Berbagai
permasalahan yang sering muncul dalam kehidupan ini banyak diakibatkan oleh
ketidakmampuan seseorang dalam mengendalikan diri. Tawuran antar pelajar,
mengambil hak milik orang lain (mencuri, merampok, korupsi), vandalism, penyalahgunaan obat terlarang dan free sex
merupakan contoh perilaku yang timbul karena ketidakmampuan dalam mengendalikan
diri (self control).
Perkembangan self control pada
dasarnya sejalan dengan bertambahnya usia seseorang. Semakin dewasa diharapkan
mempunyai self control yang lebih baik dibanding saat remaja dan anak-anak.
Namun demikian beberapa kasus menunjukkan hal yang sebaliknya, dimana beberapa
permasalahan tersebut juga dilakukan oleh orang yang sudah dewasa. Mahasiswa
yang telah beranjak dewasa (bertambahnya usia dan ilmu) tentunya diharapkan
oleh masyarakat mempunyai self control yang lebih tinggi dibanding anak-anak
SMA. Tentunya akan aneh jika bertambahnya usia tidak diimbangi dengan kemampuan
mengendalikan diri, bahkan berbuat sesuka hati dengan membiarkan perilaku yang
lebih mementingkan egosime tanpa menghiraukan konsekuensi yang akan diperoleh.
Dalam pandangan Zakiyah Darajat bahwa orang yang sehat mentalnya akan
dapat menunda buat sementara pemuasan kebutuhannya itu atau ia dapat
mengendalikan diri dari keinginan-keinginan yang bisa menyebabkan hal-hal yang
merugikan. Dalam pengertian yang umum pengendalian diri lebih
menekankan pada pilihan tindakan yang akan memberikan manfaat dan keuntungan
yang lebih luas, tidak melakukan perbuatan yang akan merugikan dirinya di masa
kini maupun masa yang akan datang dengan cara menunda kepuasan sesaat.
Menurut
kamus psikologi (Chaplin, 2002), definisi kontrol diri atau self control adalah
kemampuan individu untuk mengarahkan tingkah lakunya sendiri dan kemampuan
untuk menekan atau menghambat dorongan yang ada. Goldfried dan Merbaum,
mendefinisikan kontrol diri sebagai suatu kemampuan untuk menyusun, membimbing,
mengatur dan mengarahkan bentuk perilaku yang dapat membawa individu kearah konsekuensi
positif.
Kontrol diri merupakan satu potensi
yang dapat dikembangkan dan digunakan individu selama proses-proses dalam
kehidupan, termasuk dalam menghadapi kondisi yang terdapat dilingkungan yang
berada disekitarnya, para ahli berpendapat bahwa kontrol diri dapat digunakan
sebagai suatu intervensi yang bersifat preventif selain dapat mereduksi
efek-efek psikologis yang negative dari stressor-stresor lingkungan. Disamping
itu kontrol diri memiliki makna sebagai suatu kecakapan individu dalam kepekaan
membaca situasi diri dan lingkungannya serta kemampuan untuk mengontrol dan
mengelola faktor-faktor perilaku sesuai dengan situasi dan kondisi untuk
menampilkan diri dalam melakukan sosialisasi (Calhoun dan Acocela, 1990).
Mengapa
penting memiliki self control ? Pertama,
kontrol diri berperan penting dalam
hubungan seseorang dengan orang lain (interaksi social). Hal ini dikarenakan
kita senantiasa hidup dalam kelompok atau masyarakat dan tidakbisa hidup
sendirian. Seluruh kebutuhan hidup kita (fisiologis) terpenuhi dari bantuan
orang lain, begitu pula kebutuhan psikologis dan social kita. Oleh karena itu
agar kita dapat memenuhi seluruh kebutuhan hidup ini dibutuhkan kerjasama
dengan orang lain dan kerjasama dapat berlangsung dengan baik jika kita mampu mengendalikan
diri dari perbuatan yang merugikan orang lain. Kedua, Kontrol diri memiliki peran dalam menunjukkan siapa diri
kita (nilai diri). Seringkali seseorang memberikan penilaian dari apa yang kita
lakukan dalam kehidupan sehari-hari dan kontrol diri merupakan salah satu aspek
penting dalam mengelola dan mengendalikan perilaku kita. Kontrol diri menjadi
aspek yang penting dalam aktualisasi pola pikir, rasa dan perilaku kita dalam
menghadapai setiap situasi. Seseorang yang dapat mengendalikan diri dari
hal-hal yang negatif tentunya akan memperoleh penilaian yang positif dari orang
lain (lingkungan sosial), begitu pula sebaliknya. Ketiga, kontrol diri berperan dalam pencapaian tujuan pribadi.
Pengendalian diri dipercaya dapat membantu seseorang dalam mencapai tujuan
hidup seseorang. Hal ini dikarenakan bahwa seseorang yang mampu menahan diri
dari perbuatan yang dapat merugikan diri atau orang lain akan lebih mudah focus
terhadap tujuan-tujuan yang ingin dicapai, mampu memilih tindakan yang memberi
manfaat, menunjukkan kematangan emosi dan tidak mudah terpengaruh terhadap
kebutuhan atau perbuatan yang menimbulkan kesenangan sesaat. Bila hal ini
terjadi niscaya seseorang akan lebih mudah untuk mencapai tujuan yang
diinginkan.
