Pada masalah aspek otoritas pendidikan, anak didik sebetulnya
hanya ditekankan pada sapek kognitif saja. Akibatnya adalah anak didik yang
diberi materi pelajaran hanya sekedar ‘tahu’ dan ‘mengenal’ dengan apa yang
didapatkannya, tanpa memahami apa yang mereka pelajari apalagi menerapkannya
pada kehidupan sehari-hari.
Padahal aspek yang lainnya,
seperti afektif dan psikomotorik adalah hal penting yang harus di didik. Karena
institusi pendidikan seharusnya dapat membuat anak didik menerapkan apa yang
diajari, karena sesungguhnya itulah kegunaan dari ilmu pengetahuan. Apakah anak
didik di bangsa ini hanya akan menjadi “manusia robot” yang tidak memiliki rasa
toleransi dan apatis pada kehidupan sosialnya? Lalu bagaimana generasi seperti
ini dapat mengembalikan jati diri bangsa? Kita tidak tahu standar
apa yang dipakai dalam otoritas pendidikan di negara ini, yang akhirnya anak
didik yang dihasilkan dari institusi pendidikan di negara ini tidak banyak yang
mampu untuk menerapkan ilmu dan pengetahuan yang mereka dapatkan di tempat
pendidikannya, apalagi untuk mengajarkannya pada orang lain.
Penanaman karakter anak didik dengan mengabaikan aspek afektif dan
psikomotorik tidak akan berhasil menghasilkan generasi penerus yang memberikan
dampak positif bagi bangsa. Mungkin memang nilai di atas kertas
raport dan IPK terlihat bagus dan memuaskan, akan tetapi ketika anak didik
tidak mampu menerapkan ilmu yang mereka dapatkan.Otoritas pendidikan harus
menerapkan aspek-aspek pendidikan yang ditetapkan oleh lembaga pendidikan PBB,
UNESCO, yaitu belajar untuk tahu (learn to know), belajar untuk berbuat (learn
to do), belajar untuk menjadi diri sendiri (learn to be her/himself), belajar
untuk hidup bersama (learn to live together).
Ketika semua aspek itu dapat dijalankan maka bangsa ini akan
memiliki generasi yang dapat dibanggakan, bagi bangsa maupun bagi seluruh
dunia. Pendidikan bukan hanya transfer ilmu tanpa aktualisasi ilmu, akan tetapi
pembentukan karakter diri dan bangsa dengan ilmu yang didapat, hingga akhirnya
mereka para generasi muda dapat mengembalikan jati diri bangsa dengan ilmu yang
mereka punya.
A. Pengertian
Pendidikan Karakter
Istilah karakter secara harfiah
berasal dari bahasa Latin “charakter”, yang antara lain berarti: watak, tabiat,
sifat-sifat kejiwaan, budi pekerti, kepribadian atau akhlak. Sedangkan secara
istilah, karakter diartikan sebagai sifat manusia pada umumnya dimana manusia
mempunyai banyak sifat yang tergantung dari faktor kehidupannya sendiri.[1]
Selain itu pengertian karakter
menurut Pusat Bahasa Depdiknas adalah “bawaan, hati, jiwa, kepribadian, budi
pekerti, perilaku, personalitas, sifat, tabiat, temperamen, watak.
Individu yang berkarakter baik atau
unggul adalah seseorang yang berusaha melakukan hal-hal yang terbaik terhadap
Tuhan YME, dirinya, sesama, lingkungan, bangsa dan negara serta dunia
internasional pada umumnya dengan mengoptimalkan potensi (pengetahuan) dirinya
dan disertai dengan kesadaran, emosi dan motivasinya (perasaannya).
B. Dasar Pembentukan Karakter
Dasar pembentukan karakter itu
adalah nilai baik atau buruk. Nilai baik disimbolkan dengan nilai Malaikat dan
nilai buruk disimbolkan dengan nilai
Setan. Karakter manusia merupakan
hasil tarik-menarik antara nilai baik dalam bentuk energi positif dan nilai
buruk dalam bentuk energi negatif.
Pada
awalnya, manusia itu lahir hanya membawa “personality” atau kepribadian. Secara umum kepribadian manusia ada 4 macam dan ada banyak
sekali teori yang menggunakan istilah yang berbeda bahkan ada yang menggunakan
warna, tetapi polanya tetap sama. Secara umum kepribadian ada 4[2],
yaitu :
1. Koleris : Tipe ini bercirikan pribadi
yang suka kemandirian, tegas, berapi-api, suka tantangan, bos atas dirinya
sendiri.
2. Sanguinis : Tipe ini bercirikan suka dengan
hal praktis, ceria dan selalu suka kejutan, suka sekali dengan
kegiatan social dan bersenang-senang.
3. Phlegmatis : Tipe ini bercirikan suka
bekerjasama, menghindari konflik, tidak suka perubahan mendadak, teman bicara
yang enak, menyukai hal yang pasti.
4. Melankolis : Tipe ini bercirikan suka dengan
hal detil, menyimpan kemarahan, Perfection, suka instruksi yang jelas, kegiatan
rutin sangat disukai.
Di
atas ini adalah teori yang klasik dan sekarang teori ini banyak sekali
berkembang, dan masih banyak digunakan sebagai alat tes sampai pengukuran
potensi manusia.
Kepribadian bukanlah karakter. Setiap orang
punya kepribadian yang berbeda-beda. Dari ke empat kepribadian tersebut, masing-masing kepribadian tersebut memiliki kelemahan dan
keunggulan masing-masing. Misalnya tipe koleris identik dengan orang yang berbicara “kasar”
dan terkadang tidak peduli, Sanguin pribadi yang sering susah diajak untuk
serius, phlegmatis sering kali susah diajak
melangkah yang pasti dan terkesan pasif, melankolis terjebak dengan dilemma pribadi
“iya” dimulut dan “tidak” dihati, serta cenderung perfectionis dalam detil
kehidupan serta inilah yang terkadang membuat orang lain cukup kerepotan.
Tiap
manusia tidak bisa memilih kepribadiannya, kepribadian sudah hadiah dari Tuhan sang
pencipta saat manusia dilahirkan. Dan setiap orang yang memiliki kepribadian pasti ada kelemahannya dan
kelebihannya di aspek kehidupan social dan masing-masing pribadi.
Pertanyaanya
letak karakternya dimana? Saat manusia belajar untuk mengatasi kelemahannya dan
memperbaiki kelemahannya dan memunculkan kebiasaan positif yang baru maka
inilah yang disebut dengan karakter. Misalnya, seorang koleris sangat santun dalam menyampaikan pendapat disamping
cara bicaranya yang kasar, seorang yang sanguin mampu membawa dirinya untuk
bersikap serius dalam situasi yang membutuhkan ketenangan dan perhatian fokus.
Itulah Karakter.
Pendidikan
Karakter adalah pemberian pandangan mengenai berbagai jenis nilai hidup, seperti kejujuran, kecerdasan, kepedulian dan
lain-lainnya. Dan itu adalah pilihan dari masing-masing individu yang perlu
dikembangkan dan perlu di bina, sejak usia dini (idealnya).
Karakter
tidak bisa diwariskan, karakter tidak bisa dibeli dan karakter tidak bisa
ditukar. Karakter harus “DIBANGUN”
dan “DIKEMBANGKAN”
secara sadar melalui “PROSES” yang tidak instan.
Karakter bukanlah sesuatu bawaan sejak lahir yang tidak dapat diubah lagi
seperti sidik jari.
Banyak
saya perhatikan bahwa orang-orang dengan karakter buruk cenderung
mempersalahkan keadaan mereka. Mereka sering menyatakan bahwa cara mereka
dibesarkan yang salah, kesulitan keuangan, perlakuan orang lain atau kondisi
lainnya yang menjadikan mereka seperti sekarang ini.
