Pendahuluan
Agama
Islam sangat memperhatikan pendidikan manusia. Mengutip pengantar Prof. DR.
Nurcholis Madjid, dalam buku karangan Prof. DR. A. Malik Fadjar “Reorientasi
Pendidikan Islam”, bahwa agama Islam memerintahkan pendidikan akhlak dan
keahlian. Dua sasaran ini jelas sekali dengan petunjuk kitab suci Al Quran dan
sunnah Nabi. Dalam Al Quran dijelaskan agar setiap manuisa menjaga diri sendiri
dan keluarga dari siksa api neraka.
Yakni dengan mananamkan
takwa kepada Allah dan berbudi pekerti yang luhur kepada-Nya dan kepada sesama.
Demikianlah singkatnya pendidikan akhlak. Sedangkan pendidikan keahlian adalah
pendidikan yang mengarah pada pembekalan generasi muda (peserta didik) dengan
kecakapan-kecakapan dan keterampilan yang diperlukan untuk menjalani kehidupan.
Sehingga pada akhirnya mampu tampil sebagai sumber daya manusia yang
berkualitas dan tangguh.[1]
Berbicara seputar
pendidikan, berarti juga membicarakan ekonomi. Karena status sosial ekonomi
penuntut ilmu pengetahuan, masyarakat,
dan keberadaan ekonomi secara umum, mempunyai pengaruh terhadap perputaran roda
pendidikan, khususnya pendidikan Islam. Baik dalam aspek pengadaan,
pengembangan, dan perjalanannya.
Pendidikan
sebagai Investasi
Pendidikan dalam pandangan tradisional selama sekian dekade
dipahami sebagai bentuk pelayanan sosial yang harus diberikan kepada
masyarakat, dalam konteks ini pelayanan pendidikan sebagai bagian dari public
service atau jasa layanan umum dari negara kepada masyarakat yang tidak
memberikan dampak langsung bagi perekonomian masyarakat, sehingga pembangunan
pendidikan tidak menarik untuk menjadi tema perhatian, kedudukannya tidak
mendapat perhatian menarik dalam gerak langkah pembangunan.
Opini yang berkembang justru pembangunan sektor pendidikan
hanyalah sektor yang bersifat memakan anggaran tanpa jelas manfaatnya (terutama
secara ekonomi). Pandangan demikian membawa orang pada keraguan bahkan
ketidakpercayaan terhadap pembangunan sektor pendidikan sebagai pondasi bagi
kemajuan pembangunan disegala sektor.
Ketidakyakinan
ini misalnya terwujud dalam kecilnya komitmen anggaran untuk sektor pendidikan.
Mengalokasikan anggaran untuk sektor pendidikan dianggap buang-buang uang yang
tidak bermanfaat. Akibatnya alokasi anggaran sektor pendidikanpun biasanya sisa
setelah yang lain terlebih dahulu.
Cara pandangan ini sekarang sudah mulai tergusur sejalan
dengan ditemukannya pemikiran dan bukti ilmiah akan peran dan fungsi vital
pendidikan dalam memahami dan memposisikan manusia sebagai kekuatan utama
sekaligus prasyarat bagi kemajuan pembangunan dalam berbagai sektor.
Konsep pendidikan sebagai sebuah investasi (education as
investement) telah berkambang secara pesat dan semakin diyakini oleh setiap
negara bahwa pembangunan sektor pendidikan merupakan prasyarat kunci bagi
pertumbuhan sektor-sektor pembangunan lainnya. Konsep tentang investasi sumber
daya manusia (human capital investment) yang dapat menunjang pertumbuhan
ekonomi (economic growth), sebenarnya telah mulai dipikirkan sejak jaman Adam
Smith (1776), Heinrich Von Thunen (1875) dan para teoritisi klasik lainya
sebelum abad ke 19 yang menekankan pentingnya investasi keterampilan manusia.