Dengan
mengembangkan kemampuan mengendalikan diri sebaik-baiknya, maka kita akan dapat
menjadi pribadi yang efektif, hidup lebih konstruktif, dapat menyusun tindakan
yang berdimensi jangka panjang, mampu menerima diri sendiri dan diterima oleh
masyarakat luas. Kemampuan mengendalikan diri menjadi sangat berarti untuk
meminimalkan perilaku buruk yang selama ini banyak kita jumpai dalam kehidupan
di masyarakat juga dalam tatanan kenegaraan karena banyak peristiwa yang
terjadi karena ketidakmampuan mengendalikan diri.
Pada dasarnya sumber terjadinya self
control dalam diri seseorang ada 2 (dua) yaitu sumber internal (dalam diri) dan
eksternal (di luar diri). Apabila seseorang dalam berperilaku cenderung
mengatur perilakunya sendiri dan memiliki standar khusus terhadap perilaku yang
dipilih, memberikan ganjaran bila dapat mencapai tujuan dan memberikan hukuman
sendiri apabila melakukan kesalahan, maka hal ini menunjukan bahwa self
controlnya bersumber dari diri sendiri (internal). Sedangkan apabila individu
menjadikan orang lain atau lingkungan sebagai standart perilaku atau penyebab
terjadinya perilaku dan ganjaran atau hukuman juga diterima dari orang lain
(lingkungan), maka ini menunjukkan bahwa self control yang dimiliki bersumber
dari luar diri (eksternal)
A.
Jenis-Jenis
Kontrol Diri
Kontrol
diri yang digunakan seseorang dalam menghadapi situasi tertentu, meliputi :
a. Behavioral
control, kemampuan untuk mempengaruhi atau memodifikasi
suatu keadaan yang tidak menyenangkan. Adapun cara yang sering digunakan antara
lain dengan mencegah atau menjauhi situasi tersebut, memilih waktu yang tepat
untuk memberikan reaksi atau membatasi intensitas munculnya situasi tersebut
b. Cognitive
control, kemampuan individu dalam mengolah informasi yang
tidak diinginkan dengan cara menginterpretasi, menilai dan menggabungkan suatu
kejadian dalam sutu kerangka kognitif sebagai adaptasi psikologis atau untuk
mengurangi tekanan. Dengan informasi yang dimiliki oleh individu terhadap
keadaan yang tidak menyenangkan, individu berusaha menilai dan menafsirkan
suatu keadaan dengan cara memperhatikan segi-segi positif secara subyektif atau
memfokuskan pada pemikiran yang menyenangkan atau netral.
c. Decision control,
kemampuan seseorang untuk memilih suatu tindakan berdasarkan pada sesuatu yang
diyakini atau disetujuinya. Kontrol diri dalam menentukan pilihan akan
berfungsi baik dengan adanya suatu kesempatan, kebebasan atau kemungkinan untuk
memilih berbagai kemungkinan (alternative) tindakan
d. Informational
control, Kesempatan untuk mendapatkan informasi mengenai
kejadian yang menekan, kapan akan terjadi, mengapa terjadi dan apa
konsekuensinya. Kontrol informasi ini dapat membantu meningkatkan kemampuan
seseorang dalam memprediksi dan mempersiapkan yang akan terjadi dan mengurangi
ketakutan seseorang dalam menghadapi sesuatu yang tidak diketahui, sehingga
dapat mengurangi stress.
e. Retrospective
control, Kemampuan untuk menyinggung tentang kepercayaan
mengenai apa atau siapa yang menyebabkan sebuah peristiwa yang menekan setelah
hal tersebut terjadi. Individu berusaha mencari makna dari setiap peristiwa
yang terjadi dalam kehidupan. Hal ini bukan berarti individu mengontrol setiap
peristiwa yang terjadi, namun individu berusaha memodifikasi pengalaman stress
tersebut untuk mengurangi kecemasan.
B.
Ciri-ciri
control diri
Ciri-ciri
seseorang mempunyai kontrol diri antara lain :
a. Kemampuan
untuk mengontrol perilaku yang ditandai dengan kemampuan menghadapi situasi
yang tidak diinginkan dengan cara mencegah atau menjauhi situasi tersebut,
mampu mengatasi frustasi dan ledakan emosi.
b. Kemampuan
menunda kepuasan dengan segera untuk mengatur perilaku agar dapat mencapai
sesuatu yang lebih berharga atau lebih diterima oleh masyarakat
c. Kemampuan
mengantisipasi peristiwa dengan mengantisipasi keadaan melalui pertimbangan
secara objektif.
d. Kemampuan
menafsirkan peristiwa dengan melakukan penilaian dan penafsiran suatu keadaan
dengan cara memperhatikan segi-segi positif secara subjektif
e. Kemampuan
mengontrol keputusan dengan cara memilih suatu tindakan berdasarkan pada
sesuatu yang diyakini atau disetujuinya.
