1629 pun mengalami kegagalan karena
Kesultanan Mataram kalah persenjataan, kekurangan persediaan makanan (karena
lumbung-lumbung persediaan makanan yang ada di Tegal, Cirebon, dan Karawang
dimusnahkan VOC), jarak yang terlalu jauh, dan wabah penyakit yang menyerang
pasukan Mataram.
2.
Perlawanan Kesultanan Gowa
Perlawanan Kesultanan
Gowa dimulai dengan pelucutan dan perampasan armada VOC di Maluku, di bawah
kepemimpinan Sultan Hasanuddin. Perang Makassar pun pecah karena pelucutan dan
perampasan armada tersebut. Perang Makassar berlangsung selama tiga tahun, dari
tahun 1666–1669. Dalam Perang Makassar, VOC bersekutu dengan Arung Palaka, Raja
Bone, yang saat itu berseteru dengan Kerajaan Gowa.
3.
Perlawanan Kesultanan Banten
Perlawanan Kesultanan
Banten dimulai karena persaingan dagang dengan VOC dan gangguan VOC terhadap
politik Kerajaan Banten. Sultan Ageng Tirtayasa pada akhirnya melawan VOC
dengan bekerja sama dengan pedagang-pedagang asing lainnya, seperti pedagang
Inggris.
Sultan Ageng kemudian
menyerang kapal-kapal VOC yang ada di perairan Banten serta wilayah-wilayah
yang berbatasan dengan Batavia, seperti peperangan di daerah Angke dan
Tangerang pada tahun 1658–1659.
4.
Perlawanan Terhadap Pemerintahan
Hindia Belanda
Awalnya, masa
pemerintahan Hindia Belanda tidak lagi menerapkan praktik kolonialisme ala VOC,
namun hal tersebut tak membuat praktik dagang dan kerja rodi berakhir. Saat
Belanda kembali berkuasa, penindasan pun terjadi lagi di Indonesia, berikut
penjelasannya:
5. Perlawanan
Rakyat Maluku
Perlawanan rakyat
Maluku dilakukan karena mereka tidak mau orang Belanda kembali ke wilayah
mereka. Saat Thomas Stamford Raffles berkuasa di Hindia Belanda, beberapa
aturan VOC seperti praktik monopoli dagang dan kerja rodi tidak diterapkan.
Namun, saat Belanda kembali berkuasa pada tahun 1817, aturan-aturan yang menindas seperti praktik monopoli perdagangan cengkih dan kerja rodi kembali diterapkan. J.R van den Berg, Residen Saparua yang baru pada saat itu, juga dianggap tidak peka pada keluhan rakyat. Belanda juga memaksa para pemuda Maluku untuk menjadi tentara yang ditugaskan ke Jawa.
6.
Perlawanan Rakyat Palembang
Perlawanan rakyat
Palembang yang dipimpin oleh Sultan Baharuddin terjadi karena Belanda berusaha
menguasai Palembang yang memiliki letak strategis dan kaya akan barang
(Kepulauan Bangka Belitung).
Sultan Baharuddin
kemudian memimpin penyerangan ke benteng-benteng pertahanan Belanda. Saat
pergantian kekuasaan dari Belanda ke Inggris terjadi pada tahun 1811 karena
Perjanjian Tuntang, Inggris memusatkan sebagian besar perhatiannya ke pulau
Jawa.
Sultan Baharuddin pun
memanfaatkan kondisi ini dengan menyerang garnisun Belanda di Palembang. Sultan
Baharuddin juga menentang keberadaan Inggris di wilayah kekuasaannya. Inggris
yang tidak menyukai perlawanan dari Sultan Baharuddin pun menyerang Palembang
pada tahun 1812. Mereka menjarah isi istana dan melantik Ahmad Najamuddin, adik
Sultan Baharuddin, menjadi Sultan.
7.
Perlawanan Rakyat Sumatera Utara
Perlawanan rakyat
Tapanuli di bawah kepemimpinan Raja Sisingamangaraja XII terjadi karena Belanda
ingin menjajah Tapanuli dengan membentuk Pax Neerlandica (ambisi Belanda
menguasai seluruh Nusantara). Keinginan Belanda inilah yang menyebabkan
terjadinya Perang Tapanuli pada tahun 1870–1907.
