Jumat, 15 Maret 2013

Trik Jepang Mengejar Ketertinggalan Teknologi dan Sain


              Manusia dan pendidikan  merupakan dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisah diantara satu dengan yang lainnya. Dan Pendidikan (education) merupakan sebuah konsep yang terus berkembang daripada masa-kesemasa mengikuti situasi  dan arus  manusia. Jatuh bangunnya peradaban manusia disebabkan oleh maju tidaknya pendidikan dan sebaliknya maju tidaknya pendidikan disebabkan oleh kelemahan manusia menguruskan pendidikan. Globalisasi dan modernisasi yang melanda dunia hari ini, dengan berbaga masalah yang melingkarinya,   menuntut suatu anjakan paradigma baru keatas dunia pendidikan untuk dapat memecahkan persoalan tersebut sekaligua merupakan wacana perimbangan  kemajuan pada masa hadapan. Imbasannya sudah tentu dirasakan juga oleh Institusi Pendidikan Tinggi Islam yang harus menyikapinya secara positif.

            Pendidikan agama tanpa pendidikan umum akan kehilangan daya penalarannya sedangkan pendidikan umum tanpa pendidikan, agama akan kehilangan moralitasnya. Untuk itu diperlukan penyatuan diantara keduanya untuk melahirkan manusia ideal ditengah-tengah percaturan serta persaingan yang semakin kompatative di antara pendidikan tinggi saat ini. Pendidikan harus dilihat sebagai proses pembudayaan sehingga maju-mundurnya pendidikan merupakan  tanggung jawab moral semua pihak.
Saya ingin menceritakan mengenai cara pemerintah Jepang untuk mengejar ketinggalannya di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi dari negara lain. Dan ini merupakan hal yang saya perolehi dari orientasi yang diselenggarakan oleh JSPS untuk menyambut para Post-Doc yang berasal dari sekitar 15 negara. Dan sebuah presentasi menarik telah disampaikan oleh seorang Prof. emeritus dalam bidang fisika teori dari Tokyo University, beliau menceritakan bagaimana sekarang ini Jepang ketinggalan dari negara maju lainnya dari segi kualitas riset.
Dari sisi manakah ketinggalan Jepang itu dan dalam hal apa? kita tentu bertanya-tanya, karena sampai saat ini sudah 9 orang Jepang yang mendapat Nobel dalam bidang kimia (tahun lalu dalam bidang polimer), fisika dan kedokteran, yang menandakan mereka begitu maju dalam sains dan teknologi. Dari data ISI (Institute for Scientific Information), artinya, dari segi kuantitas Jepang menduduki posisi kedua setelah USA dalam hal produktivitas menerbitkan publikasi ilmiah. Porsinya sekitar 40% USA, dan 10% Jepang. Tetapi, dari data statistik, Jepang kalah dengan USA, UK, Germany dan France, padahal jumlah paper yang dipublikasikan oleh UK, Germany dan France jauh lebih sedikit dibandingkan dengan Jepang. Pertanyaan lebih lanjut adalah, apakah parameter yang dapat mengukur kualitasnya?
Faktor lain yang menyebabkan kenapa "kualitas" (tanda kutip karena jangan dibandingkan dengan Indonesia) dan yang dihasilkan oleh Jepang (dan juga bermakna kualitas) dari negara-negara yang disebutkan di atas, pertama, adalah masalah struktur pendidikan tinggi di Jepang dan, kedua, adalah masalah budaya.
Mengenai yang pertama. Di Jepang, setiap lab. di kepalai oleh seorang Prof., dan Prof. ini memiliki Assoc. Prof., lecturer dan mahasiswa S1-S3. Ini disebut sebagai "Koza", unit terkecil dari sebuah jurusan di Universitas Jepang. Prof. ini boleh dikatakan yang memiliki lab., dan Assoc. Prof. nya tidak akan bisa menjadi Prof. di lab. tersebut jika Prof.-nya belum pensiun atau meninggal dunia. Jadi ibaratnya Prof. adalah raja kecil di lab.-nya. Semua peralatan di lab. tersebut, boleh dikatakan dimiliki sendiri oleh Prof. tersebut. Orang lain, selain anggota group, harus meminta izin kepada Prof. untuk menggunakannya. Ternyata, sistem ini dianggap mematikan 'kreativitas', karena segala sesuatunya harus tergantung dengan "bos". Lagi pula, apabila seorang telah menjadi Prof. di suatu Universitas, sampai pensiun dia akan tetap disana, dan tidak ada penyegaran di lingkungan itu. Di Amerika, "mobility" dari peneliti sangat tinggi, mungkin saja seorang Prof. atau Assoc. Prof. akan pindah ke Universitas lain dalam kurun waktu yang singkat. Menyadari hal ini, pemerintah Jepang mulai merubah pelan-pelan sistem yang lama kepada sistem yang baru, yang disebut sebagai "extended Koza". Dalam sistem yang baru, Assoc. Prof. boleh saja mempunyai latar belakang keahlian yang berbeda dengan Prof.-nya, dan setiap "Koza" boleh terdiri dari beberapa Prof. dan Assoc. Prof. (ini agak mirip dengan yang di Indonesia). Dan karir dari Lecturer tidak akan terhambat, tidak harus menunggu Prof.-nya pensiun dulu. Tapi sistem ini hanya baru diterapkan di beberapa Universitas di Jepang.
