Jumat, 15 Maret 2013

Hukum Otopsi dan Aborsi dalam Islam



I.                   OTOPSI
A.    Pendahuluan
Perkembangan ilmu pengetahuan telah mengantarkan umat manusia untuk menelaah lebih jauh tentang kepentingan dan kemaslahatannya, lebih-lebih dari tinjauan kemaslahatan serta keabsahannya menurut hukum Islam. Semua penemuan baru hendaknya disejalankan dengan kaidah-kaidah hukum Islam, seperti hukum bedah mayat menurut pandangan hukum Islam.
Di dalam nash tidak ditemukan keterangan yang sharih tentang hukum melakukan pembedahan mayat, sebab bedah mayat seperti di zaman sekarang ini belum dikenal di masa lalu. Yang ditemukan hanya dalil-dalil dari Sunnah Nabawiah yang berbicara tentang larangan merusak tulang mayat. Selain itu terdapat perbedaan pendapat di antara para ulama tentang hukum membedah perut mayat. Hanya saja masalahnya tidak sama persis dengan kasus otopsi. Pembedah perut mayat dilakukan bila mayat itu menelan harta atau didalamnya ada janin yang diyakini masih hidup.
Ilmu kedokteran pada saat ini banyak melakukan percobaan dalam berbagai hal tentang pengobatan dan ilmu kesehatan serta ilmu kedokteran guna penyidikan sebab-sebab kematian manusia yang dirasakan tidak wajar dengan metode membedah atau meneliti bagian dalam tubuh manusia tersebut. Dalam praktek yang dilakukan oleh para ahli kedokteran dan mahasiswa kedokteran tidak cukup dengan teori-teori yang terdapat di dalam buku-buku saja, akan tetapi mereka langsung diperlihatkan berbagai macam anatomi yang terdapat dalam tubuh manusia, salah satu cara yang telah ditempuh dalam ilmu kedokteran adalah otopsi sebagai salah satu ilmu yang dalam ilmu kedokteran sangat penting dalam mengetahui struktur anatomi tubuh manusia dan cara mengatasi berbagai macam penyakit yang terdapat dalam tubuh manusia dan sebagai alat bukti sebab musabab kematian manusia tersebut yang nantinya berguna dalam persidangan di pengadilan sebagai alat bukti.
Oleh karena itu penggunaan mayat manusia untuk membuktikan ilmiah dalam rangka pengembangan ilmu kedokteran merupakan hal yang sangat penting karena sebagai alat peraga yang cocok sehingga mendapatkan gambaran langsung dan nyata.

B.     Pengertian
Otopsi secara bahasa berarti pengobatan penyakit dengan jalan memotong atau mengiris bagian tubuh manusia yang sakit atau operasi. Dalam bahasa arab dikenal dengan istilah Jirahah atau amaliyah bil al jirahah yang berarti melukai, mengiris atau operasi pembedahan. Bedah mayat oleh dokter Arab dikenal dengan istilah at tashrih jistul al mauta. Dalam bahasa inggris dikenal istilah autopsy yang berarti pemeriksaan terhadap jasad orang yang mati untuk mencari sebab-sebab kematianya.
Dalam terminologi ilmu kedokteran otopsi atau bedah mayat berarti suatu penyelidikan atau pemeriksaan tubuh mayat, termasuk alat-alat atau organ tubuh dan susunanya pada bagian dalam setelah dilakukan pembedahan dengan tujuan menentukan sebab kematian seseorang, baik untuk kepentingan ilmu kedokteran maupun menjawab misteri suatu tindak kriminal.

C.    Landasan Hukum Otopsi
Semua penemuan baru sebagai hasil dari perekembangan teknologi hendaknya disejalankan dengan kaidah-kaidah hukum Islam, seperti otopsi menurut pandangan Hukum Islam.
Adapaun teori yang dapat menjawab persolan bedah mayat (otopsi) adalah sebagai berikut :
1.      Al-qur’an
$yJ¯RÎ) tP§ym ãNà6øn=tæ sptGøŠyJø9$# tP¤$!$#ur zNóss9ur ͍ƒÌYÏø9$# !$tBur ¨@Ïdé& ¾ÏmÎ/ ÎŽötóÏ9 «!$# ( Ç`yJsù §äÜôÊ$# uŽöxî 8ø$t/ Ÿwur 7Š$tã Ixsù zNøOÎ) Ïmøn=tã 4 ¨bÎ) ©!$  # Öqàÿxî íOŠÏm§ ÇÊÐÌÈ 
 “Sesungguhnya Dia hanya mengharamkan atasmu bangkai, darah, daging babi, dan (daging) hewan yang disembelih dengan (menyebut nama) selain Allah. Tetapi barang siapa dalam keadan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak menginginkannya dan tidak pula melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya.” (QS.Al Baqoroh : 173)

2.      Kaidah-kaidah Fiqh
-        الضرورات تبيح المحظورات
“Kemudaratan itu membolehkan hal-hal yang dilarang”
-        اذا تعارض مفسدتان روعي اعظمهما ضرارا بارتكاب اخفهما
“Apabila dua mafsadah bertentangan, maka perhatikan mana yang lebih besar mudaratnya dengan mengerjakan yang lebih ringan mudaratnya”
-        مالايتم الواجب الابه فهو الواجب
“Apabila kewajiban tidak bisa dilaksanakan karena dengan adanya suatu hal, maka hal tersebut juga wajib”
-        المصلحة العامة مقدمة على المصلحة الخاصة
“kemaslahatan publik didahulukan daripada kemaslahatan individu”
-        يتحمل الضرر لاجل الضرر العام
“kemudaratan yang khusus boleh dilaksanakan demi menolak kemudaratan yang bersifat umum”

D.    Otopsi dalam pandangan hukum Islam
Berikut beberapa pandangan ulama yang berkenaan tentang hukum otopsi dalam Islam:
a.        Menurut Imam Ahmad bin Hambal
Seseorang yang sedang hamil dan kemudian ia meninggal dunia, maka perutnya tidak perlu dibedah, kecuali sudah diyakini benar, bahwa janin yang ada didalamnya masih hidup.
b.      Menurut Imam Syafi’i
Jika seorang hamil, kemudia dia meninggal dunia dan ternyata janinnya masih hidup, maka perutnya boleh dibedah untuk mengeluarkan janinnya. Begitu juga hukumnya kalau dalam perut si mayat itu ada barang berharga.
c.       Menurut Imam Malik
Seorang yang meninggal dunia dan didalam perutnya ada barang berharga, maka mayat itu harus dibedah, baik barang itu milik sendiri maupun milik orang lain. Tetapi tidak perlu (tidak boleh dibedah), kalau hanya untuk mengeluarkan janinnya yang diperkirakan masih hidup.
d.      Menurut Imam Hanafi
Seandainya diperkirakan janin masih hidup, maka perutnya wajib dibedah untuk mengeluarkan janin itu.
Para ulama kontemporer berbeda pendapat mengenai hukum otopsi di atas dalam dua pendapat. Pertama, membolehkan ketiga otopsi itu, dengan alasan dapat mewujudkan kemaslahatan di bidang keamanan, keadilan, dan kesehatan. Ini pendapat Hasanain Makhluf, Said Ramadhan Al-Buthi, dan beberapa lembaga fatwa.
Kedua, mengharamkan ketiga otopsi itu, dengan alasan otopsi melanggar kehormatan mayat, yang telah dilarang berdasarkan sabda Nabi SAW,”Memecahkan tulang mayat sama dengan memecahkan tulangnya saat dia hidup.” (kasru ‘azhmi al-mayyit ka-kasrihi hayyan). (HR Abu Dawud, sahih). Ini pendapat Taqiyuddin An-Nabhani, Bukhait Al-Muthi’i, dan Hasan As-Saqaf.
Namun, keharaman otopsi ini hanya untuk mayat muslim. Sedang jika mayatnya non muslim, hukumnya boleh. Terdapat hadis sahih (disebut sifatnya, yaitu mayat mu`min/muslim), yakni sabda Nabi SAW, “Memecahkan tulang mu`min yang sudah mati, sama dengan memecahkannya saat dia hidup.” (kasru ‘azhmi al-mu`min maytan mitslu kasrihi hayyan.)
            Sebab-sebab dilakukannya otopsi adalah sebagai berikut :
a.      Otopsi untuk Kepentingan penegak Hukum (otopsi forensik)
Otopsi untuk pemeriksaan mayat demi kepentingan pengadilan dengan maksud untuk mengetahui sebab-sebab kematianya di sebut juga obductie. Di Indonesia masalah bedah mayat atau otopsi diatur dalam pasal 134 UU No 8 Tahun 1981 tentang hukum acara pidana yang berbunyi sebagai berikut : “Dalam hal sangat dimana untuk keperluan pembuktian bedah mayat tidak mungkin lagi dihindarkan, penyidik wajib memberitahukan terlebih dahulu kepada keluarga korban. Dalam hal keluarga keberatan penyidik wajib menerangkan dengan jelasnya tentang maksud dan tujuan perlu dilakukanya pembedahan tersebut. Apabila dalam waktu dua hari tidak ada tanggapan apapun dari keluarga atau pihak yang perlu diberitahu tidak ketemukan penyidik segera melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 133 ayat 3 UU ini.
Pasal 133 dari UU tersebut berbunyi sebagai berikut :
“Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban baik keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan tindak pidana, ia berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran dan atau ahli lainya.
Permintaan keterangan ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan secara tertulis yang dalam surat itu disebutkan dengan tegas untuk pemeriksaan luka atau pemeriksaan mayat dan atau pemeriksaan bedah mayat. Mayat yang dikirim kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter pada rumah sakit harus diperlakukan secara baik dengan penuh penghormatan terhadap mayat tersebut dan diberi label yang memuat identitas mayat yang dilakukan dengan diberi cap jabatan yang diletakan pada ibu jari kaki atau bagian lain pada mayat.”
Berpijak dari penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa otopsi atau bedah mayat adalah suatu pembedahan atau pemeriksaan pada mayat yang dilakukan oleh para tim dokter ahli dengan dilandasi oleh maksud atau kepentingan tertentu untuk mengetahui sebab-sebab kematian mayat.
Untuk mengetahui status hukum terhadap tindakan otopsi mayat yang digunakan sebagai pembuktian hukum di pengadilan dengan menggunakan teori Qawa’id al-Fiqhiyah dapat diterapkan kaidah-kaidah berikut ;
Kaidah Pertama
يتحمل الضرر لاجل الضرر العام  
“kemudaratan yang khusus boleh dilaksanakan demi menolak kemudaratan yang bersifat umum”
Berdasarkan kaidah di atas, kemadharatan yang bersifat khusus boleh dilaksanakan demi menolak kemadharatan yang bersifat umum. Sebuah tindakan pembunuhan misalnya, adalah tergolong tindak pidana yang mengancam kepentingan publik atau mendatangkan mudaharat ‘am. Untuk menyelamatkan masyarakat dari rangkaian tindak pembunuhan maka terhadap pelakunya harus diadili dan dihukum sesuai ketentuan hukum yang berlaku. Bukti-bukti atas tindakan pembunuhan yang dilakukanya harus diperkuat agar ia dapat dihukum dan jangan sampai bebas dalam proses pengadilan, sungguhpun untuk pembuktian itu harus dengan melakukan otopsi atau membedah mayat korban.
Didalam hukum Islam, Suatu tindakan yang dilandasi oleh alasan untuk menjamin keamanan dan keselamatan diri orang yang hidup harus lebih diutamakan daripada orang yang sudah mati.
Kaidah Kedua
الضرورات تبيح المحظورات       
“Kemudaratan itu membolehkan hal-hal yang dilarang”
Dari kaidah kedua dapat dipahami bahwa persolanan darurat itu membolehkan sesuatu yang semula diharamkan. Berangkat dari fenomena di atas, maka otopsi forensik sangat penting kedudukanya sebagai metode bantu pengungkapan kematian yang diduga karena tindak pidana. Dengan melaksanakan otopsi forensik maka dapat dipecahkan misteri kematian yang berupa sebab kematian, cara kematian, dan saat kematian korban.
Kaidah Ketiga
لاحرام مع الضرورات ولاكراهة مع الحاجة    
“Tiada keharamna dalam kondisi darurat, dan tidak ada makruh dalam kondisi hajat”
Kaidah ketiga ini menyatakan bahwa tiadanya keharaman dalam kondisi darurat, seperti halnya tidak adanya kemakaruhan dalam kondisi hajat. Maka jika otopsi di atas dipahami sebagai hal yang bersifat darurat, artinya satu-satunya cara membuktikan, maka otopsi itu sudah menempati level darurat, dan karena itu status hukumnya dibolehkan.
 Kaidah Keempat
الحاجة تنزل منزلة الضرورة    
“Keperluan dapat menduduki posisi keadaan darurat”
Kaidah keempat di atas d apat memperkuat argumentasi kaidah sebelumnya. Maka kaidah ini adalah hajat menempati kedudukan darurat, baik hajat umum maupun hajat yang bersifat perorangan.

b.      Otopsi Untuk mengeluarkan Benda yang Berharga
Jika seseorang menelan sesuatu yang bukan miliknya yang mengakibatkan ia meninggal dunia, selanjutnya pemilik menuntut agar barang yang ada diperut mayat dikembalikan kepadanya.
Dalam hal di atas tidak ada cara lain yang bias ditempuh kecuali dengan membedah mayat itu untuk mengeluarkan barang yang ada di perut mayat.
Melihat persolan seperti kasus di atas, perlu ditentukan status hukum bedah mayat tersebut apakah dibolehkan atau diharamkan. Berdasarkan ajaran Islam haram hukumnya seseorang menguasai suatu barang yang bukan haknya. Tindakan yang demikian akan menjadi ganjalan bagi orang yang mati di alam sesudahnya kematianya karena ia masih terkait dengan hak orang lain.
c.       Otopsi untuk Menyelamatkan Janin dalam Rahim
Dalam menentukan status hukum masalah otopsi untuk menyelamtkan janin yang masih hidup di dalam rahim mayat dapat diterapkan kaidah-kaidah berikut :
اذاتعارض مفسدتان روعى اعظمهما ضرارا بارتكاب اخفهما
“Apabila dua mafsadah bertentangan, maka perhatikan mana yang lebih besar mudaratnya dengan mengerjakan yang lebih ringan mudaratnya”
الضرر الاشد يزال بالضرر الاخف
“Kemudaratan yang lebih berat dihilangkan dengan kemudaratan yang lebih ringan”
Dengan kaidah tesebut dapat dipahami bahwa apabila dua mafsadah bertemu dalam suatu waktu, dan kedua mafsadah itu saling bertentangan, maka harus diperhatikan mana yang lebih besar madhartnya dengan mengerjakan yang lebih ringan madharatnya.
Jika kaidah kedua tersebut di atas di aplikasikan dalam kasus otopsi untuk menyelamtkan janin yang  masih hidup dalam perut, maka pilihan yang harus diambil adalah kemaslahatan orang yang hidup. Artinya kemaslahatan janin harus lebih diutamakan dari pada orang yang mati (mayat).
Bahkan dalam persoalan ini Al-Syirahi berpendapat bahwa wajib hukumnya membedahkan mayat bila mengandung janin yang masih hidup. Karena janin tersebut tidak berdaya untuk menyelamatkan dirinya, maka orang hiduplah yang berkewajiban untuk menolongnya meskipun dengan melalui pembedahan mayat, ia mengatakan :
وان ماتت امراة وفى جوفها جنين حلى شق جوفها لانه استبقاحي باتلاف جزء من الميت          
Tetapi kaidah fiqih juga membatasi tindakan yang dilakukan terhadap mayat yaitu tidak boleh melewati batas–batas tertentu atau melewati batas-batas yang menjadi hajat diadakanya pembedahan itu