Pemikiran ilmiah ini baru mengambil tonggal penting pada
tahun 1960-an ketika pidato Theodore Schultz pada tahun 1960 yang berjudul “Investement
in human capital” dihadapan The American Economic Association merupakan eletak
dasar teori human capital modern. Pesan utama dari pidato tersebut sederhana
bahwa proses perolehan pengetahuan dan keterampilan melalui pendidikan bukan
merupakan suatu bentuk konsumsi semata-mata, akan tetapi juga merupakan suatu
investasi.
Schultz (1960) kemudian memperhatikan bahwa pembangunan
sektor pendidikan dengan manusia sebagai fokus intinya telah memberikan
kontribusi langsung terhadap pertumbuhan ekonomi suatu negara, melalui
peningkatan keterampilan dan kemampuan produksi dari tenaga kerja. Penemuan dan
cara pandang ini telah mendorong ketertarikan sejumlah ahli untuk meneliti
mengenai nilai ekonomi dari pendidikan.
Alasan utama dari perubahan pandangan ini adalah adanya
pertumbuhan minat dan interest selama tahun 1960-an mengenai nilai ekonomi dari
pendidikan. Pada tahun 1962, Bowman, mengenalkan suatu konsep “revolusi
investasi manusia di dalam pemikiran ekonomis”. Para
peneliti lainnya seperti Becker (1993) dan yang lainnya turut melakukan
pengujian terhadap teori human capital ini.
Perkembangan
tersebut telah mempengaruhi pola pemikiran berbagai pihak, termasuk pemerintah,
perencana, lembaga-lembaga internasional, para peneliti dan pemikir modern
lainnya, serta para pelaksana dalam pembangunan sektor pendidikan dan
pengembangan SDM. Di negara-negara maju, pendidikan selain sebagai aspek
konsumtif juga diyakini sebagai investasi modal manusia (human capital
investement) dan menjadi “leading sektor” atau salah satu sektor utama. Oleh
karena perhatian pemerintahnya terhadap pembangunan sektor ini sungguh-sungguh,
misalnya komitment politik anggaran sektor pendidikan tidak kalah dengan sektor
lainnya, sehingga keberhasilan investasi pendidikan berkorelasi dengan kemajuan
pembangunan makronya.
Pada tahun 1970-an, penelitian-penelitian mengenai hubungan
antara pendidikan dan oertumbuhan ekonomi sempat mandeg karena timbulnya
kesangsian mengenai peranan pendidikan terhadap pertumbuhan ekonomi di beberapa
negara, khususnya di Amerika Serikat dan negara berkembang yang menerima
bantuan dari Bank Dunia pada waktu itu. Kesangsian ini timbul, antara lain
karena kritik para sosiolog pendidikan diantaranya Gary Besker (1964,
1975,1993) mengatakan bahwa teori human capital ini lebih menekankan dimensi
material manusia sehingga kurang memperhitungkan manusia dari dimensi sosio
budaya.
Kritik Becker ini justru membuka perspektif dari keyakinan
filosofis baha pendidikan tidak pula semata-mata dihitung sebagai investasi
ekonomis tetapi lebih dari itu dimensi sosial, budaya yang berorientasi pada
dimensi kemanusiaan merupakan hal yang lebih penting dari sekedar investasi
ekonomi. Karena pendidikan harus dilakukan oleh sebab terkait dengan
kemanusiaan itu sendiri (human dignity).
Beberapa penelitin neoklasik lain, telah dapat meyakinkan
kembali secara ilmiah akan pentingnya manusia yang terdidik menunjang
pertumbuhan ekonomi secara langsung bahwa seluruh sektor pembangunan makro
lainnya. Atas dasar keyakinan ilmiah itulah akhirnya Bank Dunia kembali
merealisasikan program bantuan internasionalnya di berbagai negara. Kontribusi
pendidikan terhadap pertumbuhan ini menjadi semakin kuat setelah
memperhitungkan efek interaksi antara pendidikan dan investasi fisik lainnya.