Mengenai yang kedua, adalah masalah budaya. Budaya (culture), sangat erat kaitannya dengan ilmu pengetahuan dan teknologi. Masyarakat Jepang merupakan masyarakat agraris yang mengutamakan keharmonian, homogenitas dan kebersamaan. Akibatnya, mereka sangat senang mengikuti "trend". Sebagai contoh, sewaktu datang keIndonesia misalnya, keharmonian itu kelihatan dengan jelas dari cara mereka berpakaian. Jarang diantara mereka yang menggunakan pakaian dengan warna yang menyolok (seperti warna "benetton"). Waktu musim dingin, hampir semua mereka menggunakan jaket yang berwarna hitam atau gelap.
Dan bentuk dari rumah atau apartment di Jepang hampir sama, sehingga kelihatan sangat monoton. Dengan gambaran ini, hal ini (dianggap oleh mereka) mengakibatkan jarangnya terobosan baru dalam iptek dibandingkan dengan negara-negara yang disebutkan di atas (sekali lagi jangan dibandingkan dengan Indonesia). Sifat-sifat seperti, individual, loncat antar disiplin ilmu dan menciptakan trend jarang dimiliki oleh orang Jepang. Disamping itu, penghargaan terhadap prestasi ilmiah juga terasa kurang. Anda akan dikatakan lulus, jika Prof. mengatakan lulus. Dan tidak ada penghargaan akademik seperti; cum laude, first class dan lain sebagainya jika anda lulus S2 dan S3 dari Universitas di Jepang.
Disamping merubah struktur pendidikan, seperti yang telah diterangkan dia atas, pemerintah Jepang meningkatkan "budget" untuk penelitian dasar (fundamental science) hampir dua kali lipat dalam waktu lima tahun ini. Hal ini berlawanan dengan apa yang dilakukan oleh Amerika dan negara-negara Eropa lainnya yang menurunkan "budget" untuk penelitian dasar mereka. Dan baru-baru ini, mereka juga merencanakan akan mencetak sekitar 10 orang peneliti berkualitas Nobel dalam waktu lima puluh tahun mendatang dengan dana penelitian dasar yang terus ditingkatkan. Disamping itu, pemerintah Jepang juga mencanangkan menetapkan bahasa Inggris sebagai "second language" dalam abad ini. Hal ini diumumkan resmi oleh perdana menteri mereka. Cara lain yang sedang ditempuh mereka adalah mendatangkan peneliti-peneliti asing sebanyak mungkin ke Jepang, terutama untuk Post-Doc. Mereka juga mentargetkan untuk membiayai sekitar 10000 mahasiswa asing untuk diberi scholarship untuk belajar di Jepang dalam kurun lima tahun ini.
Dari fenomena di atas dapat kita merenungkan, bahwa Jepang yang sudah sedemikian maju (dan sekarang masih merupakan negara terkaya ketiga di dunia setelah Swiss dan Luxemburg) sadar akan ketinggalan mereka. Yang menjadi pertanyaan besar bagi kita  adalah, apakah kita menyadari ketinggalan kita selama ini?
Menurut Wilian K Cummings, ada beberapa factor yang mendukung dalam merombak masyarakat Jepang melalui pendidikan, antara lain :
Pertama : Perhatian terhadap pendidikan dating dari berbagai pihak.
Kedua   : Sekolah-sekolah di Jepang tidak mahal.
Ketiga    : di Jepang tidak ada diskriminasi terhadap sekolah.
Keempat   :  Kurikulum sekolah diJepang sangatlah berat.
Kelima : Sekolah sebagai unit pendidikan.
Keenam : Guru dijamin tidak akan kehilangan jabatan.
Ketujuh : Guru diJepang penuh dengan dedikasi.
Kedelapan : Guru di Jepang merasa wajib member pendidikan “manusia seutuhnya” dan Guru di jepang meraa adil.








Daftar Pustaka
Hasan Langgulung, Prof. Dr (2002) Peralihan Paradigma Dalam Pendidikan Islam dan Sains Sosial. Jakarta : Gaya Media Pratama
Moerdiono (1993) Pancasila Sebagai Ideologi Dalam Berbagai Bidang Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa dan Bernegara. Suabaya : Karya Anda.

1 komentar: