Sebelum agama Islam datang, kedudukan wanita sangat
rendah, mereka tidak berhak mendapat harta warisan. Harta hanya hak monopoli
kaum pria saja. Setelah Islam datang, wanita serasa mendapat angin segar.
Mereka diperlakukan selayaknya manusia pada umumnya, tidak ada pilih kasih
antara pria dan wanita.
Pada zaman sekarang ini, para wanita ikut serta
mengambil bagian hampir pada semua lapangan kegiatan atau pekerjaan. Di
Indonesia, ada wanita yang menjadi Menteri, Pemimpin Perusahaan, Angkatan Bersenjata,
Anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat, Pegawai Negeri, Kepala Sekolah dan
menjadi buruh serta ibu rumah tangga yang saat ini dianggap sebagai lapisan
bawah.
Para wanita telah ikut secara aktif, membangun rumah
tangga dan negara. Malahan ada yang kita lihat agak berlebihan, karena wanita
lebih banyak memegang peranan dalam membiayai rumah tangga. Pada sebagian
daerah, ada banyak wanita yang mencari nafkah, meninggalkan kampung halaman
untuk pergi keluar kota bahkan keluar negeri untuk bekerja, sedangkan suami
tinggal dirumah, mengurus anak-anak, dan sawah (kalau punya).
Semua itu dilakukan tentu dilakukan karena ada
berbagai macam sebab atau alasan. Para wanita bekerja mungkin terdorong untuk
berbakti kepada keluarga, masyarakat dan negara. Bisa saja, karena keadaan
memaksa mereka untuk itu karena biaya hidup berumah tangga tidak
tertanggulangi, karena pendapatan suami tidak mencukupi, dan lain sebagainya.
Boleh jadi juga, karena di telinga mereka terngiang-ngiang suara persamaan hak
dan derajat antara pria dan wanita.
A.
Kedudukan Wanita
Dalam Al-Qur’an Allah menjelaskan mengenai kedudukan
wanita, di antaranya Allah berfirman:
والمؤمنون والمؤمنات بعضهم أولياء بعض يأمرون
بالمعروف وينهون عن المنكر ويقيمون الصلاة ويؤتون الزكاة ويطيعون الله ورسوله أولئك
سيرحمهم الله إن الله عزيز حكيم
“Dan
orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah)
menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang
ma’ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan salat, menunaikan zakat dan
mereka taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh
Allah, sesungguhnya Allah Maha perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. At Taubah: 71).
Dari ayat di atas dapat
dipahami bahwa pria dan wanita saling tolong menolong, terutama dalam satu
rumah tangga dan mempunyai tugas dan kewajiban yang sama untuk menjalankan amar
ma’ruf, nahi munkar.
Allah juga berfirman dalam QS. An-Nisaa’: 32,
ولا
تتمنوا ما فضل الله به بعضكم على بعض للرجال نصيب مما اكتسبوا وللنساء نصيب مما اكتسبن...
“Dan janganlah kamu iri hati terhadap
apa yang dikaruniakan Allah kepada sebagian kamu lebih banyak dari sebagia yang
lain. (Karena) bagi orang laki-laki ada bagian daripada apa yang mereka
usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bagian dari apa yang mereka
usahakan...” (An-Nisaa: 32).
Kalau kita perhatikan,
maka ayat ini pun cukup jelas memberi gambaran, bahwa tidak ada diskriminasi
bagi wanita, tidak ada alasan untuk merendahkan derajat kaum wanita. Semuanya
bergantung kepada amalan masing-masing. Wanita mempunyai hak dari hasil
usahanya sebagaimaa pria, disamping juga mempunyai kewajiban.
Akan tetapi dalam hal
tertentu, kedudukan wanita tidak harus sama benar dengan kaum pria. Bukan
karena kurang penghargaan, tetapi karena kodrat wanita yang menghendaki
demikian. Sebagaimana firman Allah SWT:
الرجال
قوامون على النساء بما فضل الله بعضهم على بعض وبما أنفقوا من أموالهم ...
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi
kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki)
atas sebagian yang lain (wanita) dan karena mereka (laki-laki) telah
menafkahkan dari harta mereka...”
(An-Nisa: 34).
Para musafir menyatakan
bahwa qawwam berarti pemimpin, pelindung, penanggung jawab, pendidik,
dan pengatur. Selanjutnya, mereka mengatakan bahwa kelebihan yang dimiliki
laki-laki atas perempuan adalah karena keunggulan akal dan fisiknya.
Ath-Thabathaba’i berpendapat bahwa kelebihan laki-laki atas perempuan adalah
karena ia memiliki kemampuan berpikir, yang karena itu melahirkan keberanian,
kekuatan dan kemampuan mengatasi berbagai kesulitan. Sementara perempuan lebih
sensitif dan emosional.