Aspek
Sosial dan Budaya
Perlawanan bangsa
Indonesia terhadap kolonialisme dan imperialisme juga dilakukan dalam bentuk
gerakan sosial-budaya. Beberapa gerakan tersebut adalah sebagai berikut:
1.
Gerakan Sosial di atas Tanah
Partikelir
Gerakan sosial ini adalah bentuk protes dan perlawanan atas peraturan
Belanda yang tidak adil, serta rasa tidak puas atas kondisi sosial-ekonomi yang
kurang memberikan tempat bagi kehidupan para pelaku dan pendukung gerakan
sosial ini. Gerakan sosial ini muncul di kalangan petani yang merasakan
ketidakadilan karena praktik penjualan atau pemberian hadiah tanah oleh
Pemerintah Belanda kepada perseorangan atau swasta, yang kemudian menjadi tuan
tanah.
Tanah inilah yang
kemudian menjadi tanah partikelir (swasta). Para tuan tanah tersebut merasa
memiliki hak untuk menindas penduduk yang ada di tanah partikelir mereka.
Penduduk di tanah tersebut diharuskan menyerahkan hasil garapan mereka dan
memeras tenaga mereka selayaknya budak.
Aspek Seni dan Sastra
Seni sastra pada masa perjuangan melawan kolonialisme dan imperialisme juga
memiliki peranan yang sangat penting. Karya-karya sastra yang lahir pada masa
itu menyuarakan ketidakadilan yang dialami oleh para pribumi karena
kolonialisme dan imperialisme yang dilakukan oleh bangsa Belanda ke luar Hindia
Belanda, termasuk ke negara Belanda sendiri.
Karya-karya sastra
pada masa itu juga membangkitkan semangat kemerdekaan bagi para pembacanya.
Beberapa sastrawan pada masa itu dan karya sastra mereka adalah sebagai
berikut:
Eduard
Douwes Dekker: Max Havelaar
Eduard Douwes Dekker merupakan nama pena dari Multatuli, seorang Belanda
yang peduli pada nasib kaum pribumi. Nama Multatuli sendiri diambil dari bahasa
Latin yang berarti “banyak yang sudah aku derita”. Kepedulian Douwes Dekker ini
kemudian dituangkan dalam novelnya yang berjudul Max Havelaar (1860). Novel
inilah yang kemudian menjadi inspirasi pergerakan nasional Indonesia serta
mendorong sastrawan-sastrawan Indonesia menuangkan pemikiran mereka mengenai
penjajahan Belanda, khususnya angkatan Pujangga Baru (1933–1942).
Mas
Marco Kartodikromo: Student Hidjo dan Rasa Merdeka
Mas Marco merupakan keturunan priyayi rendahan di Cepu, Blora, Jawa Tengah.
Mas Marco bergabung dengan Medan Prijaji yang menjadi surat kabar yang
menyuarakan pemikiran pribumi terpelajar.
Medan Prijaji ini
dipimpin oleh Tirto Adhi Suryo. Saat bekerja di Medan Prijaji, Mas Marco
bertemu dengan Ki Hajar Dewantara dan Douwes Dekker, yang kemudian menjadi
bagian dari Indische Partij.
Lewat
tulisan-tulisannya, Mas Marco mengajak kaum terdidik Indonesia pada masa itu
untuk membangun kesadaran politik masyarakat pribumi. Kesadaran politik ini
dianggap penting untuk menggerakkan masyarakat pribumi untuk bergerak melawan
pemerintahan kolonial dalam kesetaraan dan solidaritas.
Tulisan-tulisannya
inilah yang kemudian membuat Mas Marco ditangkap dan dibuang oleh pemerintah
kolonial ke Boven-Digoel, Papua, pada tahun 1926. Mas Marco kemudian meninggal
di sana pada tahun 1932 karena malaria.
