Jumat, 15 Maret 2013

KEPEMIMPINAN PEREMPUAN DALAM ISLAM



Sebelum agama Islam datang, kedudukan wanita sangat rendah, mereka tidak berhak mendapat harta warisan. Harta hanya hak monopoli kaum pria saja. Setelah Islam datang, wanita serasa mendapat angin segar. Mereka diperlakukan selayaknya manusia pada umumnya, tidak ada pilih kasih antara pria dan wanita.

Pada zaman sekarang ini, para wanita ikut serta mengambil bagian hampir pada semua lapangan kegiatan atau pekerjaan. Di Indonesia, ada wanita yang menjadi Menteri, Pemimpin Perusahaan, Angkatan Bersenjata, Anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat, Pegawai Negeri, Kepala Sekolah dan menjadi buruh serta ibu rumah tangga yang saat ini dianggap sebagai lapisan bawah.
Para wanita telah ikut secara aktif, membangun rumah tangga dan negara. Malahan ada yang kita lihat agak berlebihan, karena wanita lebih banyak memegang peranan dalam membiayai rumah tangga. Pada sebagian daerah, ada banyak wanita yang mencari nafkah, meninggalkan kampung halaman untuk pergi keluar kota bahkan keluar negeri untuk bekerja, sedangkan suami tinggal dirumah, mengurus anak-anak, dan sawah (kalau punya).
Semua itu dilakukan tentu dilakukan karena ada berbagai macam sebab atau alasan. Para wanita bekerja mungkin terdorong untuk berbakti kepada keluarga, masyarakat dan negara. Bisa saja, karena keadaan memaksa mereka untuk itu karena biaya hidup berumah tangga tidak tertanggulangi, karena pendapatan suami tidak mencukupi, dan lain sebagainya. Boleh jadi juga, karena di telinga mereka terngiang-ngiang suara persamaan hak dan derajat antara pria dan wanita.

A.    Kedudukan Wanita
Dalam Al-Qur’an Allah menjelaskan mengenai kedudukan wanita, di antaranya Allah berfirman:
والمؤمنون والمؤمنات بعضهم أولياء بعض يأمرون بالمعروف وينهون عن المنكر ويقيمون الصلاة ويؤتون الزكاة ويطيعون الله ورسوله أولئك سيرحمهم الله إن الله عزيز حكيم