d.      Otopsi Untuk Penelitian Ilmu Kedokteran (otopsi anatomis dan klinis)
Menurut Umar Hubais mempelajari ilmu kedokteran adalah wajib atau fardhu kifayah bagi umat Islam, karena Rasul sendiri berobat, memberi obat serta menganjurkan untuk berobat sebagaimana sabdanya :
حدثن ابو بكر ابن شيبه وهشام بن عمار قال : حدثن سفيان ابن عيينة عن زيادبن علاقة عن اسامة ابن شريك قال : شهدت الاعراب يسالون النبى ص م : اعلينا حرج فى كذا؟ فقال لهم : عبادالله. وضع الله الحرج الامن اقترض من عرض اخيه شيئا فذاك الذى حرج فقالوا : يارسول الله, هل علينا جناح ان لانداوى؟ قال : تداووا, عباد الله فان الله سبحانه لم يضع داء الاوضع معه شفاء الاالهرم, ه

Salah satu ilmu kedokteran yang sangat penting adalah ilmu bedah. Ilmu ini menghajatkan pengetahuan yang luas dan dalam tentang anatomi dan fisiologi tubuh manusia. Untuk mengembangkan ilmu ini maka penyelidikan terhadap organ tubuh manusia menjadi sesuatu yang tidak mungkin dihindarkan, jika perlu mengadakan pembedahan dan pemeriksaan tubuh mayat, memeriksa susunan syaraf, rongga perut dalam rangka. Hal demikian dimaksudkan agar seorang tenaga medis (dokter) dapat menunaikan tugas profesionalnya dengan baik, memberikan pengobatan dan menyembuhkan penyakit yang diderita pasien.
Dalam tinjauan Qawaid Fiqhiyah, status hukum bedah mayat untuk keperluan penelitian ilmu kedokteran dapat ditentukan dengan menggunakan kaidah-kaidah berikut  
Kaidah Pertama
مالايتم الواجب الابه فهو الواجب      
“Apabila kewajiban tidak bisa dilaksanakan karena dengan adanya suatu hal, maka hal tersebut juga wajib”
Melalui kaidah pertama ini, dapat dipahami bahwa sebuah kewajiban yang tidak sempurna pelaksanaanya tanpa adanya dukungan sesuatu, maka sesuatu tersebut hukumnya wajib pula. Dalam kasus di atas, apabila seorang dokter tidak akan bisa menjalankan tugas-tugasnya dengan baik kecuali bila ia memahami seluk beluk anatomi tubuh manusia, maka untuk kepentingan yang sesuai dengan profesinya ia harus memahami seluk-beluk anatomi tubuh manusia, meskipun dengan jalan melakukan pembedahan terhadap mayat.
Kaidah Kedua
للوسائل حكم المقا صد    
“Sebuah sarana sama hukumnya dengan tujuan”
Melalui kaidah ini dapat dijelaskan, bahwa sebuah sarana hukumnya sama dengan tujuan. Misalnya agama Islam mewajibkan kepada umatnya untuk memelihara kesehatan, maka mempelajari ilmu tentang kesehatan hukumnya wajib pula. Konsekuensi lanjutanya adalah wajib pula menyiapkan prasarana dalam menuntut ilmu kesehatan, termasuk sarana pratikum seperti mempelajari anatomi tubuh manusia.

0 komentar:

Posting Komentar