Memang
benar bahwa dalam kehidupan, kita harus menghadapi banyak hal di luar kendali
kita, namun karakter Anda tidaklah demikian. Karakter Anda selalu merupakan
hasil pilihan Anda.
Setiap manusia mempunyai potensi untuk menjadi
seorang pribadi yang berkarakter. Karakter lebih dari apapun dan akan
menjadikan manusia menjadi seorang pribadi yang memiliki nilai tambah. Setiap orang bertanggung jawab atas karakternya.
Setiap manusia memiliki kontrol penuh atas karakter
yang dimilikinya, artinya ia tidak dapat menyalahkan orang lain atas karakter
yang buruk karena ia yang bertanggung jawab penuh mengembangkan karakter, dan karakter adalah tanggung
jawab pribadi.
C. Pentingnya
Pendidikan Karakter
Berbagai
permasalahan menimpa Bangsa Indonesia seperti masih adanya konflik sosial di
berbagai tempat, sering mengedepankan cara kekerasan dalam menyelesaikan
berbagai permasalahan, praktek korupsi yang semakin canggih dan massif, sering
terjadi perkelahian antar pelajar, pelanggaran etika dan susila yang semakin
vulgar, munculnya aliran yang dianggap sesat dan cara-cara penyelesaiannya yang
cenderung menggunakan kekerasan,
tindakan kejahatan yang mengancam ketenteraman dan keamanan, praktek demokrasi
liberal yang ekstreem dalam berbagai aspek kehidupan sehingga bertabrakan
dengan budaya dan nilai-nilai kepatutan sebagai bangsa Timur dan bangsa yang
religius.
Mengapa pendidikan
karakter harus dilakukan sejak usia dini? Menurut Thomas Lichona, (Megawangi, 2003),
Anak balita masih kosong pengalaman. Jika ia melihat sesuatu langsung
dimasukkan tanpa dipilih-pilih. Itu bisa terjadi karena dalam benak balita
belum ada “program” penyaring. Materi yang pertama masuk otak anak akan
berfungsi sebagai penyaring. Karena itu orang tua yang terlambat mengisi
pendidikan yang baik pada anaknya, maka bisa lebih dulu diisi dengan hal yang
buruk oleh pihak lain. Orang tua yang jarang berinteraksi dengan anak pada usia
ini, berhati-hatilah.
Bagaiman
peran orang tua? Orang tua harus berupaya menjadikan dirinya role model untuk
membangun kepercayaan anak. Pendidikan karakter tidak cukup dengan kata-kata,
ia perlu contoh riil dari orang tua, pendalaman terhadap contoh-contoh tersebut
dengan penjelasan-penjelasan dan refleksi tindakan anak, serta membangun sebuah
lingkungan yang memastikan anak mudah untuk melakukannya dalam kehidupan
sehari-hari. Sebagai contoh: Orang tua yang hangat dan penuh perhatian akan
menjadi model bagi anak bagaimana seharusnya memperlakukan orang lain.
Selain itu
orang tua harus mengupayakan komunikasi dengan anak secara menyenangkan, tidak
hanya memerintah, mengkritik dan membentak bentak. Dalam berkomunikasi, orang
tua hendaknya menjadi pendengar yang baik, tidak menyela pembicaraan, mengganti
pernyataan dengan pertanyaan, berempati terhadap anak dan masalahnya, tidak
berkomentar sebelum diminta. Kalaupun komentar gunakan komentar yang
menyenangkan. Gunakan pujian untuk perilaku atau perubahan perilaku yang baik.
Orang tua yang hangat dan penuh cinta dan perhatian akan memacu perkembangan
moral anak menuju tahapan yang lebih tinggi.
