I.
OTOPSI
A.
Pendahuluan
Perkembangan ilmu
pengetahuan telah mengantarkan umat manusia untuk menelaah lebih jauh tentang
kepentingan dan kemaslahatannya, lebih-lebih dari tinjauan kemaslahatan serta
keabsahannya menurut hukum Islam. Semua penemuan baru hendaknya disejalankan
dengan kaidah-kaidah hukum Islam, seperti hukum bedah mayat menurut pandangan
hukum Islam.
Di dalam nash tidak ditemukan keterangan yang sharih tentang hukum
melakukan pembedahan mayat, sebab bedah mayat seperti di zaman sekarang ini
belum dikenal di masa lalu. Yang ditemukan hanya dalil-dalil dari Sunnah
Nabawiah yang berbicara tentang larangan merusak tulang mayat. Selain itu
terdapat perbedaan pendapat di antara para ulama tentang hukum membedah perut
mayat. Hanya saja masalahnya tidak sama persis dengan kasus otopsi. Pembedah
perut mayat dilakukan bila mayat itu menelan harta atau didalamnya ada janin
yang diyakini masih hidup.
Ilmu kedokteran pada saat ini banyak melakukan percobaan dalam berbagai hal
tentang pengobatan dan ilmu kesehatan serta ilmu kedokteran guna penyidikan
sebab-sebab kematian manusia yang dirasakan tidak wajar dengan metode membedah
atau meneliti bagian dalam tubuh manusia tersebut. Dalam praktek yang dilakukan
oleh para ahli kedokteran dan mahasiswa kedokteran tidak cukup dengan
teori-teori yang terdapat di dalam buku-buku saja, akan tetapi mereka langsung
diperlihatkan berbagai macam anatomi yang terdapat dalam tubuh manusia, salah
satu cara yang telah ditempuh dalam ilmu kedokteran adalah otopsi sebagai salah
satu ilmu yang dalam ilmu kedokteran sangat penting dalam mengetahui struktur
anatomi tubuh manusia dan cara mengatasi berbagai macam penyakit yang terdapat
dalam tubuh manusia dan sebagai alat bukti sebab musabab kematian manusia
tersebut yang nantinya berguna dalam persidangan di pengadilan sebagai alat
bukti.
Oleh karena itu penggunaan mayat manusia untuk membuktikan ilmiah dalam
rangka pengembangan ilmu kedokteran merupakan hal yang sangat penting karena
sebagai alat peraga yang cocok sehingga mendapatkan gambaran langsung dan
nyata.
B.
Pengertian
Otopsi secara bahasa berarti pengobatan penyakit dengan jalan memotong
atau mengiris bagian tubuh manusia yang sakit atau operasi. Dalam bahasa
arab dikenal dengan istilah Jirahah atau amaliyah bil al jirahah
yang berarti melukai, mengiris atau operasi pembedahan. Bedah mayat oleh dokter
Arab dikenal dengan istilah at tashrih jistul al mauta. Dalam bahasa
inggris dikenal istilah autopsy yang berarti pemeriksaan terhadap jasad orang
yang mati untuk mencari sebab-sebab kematianya.
Dalam terminologi ilmu kedokteran otopsi atau bedah mayat berarti suatu
penyelidikan atau pemeriksaan tubuh mayat, termasuk alat-alat atau organ tubuh
dan susunanya pada bagian dalam setelah dilakukan pembedahan dengan tujuan
menentukan sebab kematian seseorang, baik untuk kepentingan ilmu kedokteran
maupun menjawab misteri suatu tindak kriminal.
C. Landasan Hukum Otopsi
Semua penemuan baru
sebagai hasil dari perekembangan teknologi hendaknya disejalankan dengan
kaidah-kaidah hukum Islam, seperti otopsi menurut pandangan Hukum Islam.
Adapaun teori yang dapat menjawab persolan bedah mayat (otopsi) adalah
sebagai berikut :
1.
Al-qur’an
$yJ¯RÎ) tP§ym ãNà6ø‹n=tæ sptGøŠyJø9$# tP¤$!$#ur zNóss9ur ̓̓YÏ‚ø9$# !$tBur ¨@Ïdé& ¾ÏmÎ/ ÎŽötóÏ9 «!$# ( Ç`yJsù §äÜôÊ$# uŽöxî 8ø$t/ Ÿwur 7Š$tã Ixsù zNøOÎ) Ïmø‹n=tã 4 ¨bÎ) ©!$ # Ö‘qàÿxî íOŠÏm§‘ ÇÊÐÌÈ
“Sesungguhnya Dia hanya
mengharamkan atasmu bangkai, darah, daging babi, dan (daging) hewan yang
disembelih dengan (menyebut nama) selain Allah. Tetapi barang siapa dalam
keadan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak menginginkannya dan tidak pula
melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya.” (QS.Al Baqoroh : 173)
2.
Kaidah-kaidah Fiqh
-
الضرورات تبيح المحظورات
“Kemudaratan itu membolehkan hal-hal yang dilarang”
-
اذا تعارض مفسدتان روعي
اعظمهما ضرارا بارتكاب اخفهما
“Apabila dua mafsadah bertentangan, maka perhatikan mana yang lebih besar
mudaratnya dengan mengerjakan yang lebih ringan mudaratnya”
-
مالايتم الواجب الابه
فهو الواجب
“Apabila kewajiban
tidak bisa dilaksanakan karena dengan adanya suatu hal, maka hal tersebut juga
wajib”
-
المصلحة العامة مقدمة
على المصلحة الخاصة
“kemaslahatan publik didahulukan daripada kemaslahatan individu”
-
يتحمل الضرر لاجل الضرر
العام
“kemudaratan yang
khusus boleh dilaksanakan demi menolak kemudaratan yang bersifat umum”
D.
Otopsi dalam pandangan hukum Islam
Berikut
beberapa pandangan ulama yang berkenaan tentang hukum otopsi dalam Islam:
a.
Menurut Imam Ahmad bin Hambal
Seseorang yang sedang
hamil dan kemudian ia meninggal dunia, maka perutnya tidak perlu dibedah,
kecuali sudah diyakini benar, bahwa janin yang ada didalamnya masih hidup.
b. Menurut Imam Syafi’i
Jika seorang hamil,
kemudia dia meninggal dunia dan ternyata janinnya masih hidup, maka perutnya
boleh dibedah untuk mengeluarkan janinnya. Begitu juga hukumnya kalau dalam
perut si mayat itu ada barang berharga.
c. Menurut Imam Malik
Seorang yang meninggal
dunia dan didalam perutnya ada barang berharga, maka mayat itu harus dibedah,
baik barang itu milik sendiri maupun milik orang lain. Tetapi tidak perlu
(tidak boleh dibedah), kalau hanya untuk mengeluarkan janinnya yang
diperkirakan masih hidup.
d. Menurut Imam Hanafi
Seandainya diperkirakan
janin masih hidup, maka perutnya wajib dibedah untuk mengeluarkan janin itu.
Para
ulama kontemporer berbeda pendapat mengenai hukum otopsi di atas dalam dua
pendapat. Pertama,
membolehkan ketiga otopsi itu, dengan alasan dapat mewujudkan kemaslahatan di
bidang keamanan, keadilan, dan kesehatan. Ini pendapat Hasanain Makhluf, Said
Ramadhan Al-Buthi, dan beberapa lembaga fatwa.
Kedua, mengharamkan
ketiga otopsi itu, dengan alasan otopsi melanggar kehormatan mayat, yang telah
dilarang berdasarkan sabda Nabi SAW,”Memecahkan tulang mayat sama dengan
memecahkan tulangnya saat dia hidup.” (kasru ‘azhmi al-mayyit ka-kasrihi hayyan). (HR
Abu Dawud, sahih). Ini pendapat Taqiyuddin An-Nabhani, Bukhait Al-Muthi’i, dan
Hasan As-Saqaf.