- KEPEMIMPINAN PEREMPUAN
Sebelum memasuki
pembahasan tentang kepemimpinan perempuan, kami akan mencoba mengulas tentang
syarat-syarat menjadi seorang pemimpin.
Syarat sah seseorang
menjadi seorang presiden sebagai kepala negara dalam pandangan Islam adalah
sebagai berikut:
- Mempunyai syarat kepemimpinan secara sempurna, yaitu: Islam, merdeka (bukan budak), lelaki, baligh, berakal sehat.
- Mengerjakan agama secara baik, benar, berakhlak mulia, memegang amanat, bersih dan menghindari perbuatan yang dilarang oleh agama, dan lain sebagainya.
- Memiliki cukup ilmu yang bisa mengantarkanya kepada suatu ijtihad, jika terjadi permasalahan yang mendesak sesuai dengan syariat terutama di dalam urusan politik negara.
- Sempurna dan kuatnya pemeliharaan di dalam permasalahan politik, strategi peperangan, dan administrasi demi kepentingan rakyat.
- Berkepribadian tegar dan bersifat tegas, pemberani dalam mengambil keputusan, demi menjaga keselamatan bangsa dan menolak penjajahan dalam segala bidang.
- Kesempurnaan jiwa raga, sehat jasmani dan panca indera, sehingga tidak memerlukan perantara dalam memahami situasi.
- Dari keturunan dan keluarga yang baik.
Ada tiga pandangan tentang kepemimpinan perempuan
dalam fiqh Islam, yaitu:
ü
Wanita tidak mempunyai hak sama sekali dalam
berpolitik. Di antara dalil yang dipakai untuk menguatkan pendapat mereka
adalah adanya ketentuan laki-laki adalah pemimpin (An-Nisa 32 dan 34,
Al-Baqarah: 228), hadis Abu Bakrah, ketika Rasulullah mengetahui Kaum Parsi
dipimpin oleh seorang wanita, Rasulullah bersabda: “Tidak akan bahagia suatu
kaum yang menyerahkan urusannya kepada wanita.” (HR Bukhari Muslim).
ü
Sebagian besar ulama klasik dan
kontemporer, memandang wanita memiliki hak berpolitik yang sama seperti
laki-laki kecuali memegang pucuk pemerintahan (presiden), dengan beralasan
bahwa laki-laki dan perempuan mempunyai hak dan kewajiban yang sama dalam Islam
(Al-Baqarah:228, Al-Hujurat:13, Al-Taubah: 71 dan Al-Nur: 30-31). Alasan
pendapat yang kedua bahwasanya wanita kapabel untuk berpartisipasi dalam
wilayah politik, seperti bukti sejarah tentang suksesnya Ratu Bilqis yang
memerintahkan Saba (Al-Naml : 32-34). Rasulullah juga mengakui suaka politik
dari kaum wanita, seperti Ummu Hani dalam peristiwa Fath Mekkah, Rasulullah
juga menerima bai’at kaum wanita. Juga penyebaran dakwah Islam dengan
periwayatan hadis yang dilakukan juga oleh kaum Muslimah seperti Aisyah ra.
ü
Pendapat ketiga memandang wanita
berhak berpolitik seperti laki-laki termasuk memegang pucuk pemerintahan. Kelompok
yang sebagian besar ulama kontemporer ini mengintepretasikan Hadis Abu Bakrah
khusus ditujukan untuk Kaum Persia yang saat itu dipimpin oleh seorang wanita,
bukan dipukul rata untuk semua kaum. Juga mengambil dalil dari kisah sukses
Ratu Bilqis yang diceritakan dalam Al-Qur’an (An Naml : 32-34), serta suksesnya
pemimpin wanita seperti Margareth Teacher, Indira Gandhi, bahkan kerajaan Aceh
pernah dipimpin oleh seorang wanita.
Realitas sekarang ini
memperlihatkan bahwa pandangan mengenai kehebatan laki-laki dan kelemahan
perempuan dari sisi intelektual dan profesi tengah digugat. Kehebatan intelektual
dan profesi adalah dua hal yang menjadi syarat bagi kepemimpinan. Dengan syarat
seperti ini, terbuka kesempatan yang luas bagi perempuan untuk menduduki
posisi-posisi kepemimpinan publik, termasuk menjadi presiden.
DAFTAR PUSTAKA
Hasan, Ali.
(2003). Masail Fiqhiyah Al-Haditsah Pada Masalah-Masalah Kontemporer Hukum
Islam. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Muhammad,
Husein. (2001). Fiqh Perempuan Refleksi Kiai Atas Wacana Agama dan Gender.
Yogyakarta: LKiS.
Hadist-hadist Kepemimpinan Wanita. Diakses pada tanggal 21 Desember 2012
dari http://migodhog.blogspot.com/2012/03/hadits-hadits-kepemimpinan-wanita.html
0 comments:
Posting Komentar