D. Beberapa Kekeliruan Pelaksanaan Pendidikan Karakter
Namun sangat
disayangkan setelah lebih dari 2 tahun ternyata pelaksanaan pendidikan karakter
disekolah tidak berjalan sebagaimana mestinya. Hal ini disebabkan oleh beberapa
kekeliruan seperti:
Ø Banyak guru yang beranggapan bahwa pendidikan karakter
merupakan mata pelajaran baru dan berdiri sendiri, sehingga banyak menanyakan kurikulum, silabus
dan bukunya. Padahal pendidikan karakter bukanlah mapel karena sesungguhnya
sudah ada di dalam setiap mapel yang diajarkan saat ini. Oleh karena itu,
pendidikan karakter tidak membutuhkan kurikulum, silabus atau buku yang khusus.
Ø Banyak guru yang beranggapan bahwa pendidikan karakter
merupakan pengganti mata pelajaran atau Budi Pekerti yang ada dulu. Akibatnya
banyak yang mencoba menyamakan metode pembelajaran seperti yang banyak dipakai
yaitu metode ceramah dan catat. Padahal pendidikan karakter bukanlah mata pelajaran
pengganti dan proses pembelajarannya bukan lebih ceramah tapi harus digali
secara bersama sama oleh guru dan siswa.
Ø Banyak guru yang beranggapan bahwa pendidikan karakter
adalah tugas dari guru mata pelajaran Agama dan PKn saja serta kalau perlu
melibatkan guru BK sekiranya terjadi masalah yang terkait dengan karakter
siswa. Padahal pendidikan karakter adalah tugas semua guru dari seluruh mapel,
karena setiap mapel yang diajarkan pasti memiliki nilai nilai moral yang akan
memberi dampak pada kehidupan orang banyak.
Ø Banyak guru yang beranggapan bahwa pendidikan karakter
hanyalah pelengkap atau tambahan saja sehingga tidak perlu diprioritaskan
seperti halnya dengan materi akademis. Padahal pendidikan karakter adalah
inti dari suatu kegiatan pendidikan karena alangkah berbahayanya seorang siswa
yang hanya berkembang dalam hal akademis tapi tidak dalam hal karakter.
Ø Kelima, banyak yang beranggapan bahwa pendidikan
karakter hanyalah sebuah pengetahuan semata (kognitif) sehingga tidak perlu
usaha yang khusus dan terencana. Padahal pendidikan karakter adalah
sebuah usaha yang holistik sehingga tidak hanya melibatkan sisi kognitif tapi
juga sisi afektif dan psikomotor. Dengan demikian, seorang siswa dapat memahami
lalu bisa merasakan dan pada akhirnya mau melakukan nilai-nilai yang dianggap
baik.
Kekeliruan-kekeliruan
seperti inilah yang telah menghambat pelaksanaan pendidikan karakter di
sekolah. Akibatnya dalam 2 tahun sejak dicanangkan tidak banyak kemajuan yang
diperoleh, pendidikan karakter masih tetap berada dalam posisi wacana yang
belum dapat dilaksanakan. Padahal kita semua tahu bahwa pendidikan karakter
membutuhkan waktu yang lama dibandingkan materi akademis. Meskipun sudah
dilaksanakan dengan sungguh sungguh belum ada yang bisa menjamin tingkat
keberhasilannya.
E. Pendidikan Karakter untuk Berbagai Mata Pelajaran
Seperti yang diucapkan oleh Bapak
Pendidikan Karakter Dunia, Prof. Thomas Lickona[3]
bahwa pendidikan selalu mempunyai 2 tujuan yaitu membantu orang untuk menjadi
pintar (smart) sekaligus juga untuk menjadi baik (good). Oleh karena itulah
Prof. Lickona menambahkan Respect (hormat) sebagai R yang ke-4 dan
Responsibility (tanggung jawab) sebagai R yang ke-5 ke dalam 3R yang selama ini
kita kenal yaitu : Reading (membaca), wRiting (menulis) dan aRithmatic
(menghitung). 3R yang pertama adalah untuk membuat siswa menjadi pintar
sedangkan 2R yang terakhir adalah untuk membuat siswa menjadi baik.
