Manusia
dan pendidikan merupakan dua sisi mata
uang yang tidak dapat dipisah diantara satu dengan yang lainnya. Dan Pendidikan
(education) merupakan sebuah konsep yang terus berkembang daripada
masa-kesemasa mengikuti situasi dan arus
manusia. Jatuh bangunnya peradaban manusia disebabkan oleh
maju tidaknya pendidikan dan sebaliknya maju tidaknya pendidikan disebabkan
oleh kelemahan manusia menguruskan pendidikan. Globalisasi dan modernisasi yang
melanda dunia hari ini, dengan berbaga masalah yang melingkarinya, menuntut suatu anjakan paradigma baru keatas
dunia pendidikan untuk dapat memecahkan persoalan tersebut sekaligua merupakan
wacana perimbangan kemajuan pada masa
hadapan. Imbasannya sudah tentu dirasakan juga oleh Institusi Pendidikan Tinggi
Islam yang harus menyikapinya secara positif.
Pendidikan
agama tanpa pendidikan umum akan kehilangan daya penalarannya sedangkan
pendidikan umum tanpa pendidikan, agama akan kehilangan moralitasnya. Untuk itu
diperlukan penyatuan diantara keduanya untuk melahirkan manusia ideal
ditengah-tengah percaturan serta persaingan yang semakin kompatative di antara
pendidikan tinggi saat ini. Pendidikan harus dilihat sebagai proses pembudayaan
sehingga maju-mundurnya pendidikan merupakan
tanggung jawab moral semua pihak.
Saya ingin
menceritakan mengenai cara pemerintah Jepang untuk mengejar ketinggalannya di
bidang ilmu pengetahuan dan teknologi dari negara lain. Dan ini merupakan hal
yang saya perolehi dari orientasi yang diselenggarakan oleh JSPS untuk
menyambut para Post-Doc yang berasal dari sekitar 15 negara. Dan sebuah
presentasi menarik telah disampaikan oleh seorang Prof. emeritus dalam bidang
fisika teori dari Tokyo University, beliau menceritakan bagaimana sekarang ini
Jepang ketinggalan dari negara maju lainnya dari segi kualitas riset.
Dari sisi
manakah ketinggalan Jepang itu dan dalam hal apa? kita tentu bertanya-tanya,
karena sampai saat ini sudah 9 orang Jepang yang mendapat Nobel dalam bidang
kimia (tahun lalu dalam bidang polimer), fisika dan kedokteran, yang menandakan
mereka begitu maju dalam sains dan teknologi. Dari data ISI (Institute for
Scientific Information), artinya, dari segi kuantitas Jepang menduduki posisi
kedua setelah USA dalam hal produktivitas menerbitkan publikasi ilmiah.
Porsinya sekitar 40% USA, dan 10% Jepang. Tetapi, dari data statistik, Jepang
kalah dengan USA, UK, Germany dan France, padahal jumlah paper yang
dipublikasikan oleh UK, Germany dan France jauh lebih sedikit dibandingkan
dengan Jepang. Pertanyaan lebih lanjut adalah, apakah parameter yang dapat mengukur
kualitasnya?
Faktor lain
yang menyebabkan kenapa "kualitas" (tanda kutip karena jangan dibandingkan
dengan Indonesia) dan yang dihasilkan oleh Jepang (dan juga bermakna kualitas)
dari negara-negara yang disebutkan di atas, pertama, adalah masalah struktur
pendidikan tinggi di Jepang dan, kedua, adalah masalah budaya.
Mengenai yang
pertama. Di Jepang, setiap lab. di kepalai oleh seorang Prof., dan Prof. ini
memiliki Assoc. Prof., lecturer dan mahasiswa S1-S3. Ini disebut sebagai
"Koza", unit terkecil dari sebuah jurusan di Universitas Jepang.
Prof. ini boleh dikatakan yang memiliki lab., dan Assoc. Prof. nya tidak akan
bisa menjadi Prof. di lab. tersebut jika Prof.-nya belum pensiun atau meninggal
dunia. Jadi ibaratnya Prof. adalah raja kecil di lab.-nya. Semua peralatan di
lab. tersebut, boleh dikatakan dimiliki sendiri oleh Prof. tersebut. Orang
lain, selain anggota group, harus meminta izin kepada Prof. untuk
menggunakannya. Ternyata, sistem ini dianggap mematikan 'kreativitas', karena
segala sesuatunya harus tergantung dengan "bos". Lagi pula, apabila
seorang telah menjadi Prof. di suatu Universitas, sampai pensiun dia akan tetap
disana, dan tidak ada penyegaran di lingkungan itu. Di Amerika,
"mobility" dari peneliti sangat tinggi, mungkin saja seorang Prof.
atau Assoc. Prof. akan pindah ke Universitas lain dalam kurun waktu yang
singkat. Menyadari hal ini, pemerintah Jepang mulai merubah pelan-pelan sistem
yang lama kepada sistem yang baru, yang disebut sebagai "extended
Koza". Dalam sistem yang baru, Assoc. Prof. boleh saja mempunyai latar
belakang keahlian yang berbeda dengan Prof.-nya, dan setiap "Koza"
boleh terdiri dari beberapa Prof. dan Assoc. Prof. (ini agak mirip dengan yang
di Indonesia). Dan karir dari Lecturer tidak akan terhambat, tidak harus
menunggu Prof.-nya pensiun dulu. Tapi sistem ini hanya baru diterapkan di
beberapa Universitas di Jepang.
Mengenai yang
kedua, adalah masalah budaya. Budaya (culture), sangat erat kaitannya dengan
ilmu pengetahuan dan teknologi. Masyarakat Jepang merupakan masyarakat agraris
yang mengutamakan keharmonian, homogenitas dan kebersamaan. Akibatnya, mereka
sangat senang mengikuti "trend". Sebagai contoh, sewaktu datang
keIndonesia misalnya, keharmonian itu kelihatan dengan jelas dari cara mereka
berpakaian. Jarang diantara mereka yang menggunakan pakaian dengan warna yang
menyolok (seperti warna "benetton"). Waktu musim dingin, hampir semua
mereka menggunakan jaket yang berwarna hitam atau gelap.
Dan bentuk
dari rumah atau apartment di Jepang hampir sama, sehingga kelihatan sangat
monoton. Dengan gambaran ini, hal ini (dianggap oleh mereka) mengakibatkan
jarangnya terobosan baru dalam iptek dibandingkan dengan negara-negara yang
disebutkan di atas (sekali lagi jangan dibandingkan dengan Indonesia).
Sifat-sifat seperti, individual, loncat antar disiplin ilmu dan menciptakan
trend jarang dimiliki oleh orang Jepang. Disamping itu, penghargaan terhadap
prestasi ilmiah juga terasa kurang. Anda akan dikatakan lulus, jika Prof.
mengatakan lulus. Dan tidak ada penghargaan akademik seperti; cum laude, first
class dan lain sebagainya jika anda lulus S2 dan S3 dari Universitas di Jepang.
Disamping
merubah struktur pendidikan, seperti yang telah diterangkan dia atas,
pemerintah Jepang meningkatkan "budget" untuk penelitian dasar
(fundamental science) hampir dua kali lipat dalam waktu lima tahun ini. Hal ini
berlawanan dengan apa yang dilakukan oleh Amerika dan negara-negara Eropa
lainnya yang menurunkan "budget" untuk penelitian dasar mereka. Dan
baru-baru ini, mereka juga merencanakan akan mencetak sekitar 10 orang peneliti
berkualitas Nobel dalam waktu lima puluh tahun mendatang dengan dana penelitian
dasar yang terus ditingkatkan. Disamping itu, pemerintah Jepang juga
mencanangkan menetapkan bahasa Inggris sebagai "second language"
dalam abad ini. Hal ini diumumkan resmi oleh perdana menteri mereka. Cara lain
yang sedang ditempuh mereka adalah mendatangkan peneliti-peneliti asing
sebanyak mungkin ke Jepang, terutama untuk Post-Doc. Mereka juga mentargetkan
untuk membiayai sekitar 10000 mahasiswa asing untuk diberi scholarship untuk
belajar di Jepang dalam kurun lima tahun ini.
Dari fenomena
di atas dapat kita merenungkan, bahwa Jepang yang sudah sedemikian maju (dan
sekarang masih merupakan negara terkaya ketiga di dunia setelah Swiss dan
Luxemburg) sadar akan ketinggalan mereka. Yang menjadi pertanyaan besar bagi
kita adalah, apakah kita menyadari
ketinggalan kita selama ini?
Menurut
Wilian K Cummings, ada beberapa factor yang mendukung dalam merombak masyarakat
Jepang melalui pendidikan, antara lain :
Pertama :
Perhatian terhadap pendidikan dating dari berbagai pihak.
Kedua : Sekolah-sekolah di Jepang tidak mahal.
Ketiga : di Jepang tidak ada diskriminasi terhadap
sekolah.
Keempat :
Kurikulum sekolah diJepang sangatlah berat.
Kelima :
Sekolah sebagai unit pendidikan.
Keenam : Guru
dijamin tidak akan kehilangan jabatan.
Ketujuh :
Guru diJepang penuh dengan dedikasi.
Kedelapan : Guru di Jepang merasa wajib
member pendidikan “manusia seutuhnya” dan Guru di jepang meraa adil.
Daftar
Pustaka
Hasan
Langgulung, Prof. Dr (2002) Peralihan Paradigma Dalam Pendidikan Islam dan
Sains Sosial. Jakarta : Gaya Media Pratama
Moerdiono (1993) Pancasila Sebagai
Ideologi Dalam Berbagai Bidang Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa dan Bernegara.
Suabaya : Karya Anda.
http://endang965.wordpress.com/potret-pendidikan-di-jepang/
Di akses hari sabtu jam 13:40
Jepang emang terkenal ulet.
BalasHapus