Artinya, investasi modal fisik akan berlipat ghanda nilai
tambahnya di kemudian hari jika pada saat yang sama dilakukan juga investasi
SDM, yang secara langsung akan menjadi pelaku dan pengguna dalam investasi
fisik tersebut.
Sekarang diakui bahwa pengembangan SDM suatu negara adalah
unsur pokok bagi kemakmuran dan pertumbuhan dan untuk penggunaan yang efektif
atas sumber daya modal fisiknya. Investasi dalam bentuk modal manusia adalah
suatu komponen integral dari semua upaya pembangyunan. Pendidikan harus
meliputi suatu spektrum yang luas dalam kehidupan masyarakat itu sendiri.
Nilai Balikan Pendidikan
Pengembangan
SDM melalui pendidikan menyokong secara langsung terhadap pertumbuhan ekonomi,
dan karenanya pengeluaran untuk pendidikan harus dipandang sebagai investasi
yang produktif dan tidak semata-mata dilihat sebagai sesuatu yang konsumtif
tanpa manfaat balikan yang jelas (rate of return).
Sejumlah
hubungan telah diuji dalam rangka kesimpulan tersebut. Misalnya studi Bank
Dunia mengenai 83 negara sedang berkembang menunjukan bahwa di 10 negara yang
mempunyai tingkat pertumbuhan riil tertinggi dari GNP perkapita antara tahun
1960 dan 1977, adalah negara yang tingkat melek hurup pada tahun 1960 rata-rata
16 persen lebih tinggi daripada nehara-negara lain
Juga
telah digambarkan bahwa investasi dalam bidang pendidikan mempunyai pengaruh
langsung terhadap produktivitas individu dan penghasilannya. Kebanyakan bukti
berasal dari pertanian. Kajian antara poetani yang berpendidikan dan yang tidak
berpendidikan di negara-negara berpendapa tan rendah menunjukan, ketika
masukan-masukan seperti pupuk dan bibit unggul tersedia untuk teknik-teknik
usaha tani yang lebih baik, hasil tahunan seorang petani yang tidak
berpendidikan. Meskipun masukan ini kurang, penghasilan para petani yang berpendidikan
tetap lebih tinggi 8 persen, (World Bank, World Development Report, 1980).
Sebuah
studi lain oleh dilakukan untuk Bank Dunia dan disajikan dalam World
Development Report 1980 menguji perkiraan tingkat pengembalian ekonomi (rate of
return) terhadap investasi dalam bidnag pendidikan di 44 negara sedang
berkembang. Disimpulkan bahwa nilai manfaat balikan semua tingkat pendidikan
berada jauh diatas 10 persen.
Berbagai
penelitian lainnya relatif selalu menunjukan bahwa nilai balikan modal manusia
lebih besar daripada modal fisik. Tidak ada negara di dunia yang mengalami
kemajuan pesat dengan dukungan SDM yang rendah pendidikannya. Jadi kalau kita
mengharapkan kemajuan pembangunan dengan tidak menjadikan modal manusia (sektor
pendidikan) sebagai prasyarat utama, maka sama dengan “si pungguk merindukan
bulan”.
Nilai Ekonomi Pendidikan
Menurut
Ari A. Pradana (2005) mengutip pendapat Profesor Joseph Stiglitz, di Jakarta “Sediakan
pendidikan sebisa mungkin dan bisa diraih dengan mudah oleh semua warga”,
kata peraih Nobel Ekonomi, seperti muat pada harian Kompas (15/12/2004).
Pertanyaan ini dilontarkan Stiglitz ketika menanggapi pertanyaan soal kebijakan
ekonomi seperti apa yang iperlukan Indonesia. Ia juga mengomentari
bahwa soal pendidikan ini adalah salah satu blunder kebijakan neoliberal yang
dianut Indonesia.
Peranan
pendidikan bahasa teknisnya modal manusia (human capital) dalam pertumbuhan
ekonomi memang belum terlalu lama masuk dalam literatur teori pertumbuhan
ekonomi. Dikemukakan oleh Ari A. Pradana menegaskan pendapat dari Lucas (1990)
serta Mankiw, Romer, dan Weil (1992) yang merevisi teori pertumbuhan neoklasik
dari Solow (1956) yang legendaris itu.
Dalam
studi-studinya, mereka menunjukkan bahwa teori Solow yang standar hanya mampu
menjelaskan bagaimana perekonomian sebuah negara bisa tumbuh, tetapi tidak
cukup mampu menjelaskan kesenjangan tingkat pendapatan per kapita antar negara
di dunia. Baru ketika variabel modal manusia diikutsertakan dalam perhitungan,
sebagian dari kesenjangan itu bisa dijelaskan.
Namun,
sejumlah misteri masih tersisa. Tingkat pendidikan di negara-negara bekembang
sebenarnya mengalami peningkatan drastis pada tahun 1960-1990. Easterly (2001)
menunjukkan bahwa median angka partisipasi sekolah dasar meningkat dari 88
persen menjadi 90 persen, sementara untuk sekolah menengah dari 13 persen
menjadi 45 persen. Selanjutnya, jika di tahun 1960 hanya 28 persen negara di
dunia yang angka partisipasi sekolah dasarnya mencapai 100 persen, di tahun
1990 menjadi lebih dari separuhnya.
Nyatanya,
kenaikan dari tingkat pendidikan di negara-negara berkambang tidak menjelaskan
kinerja pertumbuhan ekonomi. Ambil contoh Afrika. Antara tahun 1960 hingga
tahun 1985 pertumbuhan tingkat sekolah di benua itu tercatat lebih dari 4
persen per tahun. Nyatanya, ekonomi negara-negara di Afrika hanya tumbuh 0,5
persen per tahun. Itu pun karena ada “keajaiban ekonomi” di Afrika, yaitu Botswana dan Lesotho.
Kebanyakan
negara Afrika lain justru mencatat pertumbuhan negatif dalam periode tersebut.
Kasus ekstrem dialami Senegal
yang mengalami pertumbuhan angka sekolah hampir 8 persen per tahun, tetapi
memiliki pertumbuhan ekonomi yang negatif.
Dalam
periode yang sama negara-negara Asia Timur mengalami laju pertumbuhan ekonomi
yang lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan angka partisipasi sekolah.
Namun, perbedaan keduanya tidak banyak, hanya 4,2 persen dibandingkan dengan
2,7 persen. Artinya, jika pendidikan adalah rahasia untuk pertumbuhan ekonomi,
perbedaan itu seharusnya jauh lebih besar.
Asumsi
darsar dalam menilai kontribusi pendidikan terhadap pertumbuhan ekonomi dan
pengurangan kesenjangan adalah pendidikan meningkat produktivitas pekerja. Jika
produktivitas pekerja meningkat, pertumbuhan ekonomi akan meningkat. Di sisi
lain kenaikan produktivitas berarti kenaikan penghasilan. Selalu diasumsikan
bahwa manfaat dari kenaikan pendidikan secara agregat akan lebih besar bagi
kelompok miskin. Dengan demikian, jika tingkat pendidikan meningkat,
penghasilan kelompok miskin juga akan tumbuh lebih cepat dan pada akhirnya
ketimpangan akan mengecil.
Intervensi Ekonomi Secara Spesifik Pada
Pendidikan
Pendapat
yang mengataan bahwa pendidikan dan kebijakan pendidikan tidak bermanfaat bagi
kemakmuran sebuah negara. Ini adalah pendapat sama sekali tidak berdasar secara
impiris. Pesan yang ingin disampaikan adalah ada banyak hal lain yang
menyebabkan kontribusi positif pendidikan tidak teralu besar dalam mendorong
pertumbuhan ekonomi dan pemerataan dengan kata lain, pendidikan bukanlah mantra
ajaib. Konsekuensinya, intervensi pemerintah dalam bidang ini juga harus
dilakukan secara hati-hati.