Namun, keharaman otopsi ini hanya untuk mayat muslim.
Sedang jika mayatnya non muslim, hukumnya boleh. Terdapat hadis sahih (disebut
sifatnya, yaitu mayat mu`min/muslim), yakni sabda Nabi SAW, “Memecahkan tulang
mu`min yang sudah mati, sama dengan memecahkannya saat dia hidup.” (kasru ‘azhmi al-mu`min
maytan mitslu kasrihi hayyan.)
Sebab-sebab
dilakukannya otopsi adalah sebagai berikut :
a. Otopsi untuk
Kepentingan penegak Hukum (otopsi forensik)
Otopsi untuk
pemeriksaan mayat demi kepentingan pengadilan dengan maksud untuk mengetahui
sebab-sebab kematianya di sebut juga obductie. Di Indonesia masalah bedah mayat
atau otopsi diatur dalam pasal 134 UU No 8 Tahun 1981 tentang hukum acara pidana
yang berbunyi sebagai berikut : “Dalam hal sangat dimana untuk keperluan
pembuktian bedah mayat tidak mungkin lagi dihindarkan, penyidik wajib
memberitahukan terlebih dahulu kepada keluarga korban. Dalam hal keluarga
keberatan penyidik wajib menerangkan dengan jelasnya tentang maksud dan tujuan
perlu dilakukanya pembedahan tersebut. Apabila dalam waktu dua hari tidak ada
tanggapan apapun dari keluarga atau pihak yang perlu diberitahu tidak ketemukan
penyidik segera melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 133
ayat 3 UU ini.
Pasal 133 dari UU
tersebut berbunyi sebagai berikut :
“Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban
baik keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan tindak
pidana, ia berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli
kedokteran dan atau ahli lainya.
Permintaan keterangan ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan
secara tertulis yang dalam surat itu disebutkan dengan tegas untuk pemeriksaan
luka atau pemeriksaan mayat dan atau pemeriksaan bedah mayat. Mayat yang
dikirim kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter pada rumah sakit harus
diperlakukan secara baik dengan penuh penghormatan terhadap mayat tersebut dan
diberi label yang memuat identitas mayat yang dilakukan dengan diberi cap
jabatan yang diletakan pada ibu jari kaki atau bagian lain pada mayat.”
Berpijak dari
penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa otopsi atau bedah mayat adalah
suatu pembedahan atau pemeriksaan pada mayat yang dilakukan oleh para tim
dokter ahli dengan dilandasi oleh maksud atau kepentingan tertentu untuk
mengetahui sebab-sebab kematian mayat.
Untuk mengetahui status
hukum terhadap tindakan otopsi mayat yang digunakan sebagai pembuktian hukum di
pengadilan dengan menggunakan teori Qawa’id al-Fiqhiyah dapat diterapkan
kaidah-kaidah berikut ;
Kaidah Pertama
يتحمل الضرر لاجل الضرر العام
“kemudaratan yang
khusus boleh dilaksanakan demi menolak kemudaratan yang bersifat umum”
Berdasarkan kaidah di
atas, kemadharatan yang bersifat khusus boleh dilaksanakan demi menolak
kemadharatan yang bersifat umum. Sebuah tindakan pembunuhan misalnya, adalah
tergolong tindak pidana yang mengancam kepentingan publik atau mendatangkan
mudaharat ‘am. Untuk menyelamatkan masyarakat dari rangkaian tindak pembunuhan
maka terhadap pelakunya harus diadili dan dihukum sesuai ketentuan hukum yang
berlaku. Bukti-bukti atas tindakan pembunuhan yang dilakukanya harus diperkuat
agar ia dapat dihukum dan jangan sampai bebas dalam proses pengadilan, sungguhpun
untuk pembuktian itu harus dengan melakukan otopsi atau membedah mayat korban.
Didalam hukum Islam,
Suatu tindakan yang dilandasi oleh alasan untuk menjamin keamanan dan
keselamatan diri orang yang hidup harus lebih diutamakan daripada orang yang
sudah mati.