v
Petunjuk
Praktis Pendidikan Karakter Untuk Berbagai Mata Pelajaran
Bisa kita
bayangkan bagaimana efektifnya pelaksanaan pendidikan karakter bila guru-guru
dari mapel selain Agama dan PKn ikut berperan aktif. Berikut adalah petunjuk
praktis untuk guru-guru dari beberapa mata pelajaran :
1. Kesenian
Mencari
nilai-nilai yang terkandung dalam sebuah lagu serta mempelajari latar belakang
penulisan sebuah lagu termasuk juga karakter dari penciptanya. Mempelajari
sejarah dari alat-alat musik tradisional serta pengaruhnya terhadap kehidupan
masyarakat.
2. Bahasa
Mendiskusikan
karakter positif maupun negatif dari tokoh yang ada dalam suatu artikel serta
mencari nilai-nilai yang terkandung dalam suatu karya sastra (puisi, pantun
dll). Untuk bahasa asing, mencari arti/makna dari kata-kata baru khususnya yang
terkait dengan nilai-nilai yang positif, selanjutnya siswa bisa diminta membuat
karangan yang memuat kata-kata baru itu agar bisa menperoleh pemahaman yang
lebih mendalam.
3. Sosial/IPS
Mendiskusikan
karakter dari para raja, ratu atau patih serta pengaruhnya terhadap kehidupan
rakyatnya. Mempelajari dampak dari suatu kebijakan ekonomi terhadap masyarakat
atau pengaruh sosial dari pemberlakuan sebuah aturan atau hukum.
4. Sains/IPA
Dampak
positif dan negatif dari perkembangan sains terhadap manusia seperti timbulnya
berbagai macaam penyakit dan lingkungan hidup seperti adanya pencemaran atau
kepunahan hewan atau tumbuhan.
5. Matematika
Mengkaji
aplikasi konsep matematika dalam kehidupan sehari-hari serta dampak negatif
kalau terjadi penyimpangan atau ketidakjujuran dalam penggunaannya. Beri
penekanan terhadap kerugian yang harus ditanggung oleh pemerintah dan
masyarakat.
6. Penjaskes
Pengaruh
positif dari kegiatan olahraga bagi kesehatan serta mendiskusikan karakter
positif (berlatih teratur dan disiplin) maupun negatif (doping atau pengaturan
skor) dari para olahragawan nasional maupun internasional dalam mencapai
prestasi.
7. TIK/Teknologi
Mendiskusikan
pengaruh positif maupun negatif dari sebuah teknologi. Khusus untuk teknologi
informasi, perlunya pengetahuan tentang Media Literacy untuk mencegah efek
negatif yang tidak diinginkan. Mempelajari mengenai Cyber-Bullying yang sangat
merugikan pihak yang jadi korban.
8. Muatan Lokal
Mendiskusikan
perlunya melestarikan bahasa dan budaya daerah serta situs- situs bersejarah
yang ada. Mempelajari pengaruh adat istiadat di suatu daerah dalam membentuk
karakter orang di sana.
Sebagai
penutup perlu ditekankan kembali bahwa tujuan pendidikan bukanlah hanya untuk
menjadikan seseorang menjadi pintar tapi juga menjadi baik dan berkarakter. Oleh
karena itu, semua pihak yang terlibat dalam pendidikan harus mau mengubah
tujuan yang semula hanya mengejar nilai akademis sekarang harus memprioritaskan
pendidikan karakter. Percayalah untuk membuat seseorang jadi pintar jauh lebih
mudah dan cepat dari pada untuk membuat seseorang jadi baik dan berkarakter.
Pintar tidaklah cukup tapi harus dilengkapi juga dengan karakter yang baik.
[1] http://tobroni.staff.umm.ac.id/pendidikan-karakter-dalam-perspektif-islam-pendahulan/ Diakses pada tanggal 11 November
2012, Pukul 16.13
[2] Alwasol. Psikologi kepribadian. Jakarta: 2006, hl. 201
0 comments:
Posting Komentar