Bentuk
kehati-hatian adalah tidak terjebak untuk mengukur peranan pemerintah dari
besarnya alokasi anggaran pendidikan. Anggaran memang penting, tetapi bukan
pada seberapa besar, melainkan direncanakan digunakan untuk apa, mengapa dan
bagaimana. Di beberapa negara Asia yang sedang
berkembang meski kebanyakan guru dibayar terlalu murah, dari hasil studi ADB
menyatakan bahwa tambahan anggaran untuk peralatan dan gedung memberikan hasil
lebih besar terhadap peningkatan mutu pendidikan.
Dalam
hal ke tingkat pendidikan mana anggaran harus dialokasikan, Booth (2000)
menulis bahwa di Indonesia pada 1980-1990-an dalam laporan World Bank subsidi
pemerintah yang terlalu besar bagi pendidikan tinggi menyebabkan oefisien Gini
yang meningkat. Alasannya, lulusan perguruan tinggi adalah yang paling
diuntungkan dari boom selama ekonomi periode itu.
Selain
soal anggaran, tingkat pendidikan di suatu negara mungkin menghadapi masalah
lain di luar pendanaan. Disini dibutuhkan intervensi pemerintah yang spesifik
untuk mengatasi masalah-masalah itu. Contohnya, di Kenya ditemukan bahwa
rendahnya kualitas pendidikan dasar disebabkan oleh kuranynya nutrisi murid
sekolah dasar akibat penyakit cacingan. Pembagian bat cacing bagi murid SD
ternyata lebih efektif dalam meningkatkan kualitas pendidikan di sana.
Kesimpulannya,
tidak ada kebijakan pemerintah yang bisa diterka secara universal di semua
negara. Ini adalah inti dari kritik kaum populis terhadap kebijakan neoliberal.
Hal ini yang sebaliknya juga berlaku, tidak ada kebijakan populis yang berlaku
secara universal. Dan tidak semua hal bisa diselesaikan dengan anggaran
pemerintah yang lebih besar.
Menurut
Mohamad Ali (2005), dikemukakan Malaysia
mengalami kemajuan yang tinggi di pengembangan SDM, karena pada masa
pemerintahan PM Mahathir Mohamad, telah mencanangkan pengembangan SDM ke depan
dengan melakukan investasi yang cukup tinggi yaitu 28 persen dari anggaran
belanja negaranya, dan pemerintahan PM Mahathir yang berjalan selama 17 tahun.
Melihat keberhasilan tersebut, maka negara Indonesia dengan UUD 1945 yang telah
diamandemen memberikan amanat kepada pemerintah untuk menetapkan anggaran
pendidikan 20 persen dari anggaran belanja negara seperti tertuang pada pasal
31 Ayat 4. Demikianlah pengaruh dan timbal keberadaan sosial ekonomi terhadap
dunia pendidikan.
DAFTAR PUSTAKA
1)
Becker G.S. 1993. Human Capital, A theoritical and
Empirical Analysis with Speccial reference to Education. Chicago,
University of Chicago P ress
2)
Cohn. Elchanan, 1979. The Economics Of Education,
Ballinger Publishing
3)
Dodi Nandika. 2005. Kebijakan Pembangunan
Pendidikan 2005-2009. Bandung
UPI.
4)
Engkoswara. 2002. Lembaga Pendidikan sebagai Pusat
Pembudayaan. Bandung,
Yayasan Amal Keluarga
5)
Fadjar, A. Malik, Prof. DR, 1999. Reorientasi
Pendidikan Islam, Jakarta: Yayasan Pendidikan Islam FAJAR DUNIA
6)
Fattah, Nanang. 2000. Ekonomi dan Pembiayaan Pendidikan.
Rosda. Bandung
7)
Jac Fitz-enz, 2000.The ROI of Human Capital, Measuring
the Economic Value of Employee Performance, New York, Amacom
8)
Joseph Stiglitz, 2004. Economy Growth and Education
Policy, Jakarta.
Kompas 15-12-2004
0 comments:
Posting Komentar