Orang
yang rendah kemampuan mengontrol diri cenderung akan reaktif dan terus reaktif
(terbawa hanyut ke dalam situasi yang sulit). Sedangkan orang yang tinggi
kemampuan mengendalikan diri akan cenderung proaktif (punya kesadaran untuk
memilih yang positif). Untuk mengecek sejauh mana kita punya kemampuan
mengendalikan diri, kita bisa melihat petunjuk di bawah ini:
Rendah
|
Sedang
|
Tinggi
|
Anda
mudah kehilangan kendali, mudah frustasi, mudah meluapkan ekspresi emosi
secara meledak-ledak, atau tidak efektif dalam menjalankan aktivitas karena
emosi yang tidak terkontrol
|
Anda
sudah sanggup memberikan respon dengan tenang dan mendiskusikannya secara
fair
|
Anda
bisa memberikan respon secara konstruktif: bisa membangun hubungan yang lebih
positif dan mengantisipasi problem
|
Anda
tidak tahan terhadap berbagai tekanan atau himpitan
|
Anda
sudah bisa mengelola tekanan secara efektif, tidak mempengaruhi hasil
pekerjaan atau tidak mempengaruhi proses pekerjaan
|
Anda
sudah bisa menenangkan diri anda dan orang lain atau sanggup memainkan
peranan sebagai leader
|
Anda
sudah bisa mengontrol emosi tetapi belum bisa menggunakannya secara
konstruktif
|
|
|
C.
Faktor-faktor
yang mempengaruhi kontrol diri
a. Kepribadian.
Kepribadian mempengaruhi control diri dalam konteks bagaimana seseorang dengan
tipikal tertentu bereaksi dengan tekanan yang dihadapinya dan berpengaruh pada
hasil yang akan diperolehnya. Setiap orang mempunyai kepribadian yang berbeda
(unik) dan hal inilah yang akan membedakan pola reaksi terhadap situasi yang
dihadapi. Ada seseorang yang cenderung reaktif terhadap situasi yang dihadapi,
khususnya yang menekan secara psikologis, tetapi ada juga seseorang yang lamban
memberikan reaksi.
b. Situasi.
Situasi merupakan faktor yang berperan penting dalam proses kontrol diri.
Setiap orang mempunyai strategi yang berbeda pada situasi tertentu, dimana
strategi tersebut memiliki karakteristik yang unik. Situasi yang dihadapi akan
dipersepsi berbeda oleh setiap orang, bahkan terkadang situasi yang sama dapat
dipersepsi yang berbeda pula sehingga akan mempengaruhi cara memberikan reaksi
terhadap situasi tersebut. Setiap situasi mempunyai karakteristik tertentu yang
dapat mempengaruhi pola reaksi yang akan dilakukan oleh seseorang.
c. Etnis.
Etnis atau budaya mempengaruhi kontrol diri dalam bentuk keyakinan atau
pemikiran, dimana setiap kebudayaan tertentu memiliki keyakinan atau nilai yang
membentuk cara seseorang berhubungan atau bereaksi dengan lingkungan. Budaya
telah mengajarkan nilai-nilai yang akan menjadi salah satu penentu terbentuknya
perilaku seseorang, sehingga seseorang yang hidup dalam budaya yang berbeda
akan menampilkan reaksi yang berbeda dalam menghadapi situasi yang menekan,
begitu pula strategi yang digunakan.
d. Pengalaman.
Pengalaman akan membentuk proses pembelajaran pada diri seseorang. Pengalaman yang diperoleh dari proses
pembelajaran lingkungan keluarga juga memegang peran penting dalan kontrol diri
seseorang, khususnya pada masa anak-anak. Pada masa selanjutnya seseorang
bereaksi dengan menggunakan pola fikir yang lebih kompleks dan pengalaman
terhadap situasi sebelumnya untuk melakukan tindakan, sehingga pengalaman yang
positif akan mendorong seseorang untuk bertindak yang sama, sedangkan
pengalaman negatif akan dapat merubah pola reaksi terhadap situasi tersebut.
e. Usia.
Bertambahnya usia pada dasarnya akan diikuti dengan bertambahnya kematangan
dalam berpikir dan bertindak. Hal ini dikarenakan pengalaman hidup yang telah
dilalui lebih banyak dan bervariasi, sehingga akan sangat membantu dalam
memberikan reaksi terhadap situasi yang dihadapi. Orang yang lebih tua
cenderung memiliki control diri yang lebih baik dibanding orang yang lebih
muda.
D. Prinsip-prinsip dalam mengendalikan diri
1. Prinsip kemoralan.
Setiap agama pasti mengajarkan moral yang baik bagi setiap pemeluknya, misalnya
tidak mencuri, tidak membunuh, tidak menipu, tidak berbohong, tidak
mabuk-mabukan, tidak melakukan tindakan asusila maupun tidak merugikan orang
lain. Saat ada dorongan hati untuk melakukan sesuatu yang negatif, maka kita
dapat bersegera lari ke rambu-rambu kemoralan. Apakah yang kita lakukan ini
sejalan atau bertentangan dengan nilai-nilai moral dan agama? Saat terjadi
konflik diri antara ya atau tidak, mau melakukan atau tidak, kita dapat mengacu
pada prinsip moral di atas.
2. Prinsip kesadaran.
Prinsip ini mengajarkan kepada kita agar senantiasa sadar saat suatu bentuk
pikiran atau perasaan yang negatif muncul. Pada umumnya orang tidak mampu
menangkap pikiran atau perasaan yang muncul, sehingga mereka banyak dikuasai
oleh pikiran dan perasaan mereka. Misalnya seseorang menghina atau menyinggung
kita, maka kita marah. Nah, kalau kita tidak sadar atau waspada maka saat emosi
marah ini muncul, dengan begitu cepat, tiba-tiba kita sudah dikuasai kemarahan
ini. Jika kesadaran diri kita bagus maka kita akan tahu saat emosi marah ini
muncul, menguasai diri kita dan kemungkinan akan melakukan tindakan yang akan
merugikan diri kita dan orang lain. Saat kita berhasil mengamati emosi maka
kita dapat langsung menghentikan pengaruhnya. Jika masih belum bisa atau dirasa
berat sekali untuk mengendalikan diri, maka kita dapat melarikan pikiran kita
pada prinsip moral.
3. Prinsip perenungan.
Ketika kita sudah benar-benar tidak tahan untuk meledakkan emosi karena amarah
dan perasaan tertekan, maka kita bisa melakukan sebuah perenungan. Kita bisa
menanyakan pada diri sendiri tentang berbagai hal, misalnya apa untungnya saya
marah, apakah benar reaksi saya seperti ini, mengapa saya marah atau apakah
alasan saya marah ini sudah benar. Dengan melakukan perenungan, maka kita akan cenderung
mampu mengendalikan diri. Secara sederhana dapat digambarkan bahwa saat emosi
aktif maka logika kita tidak jalan, sehingga saat kita melakukan perenungan
atau berpikir secara mendalam maka kadar kekuatan emosi atau keinginan kita
akan cenderung menurun.
4. Prinsip kesabaran. Pada dasarnya emosi kita
naik – turun dan timbul, tenggelam. Emosi yang bergejolak merupakan situasi
yang sementara saja, sehingga kita perlu menyadarinya bahwa kondisi ini akan
segera berlalu seiring bergulirnya waktu. Namun hal ini tidaklah mudah karena
perlu adanya kesadaran akan kondisi emosi yang kita miliki saat itu dan tidak
terlalu larut dalam emosi. Salah satu cara yang perlu kita gunakan adalah
kesabaran, menunggu sampai emosi negatif tersebut surut kemudian baru berpikir
untuk menentukan respon yang bijaksana dan bertanggung jawab (reaksi yang
tepat).
5. Prinsip pengalihan
perhatian. Situasi dan kondisi yang memberikan tekanan psikologis sering
menghabiskan waktu, tenaga dan pikiran yang cukup banyak bagi seseorang untuk menghadapinya.
Apabila berbagai cara (4 prinsip sebelumnya) sudah dilakukan untuk berusaha
menghadapi namun masih sulit untuk mengendalikan diri, maka kita bisa
menggunakan prinsip ini dengan menyibukkan diri dengan pikiran dan aktifitas
yang positif. Ketika diri kita disibukkan dengan pikiran positif yang lain,
maka situasi yang menekan tersebut akan terabaikan. Begitu pula manakala kita
menyibukkan diri dengan aktifitas lain yang positif, maka emosi yang ingin
meledak akibat peristiwa yang tidak kita sukai tersebut akan menurun bahkan
hilang. Saat kita berhasil memaksa diri memikirkan hanya hal-hal yang positif
maka emosi kita akan ikut berubah kearah yang positif juga.
Daftar
Pustaka
Dayakisni,
Tri & Hudaniah (2003). Psikologi
Sosial. UMM Press. Malang
Gunawan W. Adi. Jurus
Pengendalian Diri. http://adiwgunawan.com/awg.php?co
Empati dan Perilaku
Prososial
Fulan adalah seorang mahasiswa yang kini menghadapi
masalah yang cukup rumit. Kini ia akan menghadapi ujian semester yang
mengharuskan uang SPP dilunasi terlebih dahulu. Sementara itu di saat yang sama Ibunya yang selama ini
membiayai kuliahnya sedang terbaring lemas di rumah dan sudah seminggu ini
tidak pergi ke pasar untuk berjualan keperluan rumah tangga. Sedang ke 2
adiknya membutuhkan perhatiannya untuk tetap semangat pergi ke sekolah. Kini
setiap hari ia harus membantu menyiapkan bekal makanan untuk adiknya dan
merawat ibunya, baru ia berangkat ke kampus dengan sepeda gunungnya. Ia harus
tetap kuliah karena itu satu-satunya pesan almarhum ayahnya sebelum meninggal.
Meski ia harus bekerja paruh waktu untuk membiayai kuliah, ia tetap memiliki
komitmen dengan tugas-tugas kuliah dan pesan keluarganya dengan satu harapan
mampu mengangkat kehidupan keluarganya menjadi lebih baik. Apa yang kamu rasakan…….?!