Kaidah Kedua
الضرورات تبيح المحظورات
“Kemudaratan itu membolehkan hal-hal yang dilarang”
Dari kaidah kedua dapat
dipahami bahwa persolanan darurat itu membolehkan sesuatu yang semula
diharamkan. Berangkat dari fenomena di atas, maka otopsi forensik sangat
penting kedudukanya sebagai metode bantu pengungkapan kematian yang diduga
karena tindak pidana. Dengan melaksanakan otopsi forensik maka dapat dipecahkan
misteri kematian yang berupa sebab kematian, cara kematian, dan saat kematian korban.
Kaidah Ketiga
لاحرام مع الضرورات ولاكراهة مع الحاجة
“Tiada keharamna dalam kondisi darurat, dan tidak ada makruh dalam kondisi
hajat”
Kaidah ketiga ini
menyatakan bahwa tiadanya keharaman dalam kondisi darurat, seperti halnya tidak
adanya kemakaruhan dalam kondisi hajat. Maka jika otopsi di atas dipahami
sebagai hal yang bersifat darurat, artinya satu-satunya cara membuktikan, maka
otopsi itu sudah menempati level darurat, dan karena itu status hukumnya
dibolehkan.
Kaidah Keempat
الحاجة تنزل منزلة الضرورة
“Keperluan dapat menduduki posisi keadaan darurat”
Kaidah keempat di atas
d apat memperkuat argumentasi kaidah sebelumnya. Maka kaidah ini adalah hajat
menempati kedudukan darurat, baik hajat umum maupun hajat yang bersifat perorangan.
b. Otopsi Untuk
mengeluarkan Benda yang Berharga
Jika seseorang menelan
sesuatu yang bukan miliknya yang mengakibatkan ia meninggal dunia, selanjutnya
pemilik menuntut agar barang yang ada diperut mayat dikembalikan kepadanya.
Dalam hal di atas tidak
ada cara lain yang bias ditempuh kecuali dengan membedah mayat itu untuk
mengeluarkan barang yang ada di perut mayat.
Melihat persolan
seperti kasus di atas, perlu ditentukan status hukum bedah mayat tersebut
apakah dibolehkan atau diharamkan. Berdasarkan ajaran Islam haram hukumnya
seseorang menguasai suatu barang yang bukan haknya. Tindakan yang demikian akan
menjadi ganjalan bagi orang yang mati di alam sesudahnya kematianya karena ia
masih terkait dengan hak orang lain.
c. Otopsi untuk
Menyelamatkan Janin dalam Rahim
Dalam menentukan status
hukum masalah otopsi untuk menyelamtkan janin yang masih hidup di dalam rahim
mayat dapat diterapkan kaidah-kaidah berikut :
اذاتعارض مفسدتان روعى اعظمهما ضرارا بارتكاب اخفهما
“Apabila dua mafsadah bertentangan, maka perhatikan mana yang lebih besar
mudaratnya dengan mengerjakan yang lebih ringan mudaratnya”
الضرر الاشد يزال بالضرر الاخف
“Kemudaratan yang lebih berat dihilangkan dengan kemudaratan yang lebih
ringan”
Dengan kaidah tesebut
dapat dipahami bahwa apabila dua mafsadah bertemu dalam suatu waktu, dan kedua
mafsadah itu saling bertentangan, maka harus diperhatikan mana yang lebih besar
madhartnya dengan mengerjakan yang lebih ringan madharatnya.
Jika kaidah kedua
tersebut di atas di aplikasikan dalam kasus otopsi untuk menyelamtkan janin
yang masih hidup dalam perut, maka pilihan yang harus diambil adalah
kemaslahatan orang yang hidup. Artinya kemaslahatan janin harus lebih
diutamakan dari pada orang yang mati (mayat).
Bahkan dalam persoalan
ini Al-Syirahi berpendapat bahwa wajib hukumnya membedahkan mayat bila
mengandung janin yang masih hidup. Karena janin tersebut tidak berdaya untuk
menyelamatkan dirinya, maka orang hiduplah yang berkewajiban untuk menolongnya
meskipun dengan melalui pembedahan mayat, ia mengatakan :
وان ماتت امراة وفى جوفها جنين حلى شق جوفها لانه استبقاحي باتلاف جزء من
الميت
Tetapi kaidah fiqih
juga membatasi tindakan yang dilakukan terhadap mayat yaitu tidak boleh
melewati batas–batas tertentu atau melewati batas-batas yang menjadi hajat
diadakanya pembedahan itu
d. Otopsi Untuk
Penelitian Ilmu Kedokteran (otopsi anatomis dan klinis)
Menurut Umar Hubais
mempelajari ilmu kedokteran adalah wajib atau fardhu kifayah bagi umat Islam,
karena Rasul sendiri berobat, memberi obat serta menganjurkan untuk berobat
sebagaimana sabdanya :
حدثن ابو بكر ابن شيبه وهشام بن عمار قال : حدثن سفيان
ابن عيينة عن زيادبن علاقة عن اسامة ابن شريك قال : شهدت الاعراب يسالون النبى ص م
: اعلينا حرج فى كذا؟ فقال لهم : عبادالله. وضع الله الحرج الامن اقترض من عرض
اخيه شيئا فذاك الذى حرج فقالوا : يارسول الله, هل علينا جناح ان لانداوى؟ قال :
تداووا, عباد الله فان الله سبحانه لم يضع داء الاوضع معه شفاء الاالهرم, ه
Salah satu ilmu
kedokteran yang sangat penting adalah ilmu bedah. Ilmu ini menghajatkan
pengetahuan yang luas dan dalam tentang anatomi dan fisiologi tubuh manusia.
Untuk mengembangkan ilmu ini maka penyelidikan terhadap organ tubuh manusia
menjadi sesuatu yang tidak mungkin dihindarkan, jika perlu mengadakan
pembedahan dan pemeriksaan tubuh mayat, memeriksa susunan syaraf, rongga perut
dalam rangka. Hal demikian dimaksudkan agar seorang tenaga medis (dokter) dapat
menunaikan tugas profesionalnya dengan baik, memberikan pengobatan dan
menyembuhkan penyakit yang diderita pasien.
Dalam tinjauan Qawaid
Fiqhiyah, status hukum bedah mayat untuk keperluan penelitian ilmu kedokteran
dapat ditentukan dengan menggunakan kaidah-kaidah berikut
Kaidah Pertama
مالايتم الواجب الابه فهو الواجب
“Apabila kewajiban tidak bisa dilaksanakan karena dengan adanya suatu hal,
maka hal tersebut juga wajib”
Melalui kaidah pertama
ini, dapat dipahami bahwa sebuah kewajiban yang tidak sempurna pelaksanaanya
tanpa adanya dukungan sesuatu, maka sesuatu tersebut hukumnya wajib pula. Dalam
kasus di atas, apabila seorang dokter tidak akan bisa menjalankan
tugas-tugasnya dengan baik kecuali bila ia memahami seluk beluk anatomi tubuh
manusia, maka untuk kepentingan yang sesuai dengan profesinya ia harus memahami
seluk-beluk anatomi tubuh manusia, meskipun dengan jalan melakukan pembedahan
terhadap mayat.
Kaidah Kedua
للوسائل حكم المقا صد
“Sebuah sarana sama hukumnya dengan tujuan”
Melalui kaidah ini
dapat dijelaskan, bahwa sebuah sarana hukumnya sama dengan tujuan. Misalnya
agama Islam mewajibkan kepada umatnya untuk memelihara kesehatan, maka
mempelajari ilmu tentang kesehatan hukumnya wajib pula. Konsekuensi lanjutanya
adalah wajib pula menyiapkan prasarana dalam menuntut ilmu kesehatan, termasuk
sarana pratikum seperti mempelajari anatomi tubuh manusia.
0 comments:
Posting Komentar