Soewarsih
Djojopoespito: Manusia Bebas
Soewarsih merupakan pengarang perempuan yang menulis novel “Manusia Bebas”
pada tahun 1940. Novel tersebut diterbitkan dalam bahasa Belanda dengan judul
“Buiten het Gareel” yang berarti “Di Luar Kekang”.
Novel ini berkisah
mengenai para pendiri dan guru “sekolah liar” yang tak pernah putus asa walau
hidup serba kekurangan dan tak pernah mengenal takut sekalipun diawasi dan
diancam ditangkap pemerintah kolonial Hindia Belanda. Sekolah liar pada masa
penjajahan Belanda adalah sekolah-sekolah swasta yang didirikan oleh para tokoh
pendidikan Indonesia untuk memajukan pendidikan bagi masyarakat pribumi.
Aspek
Pendidikan
Perjuangan para pahlawan Indonesia dalam bidang pendidikan merupakan salah
satu perjuangan paling penting dalam melawan kolonialisme dan imperialisme
Belanda. Para tokoh pendidikan di masa penjajahan Belanda membangun
sekolah-sekolah swasta untuk memajukan pola pikir dan menumbuhkan semangat
nasionalisme masyarakat pribumi.
Sekolah-sekolah swasta
ini kemudian dianggap sebagai “sekolah liar” oleh pemerintah kolonial Hindia
Belanda karena dianggap mengancam kedaulatan dan kekuasaan mereka di Indonesia.
Dua di antara sekolah swasta yang dibangun pada masa itu adalah sebagai berikut:
Indisch
Nederlandse School Kayu Tanam
Indisch Nederlandse School Kayu Tanam didirikan di Kayu Tanam, Padang, pada
tanggal 31 Oktober 1926 oleh Mohammad Syafei, tokoh pendidikan nasional yang
pernah menjabat sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia ketiga
dalam Kabinet Sjahrir II. Sekolah ini kemudian melahirkan beberapa nama besar
dalam sejarah politik dan seni nasional, seperti Ali Akbar Navis, Mochtar
Lubis, dan Tarmizi Taher.
Mohammad Syafei sangat
menekankan pentingnya pendidikan bagi bangsa Indonesia karena melalui
pendidikan, bangsa Indonesia dapat mengembangkan rasa nasionalisme. Visi
pendidikan Mohammad Syafei adalah head, heart, dan hand.
Head berarti sekolah
memfasilitasi para siswanya untuk mampu berpikir rasional, heart berarti
sekolah memfasilitasi para siswanya menjadi pribadi dengan karakter yang mulia,
dan hand berarti sekolah memfasilitasi para siswanya agar dapat memiliki
keterampilan yang nyata sesuai dengan bakat yang dikaruniakan Tuhan kepada
masing-masing orang.
Taman
Siswa
Taman Siswa didirikan
pada tanggal 3 Juli 1922 oleh Ki Hajar Dewantara di Yogyakarta. Taman Siswa
menjadi salah satu organisasi pergerakan yang bergerak di bidang pendidikan
pada masa perjuangan kemerdekaan Indonesia. Ki Hajar Dewantara menerapkan tiga
konsep pengajaran di Taman Siswa, yaitu ing ngarso sung tulodo, ing
madya mangun karsa, dan tut wuri handayani.
Ing ngarso sung
tulodo memiliki arti bahwa para guru memiliki
tanggung jawab dalam memberikan pendidikan dan harus mampu memberi contoh sikap
dan perilaku yang baik, agar dapat menjadi teladan bagi para siswanya.
Ing madya mangun
karsa memiliki arti bahwa guru harus mampu
memberikan motivasi yang baik pada para siswanya dan memberikan bimbingan yang
terus-menerus supaya para siswanya mampu berkembang sesuai dengan bakat dan
minat mereka.
Sementara Tut wuri handayani memiliki arti bahwa guru wajib
membimbing para siswanya agar dapat menggali sendiri pengetahuannya dan
menemukan makna dari pengetahuan yang mereka peroleh, agar pengetahuan mereka
dapat berguna bagi kehidupan mereka.
0 comments:
Posting Komentar