A.
Pengertian Empati
Dalam kehidupan ini banyak peristiwa yang lepas dari pandangan
kita yang sejatinya bisa memberikan banyak pelajaran bagi hidup kita. Peristiwa
yang mengharukan maupun membahagiakan tetap memiliki arti. Kemampuan kita untuk
memahami dan mengalami suatu perasaan positif dan negatif akan membantu kita
memahami makna kehidupan yang sebenarnya. Kemampuan ini sering disebut sebagai
atribut empati.
Empati merupakan bagian penting social competency (kemampuan sosial). Empati juga merupakan salah
satu dari unsur-unsur kecerdasan sosial. Ia terinci dan berhubungan erat dengan komponen-komponen
lain, seperti empati dasar, penyelarasan, ketepatan empatik dan pengertian
sosial. Empati dasar yakni memiliki perasaan dengan orang lain atau
merasakan isyarat-isyarat emosi non verbal. Penyelarasan yakni mendengarkan dengan penuh
reseptivitas, menyelaraskan diri pada seseorang. Ketepatan empatik yakni
memahami pikiran, perasaan dan maksud orang lain dan pengertian sosial yakni
mengetahui bagiamana dunia sosial bekerja (Goleman, Daniel, 2007 :114)
Sementara
itu, secara sederhana menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), empati
adalah keadaan mental yang membuat seseorang merasa atau mengidentifikasi
dirinya dalam keadaan perasaan atau pikiran yang sama dengan orang atau
kelompok lain. Empati adalah kemampuan seseorang dalam ikut merasakan atau
menghayati perasaan dan pengalaman orang lain. Seseorang tersebut tidak hanyut
dalam suasana orang lain, tetapi memahami apa yang dirasakan orang lain itu.
Secara
lebih luas empati diartikan sebagai ketrampilan sosial tidak sekedar ikut
merasakan pengalaman orang lain (vicarious
affect response), tetapi juga mampu melakukan respon kepedulian (concern) terhadap perasaan dan perilaku
orang tersebut. Tidak heran jika latihan memberikan sesuatu atau bersedekah,
selain merupakan sarana beribadah, juga bisa melatih empati anak pada orang
lain yang memunculkan sifat berderma (filantropi) (Frieda Mangunsong, 2010).
Dengan demikian penekanan empati tersebut
menyatakan bahwa kemampuan menyelami perasaan orang lain tersebut tidak
membuat kita tenggalam dan larut dalam
situasi perasaannya tetapi kita mampu memahami perasaan negatif atau positif
seolah-olah emosi itu kita alami sendiri (resonansi perasaan). Kemampuan
berempati akan mampu menjadi kunci dalam keberhasilan bergaul dan bersosialisasi
di masyarakat.
Dalam kehidupan berkelompok kita pasti
mendapati orang dalam watak yang beraneka ragam. Oleh karena itu, tidak mungkin kita
memaksakan pendapat, pikiran atau perasaan kepada orang lain. Di sinilah,
empati sangat berperan penting. Individu dapat diterima oleh orang lain jika ia
mampu memahami kondisi (perasaan) orang lain dan memberikan perlakuan yang
semestinya sesuai dengan harapan orang tersebut. Kemampuan
empati perlu diasah setiap orang agar dirinya dapat menyesuaikan diri dengan
lingkungan sekitarnya.
Empati akan membantu kita bisa cepat memisahkan antara masalah
dengan orangnya. Kemampuan empati akan mendorong kita mampu melihat
permasalahan dengan lebih jernih dan menempatkan objektifitas dalam memecahkan
masalah. Banyak
alternatif yang memungkinkan dapat diambil manakala kita dapat berempati dengan
orang lain dalam menghadapi masalah. Tanpa adanya empati sulit rasanya kita
tahu apa yang sedang dihadapi seseorang karena kita tidak dapat memasuki
perasaannya dan memahami kondisi yang sedang dialami.
Penelitian Rosenthal membuktikan bahwa anak
yang mampu membaca perasaan orang lain melalui isyarat non verbal lebih pandai
menyesuaikan diri secara emosional, lebih populer, lebih mudah bergaul dan
lebih peka. Kemampuan membaca pesan non verbal akan membantu seseorang melihat
apa yang sebenarnya sedang terjadi yang tidak dapat disampaikan secara verbal.
Pesan non verbal memberikan banyak peluang kita memahami apa yang sebenarnya
terjadi dalam diri seseorang karena pesan tersebut sulit untuk direkayasa.
Begitu pula dengan nada bicara, ekspresi wajah dan gerak-gerika tubuhnya.
Seseorang yang mampu membaca pesan ini akan menjadi mudah untuk memahami
perasaan orang lain.
Beberapa faktor, baik psikologis maupun
sosiologis yang mempengaruhi proses empati sebagai berikut, antara lain :
1.
Sosialisasi
Dengan
adanya sosialisasi memungkinkan seseorang dapat mengalami sejumlah emosi,
mengarahkan seseorang untuk melihat keadaan orang lain dan berpikir tentang
orang lain.
2.
Perkembangan kognitif
Empati
dapat berkembang seiring dengan perkembangan kognitif yang bisa dikatakan
kematangan kognitif, sehingga dapat melihat sesuatu dari sudut pandang orang
lain (berbeda)
3.
Mood dan Feeling
Situasi
perasaan seseorang ketika berinteraksi dengan lingkungannya akan mempengaruhi
cara seseorang dalam memberikan respon terhadap perasaan dan perilaku orang
lain
4.
Situasi dan tempat
Situasi
dan tempat tertentu dapat memberikan pengaruh terhadap proses empati seseorang.
Pada situasi tertentu seseorang dapat berempati lebih baik dibanding situasi
yang lain.
5.
Komunikasi
Pengungkapan
empati dipengaruhi oleh komunikasi (bahasa) yang digunakan seseorang. Perbedaan
bahasa dan ketidakpahaman tentang komunikasi yang terjadi akan menjadi
hambatan pada proses empati.
B. Teknik-Teknik Mengasah Empati
Kemampuan empati harus selalu dilatih atau
diasah sejak dini. Bahkan, meskipun usia seseorang telah beranjak dewasa, harus
tetap melatih empati. Kemudian ada
beberapa langkah yang dapat dilakukan agar kemampuan empati kita terbentuk,
antara lain :
1. Rekam semua emosi pribadi
Setiap
orang pernah mengalami perasaan positif maupun negatif, misalnya sedih, senang,
bahagia, marah, kecewa dan lain sebagainya. Pengalaman-pengalaman tersebut
apabila kita catat atau rekam akan membantu kita memahami perasaan yang sama
saat kondisi tertentu menjumpai kita kembali. Disamping itu ketika kita
mengetahui perasaan tersebut sedang dialami oleh seseorang, kita dapat memahami
kondisi tersebut sehingga kita dapat memperlakukannya sesuai dengan apa yang
diharapkannya. Cara
mencatat atau merekamnya dapat berupa tulisan di buku harian atau sekedar
mengingat-ingat dalam alam sadar kita.
Untuk menyempurnakan langkah di atas, ada
baiknya memperhatikan cara lebih spesifik, sebagai berikut :
a.
Membangkitkan kesadaran dan perbendaharaan
ungkapan emosi.
b.
Meningkatkan kepekaan terhadap perasaan orang
lain.
c.
Membantu memahami perspektif orang lain
selain dari sudut pandangnya sendiri (Borba, Michele, 2008: 25).
2. Perhatikan lingkungan luar (orang lain)
Memperhatikan
lingkungan luar atau orang lain akan memberikan banyak informasi tentang
kondisi orang di sekitar kita. Informasi ini sangat penting untuk dijadikan
panduan dalam mengambil pilihan perilaku tertentu. Informasi ini juga dapat
dijadikan pembanding dengan diri kita tentang apa yang sedang terjadi, sehingga
kita dapat mengatahui apakah perasaan dan perilaku kita sudah sesuai dengan
lingkungan sekitarnya. Memperhatikan orang lain merupakan ketrampilan
tersendiri yang tidak semua orang menyukainya. Memperhatikan tidak sekedar melihat
orang per orang tetapi juga mencoba menghilangkan perasaan-perasaan subyektif
kita saat memperhatikan, sehingga akan muncul keinginan untuk mendalami
perasaan orang yang sedang kita lihat tersebut.
3. Dengarkan curhat orang lain
Mendengarkan adalah sebuah kemampuan penting
yang sering dibutuhkan untuk memahami masalah atau mendapatkan pemahaman yang
lebih jelas terhadap permasalahan yang sedang dihadapi orang lain. Kemampuan
mendengarkan juga harus latih agar memberikan dampak yang positif dalam interaksi
sosial kita. Syarat yang dibutuhkan untuk dapat mendengarkan adalah
menghilangkan atau meminimalkan perasaan negatif atau prasangka terhadap obyek
yang menjadi sasaran dengar. Disamping itu juga perlu adanya kemauan untuk
membuka diri kita untuk orang lain, khususnya dengan memberikan kesempatan
orang lain untuk berbicara yang dia inginkan tanpa kita potong sebelum selesai
pembicaraannya. Mendengar keluh kesah atau cerita gembira orang lain akan mampu
memberikan pengalaman lain dalam suasana hati kita. Mendengarkan cerita sedih
akan mampu membawa kita kedalam suasana hati orang lain yang sedang bersedih
dan dapat membangkitkan keinginan untuk memahami masalah atau perasaan orang
tersebut. Begitu pula perasaan yang lain. Semakin banyak cerita, masalah dan
ungkapan perasaan yang kita dengarkan akan membuat kita semakin kaya dengan
pengalaman tersebut dan pada akhirnya semakin mengetahui bagaimana cara
memahami orang lain atau perasaannya.
4. Bayangkan apa yang sedang dirasakan orang lain dan akibatnya untuk diri kita.
Membayangkan
sebuah kejadian yang dialami orang lain akan menarik diri kita ke dalam sebuah
situasi yang hampir sama dengan yang dialami orang tersebut. Refleksi keadaan
orang lain dapat membuat kita merasakan apa yang sedang dialami orang tersebut
dan mampu membangkitkan suasana emosional. Membayangkan sebuah kondisi tersebut
dapat lebih mudah manakala kita pernah mengalami perasaan atau kondisi yang
sama. Seseorang yang sering membayangkan apa yang dialami atau dirasakan orang
lain dan akibat yang akan ditimbulkan manakala hal tersebut terjadi pada diri
kita saat kejadian atau setelah kejadian akan memudahkan kita merasakan suasana
emosi seseorang manakala melihat kejadian-kejadian yang berkaitan dengan
situasi penuh dengan emosi-emosi tertentu.
5. Lakukan bantuan secepatnya.
Memberikan
bantuan atau pertolongan kepada orang-orang yang membutuhkan dapat
membangkitkan kemampuan empati. Respon yang cepat terhadap situasi di
lingkungan sekitar yang membutuhkan bantuan akan melatih kemampuan kita untuk
empati. Bantuan yang kita berikan tidak perlu menunggu waktu yang lebih lama
tetapi kita berusaha memberikan segenap kemampuan kita saat melihat atau
menyaksikan orang-orang yang membutuhkan. Pertolongan yang kita berikan akan
menstimulus keadaan emosi kita untuk melihat lebih jauh perasaan orang yang
kita beri pertolongan dan semakin sering kita memberikan respon dengan cepat
akan semakin mudah kita mengembangkan kemampuan empati kepada orang lain.
C. Manfaat-Manfaat Empati
Ada beberapa manfaat yang dapat kita temukan
dalam kehidupan pribadi dan sosial manakala kita mempunyai kemampuan berempati,
diantaranya :
1. Menghilangkan sikap egois
Orang yang telah mampu mengembangkan
kemampuan empati dapat menghilangkan sikap egois (mementingkan diri sendiri).
Ketika kita dapat merasakan apa yang sedang dialami orang lain, memasuki pola
pikir orang lain dan memahami perilaku orang tersebut, maka kita tidak akan
berbicara dan berperilaku hanya untuk kepentingan diri kita tetapi kita akan
berusaha berbicara, berpikir dan berperilaku yang dapat diterima juga oleh
orang lain serta akan mudah memberikan pertolongan kepada orang lain. Kita akan
berhati-hati dalam mengembangkan sikap dan perilaku kita sehari-hari, khususnya
jika berada pada kondisi yang membutuhkan pertolongan kita.
2. Menghilangkan kesombongan
Salah satu cara mengembangkan empati adalah
membayangkan apa yang terjadi pada diri orang lain akan terjadi pula pada diri
kita. Manakala kita membayangkan kondisi ini maka kita akan terhindar dari
kesombongan atau tinggi hati karena apapun akan bisa terjadi pada diri kita
jika Tuhan berkehendak. Kita tidak akan merendahkan orang lain karena kita
telah mengetahui perasaan dan memahami apa yang sebenarnya terjadi, sehingga
orang yang mempunyai kemampuan empati akan cenderung memiliki jiwa rendah hati
dan senantiasa memahami kehidupan ini dengan baik. RODA SENANTIASA BERPUTAR, ITULAH KEHIDUPAN.
3. Mengembangkan kemampuan evaluasi dan kontrol
diri
Pada dasarnya empati adalah salah satu usaha
kita untuk melakukan evaluasi diri sekaligus mengembangkan kontrol diri yang
positif. Kemampuan melihat diri orang lain baik perasaan, pikiran maupun
perilakunya merupakan bagian dari bagaimana kita akan merefleksikan keadaan
tersebut dalam diri kita. Jika kita telah mempunyai kemampuan ini maka kita
telah dapat mengembangkan kemampuan evaluasi diri yang baik dan akhirnya kita
dapat melakukan kontrol diri yang baik artinya kita akan senantiasa
berhati-hati dalam melakukan perbuatan atau memahami lingkungan sekitar kita.
Akhirnya, anda akan bisa dikatakan sebagai
memiliki karakteristik kemampuan empati, jika mengikuti beberapa syarat berikut
:
1.
Melibatkan proses pikir secara utuh, dengan
segala macam risiko perbedaan pendapat, rasa, bahkan kemungkinan konflik.
Melalui pengolahan terus-menerus maka individu bisa mengenal ‘status’
perasaannya, lalu kuat berempati dan kemudian memanfaatkan emosinya dalam
kehidupan kerja (Eileen Rachman &
Sylvina Savitri, 2009)
2.
Muncul dalam tindakan-tindakan seperti
dinyatakan Goleman (1997), yaitu :
- Mampu menerima sudut pandang orang lain
Individu
mampu membedakan antara apa yang dikatakan atau dilakukan orang lain dengan
reaksi dan penilaian individu itu sendiri. Dengan perkembangan aspek kognitif
seseorang, kemampuan untuk menerima sudut pandang orang lain dan pemahaman
terhadap perasaan orang lain akan lebih lengkap dan akurat sehingga ia akan
mampu memberikan perlakuan dengan cara yang tepat.
- Memiliki kepekaan terhadap perasaan orang lain
Individu
mampu mengidentifikasi perasaan-perasaan orang lain dan peka terhadap hadirnya
emosi dalam diri orang lain melalui pesan non verbal yang ditampakkan, misalnya
nada bicara, gerak-gerik dan ekspresi wajah. Kepekaan yang sering diasah akan
dapat membangkitkan reaksi spontan terhadap kondisi orang lain, bukan sekedar
pengakuan saja.
- Mampu mendengarkan orang lain
Mendengarkan
merupakan sebuah ketrampilan yang perlu dimiliki untuk mengasah kemampuan
empati. Sikap mau mendengar memberikan pemahaman yang lebih baik terhadap
perasaan orang lain dan mampu membangkitkan penerimaan terhadap perbedaan yang
terjadi.
D. Perilaku Prososial
Perilaku
prososial dapat dimengerti sebagai perilaku yang menguntungkan penerima bantuan
tetapi tidak memiliki keuntungan yang jelas bagi pemberi bantuan. William
membatasi oerilaku prososial secara lebih rinci sebagai perilaku yang memiliki
intensi untuk mengubah keadaan fisik (material), psikologis dan sosial penerima
bantuan dari kurang baik menjadi lebih
baik. Perilaku prososial mempunyai maksud untuk menyokong kesejahteraan orang
lain dengan cara menolong, menyelamatkan, berkorban, kerjasama maupun
persahabatan.
Ada
3 (tiga) ciri seseorang dikatakan menunjukkan perilaku prososial, yaitu :
a.
Tindakan tersebut berakhir pada dirinya dan
tidak menuntut keuntungan pada pihak pemberi bantuan
b.
Tindakan tersebut dilahirkan secara suka rela
c.
Tindakan tersebut menghasilkan kebaikan
E. Cara meningkatkan perilaku prososial antara
lain :
1.
Menyebarluaskan penayangan model perilaku
prososial
Dalam mengembangkan perilaku-perilaku
tertentu kita dapat melakukan melalui pendekatan behavioral dengan model
belajar sosial. Pembentukan perilaku prososial dapat kita lakukan dengan sering
memberikan stimulus tentang perilaku-perilaku baik (membantu orang yang
kesulitan dan lain sebagainya). Semakin sering seseorang memperoleh stimulus,
misalnya melalui media massa semakin mudah akan melakukan proses imitasi
(meniru) terhadap perilaku tersebut.
2.
Memberikan penekanan terhadap norma-norma
prososial.
Norma-norma di masyarakat yang memberikan
penekanan terhadap tanggungjawab sosial dapat dilakukan melalui lingkungan
keluarga, sekolah maupun masyarakat umum. Longgarnya sosialisasi dan
pembelajaran terhadap norma-norma ini akan mendorong munculnya prilaku
anti-sosial atau tidak peduli dengan lingkungan sekitar dan hal ini sangat
mengkhawatirkan bagi perkembangan psikologis dan sosial seseorang. Dengan adanya proses sosialisasi dan
internalisasi tentang norma-norma prososial ini, maka perilaku prososial akan
mudah dijumpai dimana-mana dan hal ini akan mengembangkan pranata sosial yang
lebih baik.
3.
Memberikan pemahaman tentang superordinate identity
Pandangan bahwa setiap orang merupakan bagian
dari kelompok manusia secara keseluruhan
adalah hal penting yang perlu dilakukan. Manakala seseorang merasa menjadi
bagian dari suatu kelompok yang lebih besar, ia akan berusaha tetap berada di
kelompok tersebut dan akan melakukan perbuatan yang menuntun ia dapat diterima
oleh anggota kelompok yang lain, salah satu cara adalah senantiasa berbuat baik
untuk orang lain. Ia akan menghindarkan diri dari perbuatan yang tidak
disenangi oleh kelompoknya, sehingga kondisi ini akan memberikan dorongan untuk
senantiasa berbuat baik untuk orang lain.
Daftar Pustaka
Borba,
Michele (2008). Membangun Kecerdasan
Moral. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Goleman,
Daniel (2007), Social Intelligence: Ilmu Baru tentang Hubungan Antar Manusia.
PT Gramedia Pustaka Utama: Jakarta
Tri
Dayakisni & Hudaniah (2003). Psikologi
Sosial. UMM Press. Malang
Eileen Rachman. Eileen & Savitri. Sylvina (2009). Asah
empati. http://www.experd.com/news-articles/articles/55.
Mangunsong.
Frieda (2010). Menanam Empati Menumbuhkan
Kecerdasan, http://www.carisuster.com/artikel/7-inspired-kids/51-menanam-empati-tumbuhkan-kecerdasan
Intinya, harus tahu dirilah..
BalasHapuspenempatan diri atas situasi yang ada....
BalasHapuskk,,boleh tw buku2 tntans self control nya? masalahnnya saya trtarik bgt untuk menliti self control
BalasHapusMaaf admin, mau nanya nih. Untuk "faktor-faktor yang mempengaruhi kontrol diri" itu menurut pendapat siapa yah atau sumbernya dari mana ? terimakasih :)
BalasHapus