“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan salat, menunaikan zakat dan mereka taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah, sesungguhnya Allah Maha perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. At Taubah: 71).
Dari ayat di atas dapat dipahami bahwa pria dan wanita saling tolong menolong, terutama dalam satu rumah tangga dan mempunyai tugas dan kewajiban yang sama untuk menjalankan amar ma’ruf, nahi munkar.
Allah juga berfirman dalam QS. An-Nisaa’: 32,
ولا تتمنوا ما فضل الله به بعضكم على بعض للرجال نصيب مما اكتسبوا وللنساء نصيب مما اكتسبن...
“Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebagian kamu lebih banyak dari sebagia yang lain. (Karena) bagi orang laki-laki ada bagian daripada apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bagian dari apa yang mereka usahakan...” (An-Nisaa: 32).
Kalau kita perhatikan, maka ayat ini pun cukup jelas memberi gambaran, bahwa tidak ada diskriminasi bagi wanita, tidak ada alasan untuk merendahkan derajat kaum wanita. Semuanya bergantung kepada amalan masing-masing. Wanita mempunyai hak dari hasil usahanya sebagaimaa pria, disamping juga mempunyai kewajiban.
Akan tetapi dalam hal tertentu, kedudukan wanita tidak harus sama benar dengan kaum pria. Bukan karena kurang penghargaan, tetapi karena kodrat wanita yang menghendaki demikian. Sebagaimana firman Allah SWT:
الرجال قوامون على النساء بما فضل الله بعضهم على بعض وبما أنفقوا من أموالهم ...
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita) dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan dari harta mereka...” (An-Nisa: 34). 
Para musafir menyatakan bahwa qawwam berarti pemimpin, pelindung, penanggung jawab, pendidik, dan pengatur. Selanjutnya, mereka mengatakan bahwa kelebihan yang dimiliki laki-laki atas perempuan adalah karena keunggulan akal dan fisiknya. Ath-Thabathaba’i berpendapat bahwa kelebihan laki-laki atas perempuan adalah karena ia memiliki kemampuan berpikir, yang karena itu melahirkan keberanian, kekuatan dan kemampuan mengatasi berbagai kesulitan. Sementara perempuan lebih sensitif dan emosional.
  1. KEPEMIMPINAN PEREMPUAN
Sebelum memasuki pembahasan tentang kepemimpinan perempuan, kami akan mencoba mengulas tentang syarat-syarat menjadi seorang pemimpin.
Syarat sah seseorang menjadi seorang presiden sebagai kepala negara dalam pandangan Islam adalah sebagai berikut:
  1. Mempunyai syarat kepemimpinan secara sempurna, yaitu: Islam, merdeka (bukan budak), lelaki, baligh, berakal sehat.
  2. Mengerjakan agama secara baik, benar, berakhlak mulia, memegang amanat, bersih dan menghindari perbuatan yang dilarang oleh agama, dan lain sebagainya.
  3. Memiliki cukup ilmu yang bisa mengantarkanya kepada suatu ijtihad, jika terjadi permasalahan yang mendesak sesuai dengan syariat terutama di dalam urusan politik negara.
  4. Sempurna dan kuatnya pemeliharaan di dalam permasalahan politik, strategi peperangan, dan administrasi demi kepentingan rakyat.
  5. Berkepribadian tegar dan bersifat tegas, pemberani dalam mengambil keputusan, demi menjaga keselamatan bangsa dan menolak penjajahan dalam segala bidang.
  6. Kesempurnaan jiwa raga, sehat jasmani dan panca indera, sehingga tidak memerlukan perantara dalam memahami situasi.
  7. Dari keturunan dan keluarga yang baik.
Ada tiga pandangan tentang kepemimpinan perempuan dalam fiqh Islam, yaitu:
ü  Wanita tidak mempunyai hak sama sekali dalam berpolitik. Di antara dalil yang dipakai untuk menguatkan pendapat mereka adalah adanya ketentuan laki-laki adalah pemimpin (An-Nisa 32 dan 34, Al-Baqarah: 228), hadis Abu Bakrah, ketika Rasulullah mengetahui Kaum Parsi dipimpin oleh seorang wanita, Rasulullah bersabda: “Tidak akan bahagia suatu kaum yang menyerahkan urusannya kepada wanita.” (HR Bukhari Muslim).
ü  Sebagian besar ulama klasik dan kontemporer, memandang wanita memiliki hak berpolitik yang sama seperti laki-laki kecuali memegang pucuk pemerintahan (presiden), dengan beralasan bahwa laki-laki dan perempuan mempunyai hak dan kewajiban yang sama dalam Islam (Al-Baqarah:228, Al-Hujurat:13, Al-Taubah: 71 dan Al-Nur: 30-31). Alasan pendapat yang kedua bahwasanya wanita kapabel untuk berpartisipasi dalam wilayah politik, seperti bukti sejarah tentang suksesnya Ratu Bilqis yang memerintahkan Saba (Al-Naml : 32-34). Rasulullah juga mengakui suaka politik dari kaum wanita, seperti Ummu Hani dalam peristiwa Fath Mekkah, Rasulullah juga menerima bai’at kaum wanita. Juga penyebaran dakwah Islam dengan periwayatan hadis yang dilakukan juga oleh kaum Muslimah seperti Aisyah ra.
ü  Pendapat ketiga memandang wanita berhak berpolitik seperti laki-laki termasuk memegang pucuk pemerintahan. Kelompok yang sebagian besar ulama kontemporer ini mengintepretasikan Hadis Abu Bakrah khusus ditujukan untuk Kaum Persia yang saat itu dipimpin oleh seorang wanita, bukan dipukul rata untuk semua kaum. Juga mengambil dalil dari kisah sukses Ratu Bilqis yang diceritakan dalam Al-Qur’an (An Naml : 32-34), serta suksesnya pemimpin wanita seperti Margareth Teacher, Indira Gandhi, bahkan kerajaan Aceh pernah dipimpin oleh seorang wanita.
Realitas sekarang ini memperlihatkan bahwa pandangan mengenai kehebatan laki-laki dan kelemahan perempuan dari sisi intelektual dan profesi tengah digugat. Kehebatan intelektual dan profesi adalah dua hal yang menjadi syarat bagi kepemimpinan. Dengan syarat seperti ini, terbuka kesempatan yang luas bagi perempuan untuk menduduki posisi-posisi kepemimpinan publik, termasuk menjadi presiden.





DAFTAR PUSTAKA
Hasan, Ali. (2003). Masail Fiqhiyah Al-Haditsah Pada Masalah-Masalah Kontemporer Hukum Islam. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Muhammad, Husein. (2001). Fiqh Perempuan Refleksi Kiai Atas Wacana Agama dan Gender. Yogyakarta: LKiS.
Hadist-hadist Kepemimpinan Wanita. Diakses pada tanggal 21 Desember 2012 dari http://migodhog.blogspot.com/2012/03/hadits-hadits-kepemimpinan-wanita.html

0 komentar:

Posting Komentar