Jumat, 15 Maret 2013

Posted by Rumah Ratu On Jumat, Maret 15, 2013

A.    PENGERTIAN DAN KONSEP DASAR GENDER
Masih banyak orang yang belum bisa membedakan secara jelas antara pengertian istilah jenis kelamin dan gender, sehingga tidak jarang kedua terminologi tersebut dianggap sama secara konseptual. Anggapan ini tentu tidak tepat, sebab istilah jenis kelamin dan gender memiliki pengertian yang sama sekali berbeda.[1]
Oleh karena itu, dalam kajian gender hal penting yang perlu dilakukan sebelum membahas lebih lanjut adalah memahami terlebih dahulu perbedaan konsep gender dan seks (jenis kelamin). Kesalahan dalam memahami makna gender merupakan salah satu faktor yang menyebabkan sikap menentang atau sulit bisa menerima analisis gender dalam memecahkan masalah ketidakadilan sosial.
Seks adalah perbedaan laki-laki dan perempuan yang berdasar atas anatomi biologis dan merupakan kodrat Tuhan.[2] Menurut Mansour Faqih, sex berarti jenis kelamin yang merupakan penyifatan atau pembagian jenis kelamin yang ditentukan secara biologis yang melekat pada jenis kelamin tertentu. Perbedaan anatomi biologis ini tidak dapat diubah dan bersifat menetap, kodrat dan tidak dapat ditukar. Oleh karena itu perbedaan tersebut berlaku sepanjang zaman dan dimana saja.[3]
Secara terminologis, makna jenis kelamin (sex) adalah perbedaan fisik yang didasarkan pada anatomi biologi manusia, terutama yang berhubungan dengan fungsi reproduksi. Berdasarkan perbedaan fisik dan biologis inilah dapat teridentifikasi dua jenis kelamin manusia, yaitu laki-laki dan perempuan. Dengan kata lain, perbedaan antara perempuan dan laki-laki murni didasarkan pada fungsi organ reproduksi yang kodrati dan bersifat alamiah (nature). Karena didasarkan pada perbedaan yang bersifat alamiah, perbedaan jenis kelamin berlaku secara universial bagi semua perempuan dan laki-laki di dunia.[4]
Sedangkan gender adalah pembedaan peran, fungsi dan tanggung jawab antara perempuan dan laki-laki yang dihasilkan dari konstruksi sosial budaya dan dapat berubah sesuai dengan perkembangan zaman.[5] Secara etimologis gender berasal dari kata gender yang berarti jenis kelamin.[6] Tetapi Gender merupakan perbedaan jenis kelamin yang bukan disebabkan oleh perbedaan biologis dan bukan kodrat Tuhan, melainkan diciptakan baik oleh laki-laki maupun perempuan melalui proses sosial budaya yang panjang. Perbedaan perilaku antara pria dan wanita, selain disebabkan oleh faktor biologis sebagian besar justru terbnetuk melalu proses sosial dan cultural. Oleh karena itu gender dapat berubah dari tempat ketempat, waktu ke waktu, bahkan antar kelas sosial ekonomi masyarakat[7].Dalam batas perbedaan yang paling sederhana, seks dipandang sebagai status yang melekat atau bawaan sedangkan gender sebagai status yang diterima atau diperoleh. Mufidah dalam Paradigma Gender[8] mengungkapkan bahwa pembentukan gender ditentukan oleh sejumlah faktor yang ikut membentuk, kemudian disosialisasikan, diperkuat, bahkan dikonstruksi melalui sosial atau kultural, dilanggengkan oleh interpretasi agama dan mitos-mitos seolah-olah telah menjadi kodrat laki-laki dan perempuan.
Gender merupakan analisis yang digunakan dalam menempatkan posisi setara antara laki-laki dan perempuan untuk mewujudkan tatanan masyarakat sosial yang lebih egaliter. Jadi, gender bisa dikategorikan sebagai perangkat operasional dalam melakukan measure (pengukuran) terhadap persoalan laki-laki dan perempuan terutama yang terkait dengan pembagian peran dalam masyarakat yang dikonstruksi oleh masyarakat itu sendiri. Gender bukan hanya ditujukan kepada perempuan semata, tetapi juga kepada laki-laki. Hanya saja, yang dianggap mengalami posisi termarginalkan sekarang adalah pihak perempuan, maka perempuanlah yang lebih ditonjolkan dalam pembahasan untuk mengejar kesetaraan gender yang telah diraih oleh laki-laki beberapa tingkat dalam peran sosial, terutama di bidang pendidikan karena bidang inilah diharapkan dapat mendorong perubahan kerangka berpikir, bertindak, dan berperan dalam berbagai segmen kehidupan sosial.

B.           MANIFESTASI DISKRIMINASI GENDER
Konsep perbedaan jenis kelamin seringkali dirancukan dengan konsep gender sebagai konstruksi sosial oleh pemahaman masyarakat. Perbedaan jenis kelamin memang berbeda sejak lahir, menjadi hak penuh Tuhan dalam menentukan jenis kelamin manusia. Lain halnya dengan ‘pembedaan’ gender, terjadi melalui sebuah proses panjang yang dilakukan oleh manusia (masyarakat) melalui pencitraan, pemberian peran, cara memperlakukan dan penghargaan terhadap keduanya. Oleh sebab konstruksi sosial merupakan bentukan masyarakat, maka sifatnya dapat berubah dan diubah sesuai dengan perubahan sosial, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, terjadi musibah, bencana alam, termasuk perubahan kebijakan dan pemahaman agama maupun adaptasi dengan budaya yang tidak bias gender.
Pembedaan peran, fungsi dan tanggung jawab laki-laki dan perempuan dalam konteks sosial ini pada dasarnya tidak dipermasalahkan, namun ketika dicermati lebih dalam dapat menjadi penyebab munculnya diskriminasi gender, yakni salah satu jenis kelamin terabaikan hak dasarnya, tertinggal dan mengalami masalah ketidakadilan.[9]
Manifestasi dari deskriminasi gender ini tampil dalam berbagai bentuk sebagai berikut[10]:
1.      Pelabelan (Stereotype) adalah pelabelan terhadap jenis kelamin laki-laki atau perempuan yang berkonotasi positif atau negatif.
2.      Penomorduaan (Subordination) adalah perlakuan menomorduakan yang mengakibatkan seseorang menempati posisi yang lebih rendah dibandingkan orang lain, sehingga tidak mendapatkan prioritas.
3.      Pemiskinan (Marginalization) adalah menempatkan seseorang karena jenis kelaminnya sebagai pihak yang tidak dianggap penting dalam faktor ekonomi, sekalipun perannya sangat krusial.
4.      Kekerasan (Violence) adalah segala bentuk perbuatan tidak menyenangkan yang ditujukan kepada pihak lain, baik dalam bentuk fisik maupun psikis.
5.      Beban ganda (Double Burden) adalah sebuah situasi yang menyebabkan seseorang harus menanggung beban kerja berlipat.

C.    BIAS GENDER DALAM PENDIDIKAN
Yang dimaksud bias gender adalah mengunggulkan salah satu jenis kelamin dalam kehidupan sosial atau kebijakan publik. Bias gender dalam pendidikan adalah realitas pendidikan yang mengunggulkan satu jenis kelamin tertentu sehingga menyebabkan ketimpangan gender.[11]
Berbagai bentuk kesenjangan gender yang terjadi dalam berbagai bidang kehidupan masyarakat, terpresentasi juga dalam dunia pendidikan. Bahkan proses dan institusi pendidikan dipandang berperan besar dalam mensosialisasikan dan melestrikan nilai-nilai dan cara pandang yang mendasari munculnya berbagai ketimpangan gender dalam masyarakat. Secara garis besar, fenomena kesenjangan gender dalam pendidikan dapat diklasifikasi dalam beberapa dimensi, antara lain:
1.      Kurangnya partisipasi (under-participation). Dalam hal partisipasi pendidikan, perempuan di seluruh dunia menghadapi problem yang sama. Dibanding lawan jenisnya, partisipasi perempuan dalam pendidikan formal jauh lebih rendah. Di negara-negara dunia ketiga dimana pendidikan dasar belum diwajibkan, jumlah murid perempuan umumnya hanya separuh atau sepertiga jumlah murid laki-laki.[12]
2.      Kurangnya keterwakilan (under-representation). Partisipasi perempuan dalam pendidikan sebagai tenaga pengajar maupun pimpinan juga menunjukkan kecenderung disparitas progresif. Jumlah guru perempuan pada jenjang pendidikan dasar umumnya sama atau melebihi jumlah guru laki-laki. Namun, pada jenjang pendidikan lanjutan dan pendidikan tinggi, jumlah tersebut menunjukkan penurunan drastis.
3.      Perlakuan yang tidak adil (unfair treatment). Kegiatan pembelajaran dan proses interaksi dalam kelas seringkali bersifat merugikan murid perempuan. Guru secara tidak sadar cenderung menaruh harapan dan perhatian yang lebih besar kepada murid laki-laki dibanding murid perempuan. Para guru kadangkala cenderung berpikir ke arah “self fulfilling  prophecy terhadap siswa perempuan karena menganggap perempuan tidak perlu memperoleh pendidikan yang tinggi.
4.      Dimensi akses adalah fasilitas pendidikan yang sulit dicapai atau kesempatan untuk menggunakan sumber daya tanpa memilki otoritas untuk memutuskan terhadap produk/hasil maupun metode pendayagunaan sumber daya tersebut. Faktor penyebabnya antara lain: kurang tersedianya sekolah menengah di setiap kecamatan, jarak yang jauh dari tempat tinggal, beban tugas rumah tangga yang banyak dibebankan pada anak. Akumulasi dari faktor-faktor ini membuat banyak anak-anak yang cepat meninggalkan bangku sekolah.
5.      Dimensi proses pembelajaran adalah materi pendidikan seperti misalnya yang terdapat dalam contoh-contoh soal dimana semua kepemilikan selalu mengatasnamakan laki-laki. Dalam buku-buku pelajaran seperti misalnya semua jabatan formal dalam buku seperti camat dan direktur digambarkan dijabat oleh laki-laki. Selain itu ilustrasi gambar juga bias gender, yang seolah-olah menggambarkan bahwa tugas wanita adalah sebagai ibu rumah tangga dengan tugas-tugas menjahit, memasak dan mencuci. Faktor penyebabnya stereotype gender.
6.      Dimensi penguasaan adalah kemampuan yang dimiliki seseorang untuk memajukan peranannya dalam masyarakat. Faktor penyebabnya pemanfaatan yang minim, peran yang tidak terserap oleh masyarakat dan masih berpegang pada nilai-nilai lama yang tidak terreformasi. Contohnya saja buta huruf yang didominasi oleh kaum perempuan.
7.      Dimensi kontrol adalah kemampuan atau otoritas untuk memutuskan menggunakan produk atau hasil, bahkan juga untuk menentukan metode pendayagunaannya, sehingga memiliki kekuatan untuk mendapatkan keuntungan dari sumber daya tersebut. Faktor penyebabnya tidak memiliki otoritas atau kemampuan untuk menggunakan maupun mendayagunakan sumber daya.
8.      Dimensi manfaat adalah sesuatau yang baik intuk didapatkan atau diterima oleh seseurang dari proses penggunaan atau mendayagunakan sumber daya. Faktor penyebabnya dimensi akses, kontrol, maupun partisipasi yang didapatkan kecil.

D.    KESETARAAN GENDER DALAM PENDIDIKAN
Keadilan dan kesetaraan adalah gagasan dasar, tujuan dan misi utama peradaban manusia untuk mencapai kesejahteraan, membangun keharmonisan kehidupan bermasyarakat, bernegara dan membangun keluarga berkualitas. Kesetaraan gender adalah kesamaan kondisi bagi laki-laki dan perempuan untuk memperoleh kesempatan serta hak-haknya sebagai manusia, agar mampu berperan dan berpartisipasi dalam kegiatan politik, hukum, ekonomi, sosial budaya, pendidikan dan pertahanan dan keamanan nasional (hankamnas) serta kesamaan dalam menikmati hasil pembangunan. Keadilan gender adalah suatu perlakuan adil terhadap perempuan dan laki-laki. Perbedaan biologis tidak bisa dijadikan dasar untuk terjadinya diskriminasi mengenai hak sosial, budaya, hukum dan politik terhadap satu jenis kelamin tertentu. Dengan keadilan gender berarti tidak ada pembakuan peran, beban ganda, subordinasi, marginalisasi dan kekerasan terhadap perempuan maupun laki-laki. Terwujudnya kesetaraan dan keadilan gender, ditandai dengan tidak adanya diskriminasi antara perempuan dan laki-laki dan dengan demikian mereka memiliki akses, kesempatan berpartisipasi dan kontrol atas pembangunan serta memperoleh manfaat yang setara dan adil dari pembangunan.
Dalam memenuhi kesetaraan dan keadilan gender diatas, maka pendidikan perlu memenuhi dasar pendidikan yakni menghantarkan setiap individu atau rakyat mendapatkan pendidikan sehingga bisa disebut pendidikan kerakyatan. Ciri-ciri kesetaraan gender dalam pendidikan adalah sebagai berikut:
1.      Perlakuan dan kesempatan yang sama dalam pendidikan pada setiap jenis kelamin dan tingkat ekonomi, sosial, politik, agama dan lokasi geografis publik.[13]
2.      Adanya pemerataan pendidikan yang tidak mengalami bias gender.
3.      Memberikan mata pelajaran yang sesuai dengan bakat dan minat setiap individu.
4.      Pendidikan harus menyentuh kebutuhan dan relevan dengan tuntutan zaman.
5.      Individu dalam pendidikannya juga diarahkan agar mendapatkan kualitas sesuai dengan taraf kemampuan dan minatnya.

E.     UPAYA PENANGGULANGAN DAMPAK NEGATIF DARI BIAS GENDER DALAM PENDIDIKAN
Upaya untuk mengatasi bias gender dalam pendidikan yang dapat dilakukan sebagai berikut:[14]
1.      Reintepretasi ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits yang bias gender dilakukan secara kontinu (sudut pandang Islam).
2.      Muatan kurikulum nasional yang menghilangkan dikotomis antara laki-laki dan perempuan, demikian pula kurikulum lokal dengan berbasis kesetaraan, keadilan dan keseimbangan. Kurikulum disusun sesuai dengan kebutuhan dan tipologi daerah yang dimulai dari tingkat pendidikan Taman Kanak-Kanak sampai ke tingkat Perguruan Tinggi.
3.      Pemberdayaan kaum perempuan di sektor pendidikan informal seperti pemberian fasilitas belajar mulai di tingkat kelurahan sampai kepada tingkat kabupaten disesuaikan dengan kebutuhan daerah.
Contoh langkah kongkrit yang bisa diambil:
a.       Kemendiknas, Kemenag dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPA) mengkoordinasikan kebijakan dan strategi yang terfokus pada penghapusan disparitas rasio gender untuk indikator pendidikan pada semua jenjang pendidikan di tingkat propinsi dan kabupaten/kota, serta memperkuat pelaksanaan pengarusutamaan gender di semua tingkatan di bidang pendidikan.
b.      Kemendiknas mengkaji kemajuan yang dicapai dalam pelaksanaan Peraturan Menteri No. 84/2008 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pendidikan di tingkat sekolah dan kabupaten/kota dan untuk memperkuat pelaksanaan Keputusan Menteri yang bertujuan mencapai pendidikan yang responsif gender dengan pengembangan kapasitas di semua tingkatan dalam sistem pendidikan.
c.       Kemendiknas dan Kemenag melakukan penilaian terhadap sejumlah sekolah sampel di beberapa lokasi geografis yang berbeda tentang cara-cara pengintegrasian kebijakan gender dalam rencana dan pelaksanaan manajemen sekolah.
d.      Kemendiknas dan Kemenag mengkaji dengan menggunakan perspektif gender, Peraturan Pemerintah tentang Anggaran propinsi dan kabupaten/kota, dan Peraturan Kemendagri No. 13/2006 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah dan Keputusan Menteri Keuangan No. 119/2009 tentang Anggaran responsif gender.
e.       Kemendiknas dan Kemenag memberikan lebih banyak perhatian pada propinsi yang belum berhasil dalam menurunkan rasio paritas gender, transisi dan angka putus sekolah, dengan membuat rancangan strategi berdasar kebutuhan yang ada, dengan memperhitungkan faktor-faktor dasar yang berkontribusi terhadap rendahnya pencapaian indikator di propinsi dan kabupaten/kota.
f.       Kemendiknas mempercepat program pelatihan yang ada untuk meningkatkan kapasitas pengumpulan data terpilah berdasar gender, analisa dan perencanaan dan penganggaran responsif gender di tingkat propinsi dan kabupaten/kota untuk indikator tertentu.
g.      Mempercepat program yang ada yang terkait akses pendidikan dan memprioritaskan propinsi yang memiliki kesenjangan paritas gender yang signifikan dalam indikator pendidikan. Ini termasuk Program Sekolah Satu Atap (gabungan SD dan SMP), Sekolah Kecil, Sekolah Satelit di daerah miskin dan terpencil dan program Bantuan Langsung Tunai Bersyarat. Meningkatkan cakupan dan kualitas program pemerataan (Paket A, B dan C), khususnya jika disparitas rasio gender terjadi pada angka putus sekolah untuk meningkatkan akses terhadap pendidikan berkualitas. Perlu juga dilakukan kajian untuk melihat efektifitas skema yang digunakan untuk mengatasi kesenjangan gender.
h.      Mengembangkan kebijakan dan mensinkronisasinya di tingkat nasional, daerah dan sekolah untuk memastikan bahwa perempuan yang menikah dini, hamil dan ibu muda bisa melanjutkan pendidikan. Melaksanakan kampanye untuk membangun kesadaran akan pentingnya mengurangi insiden pernikahan dini dan mendorong kelangsungan pendidikan bagi laki-laki, dan apalagi perempuan, yang menikah dini.
i.        Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan/LPTK perlu mengkaji kurikulum pelatihan guru untuk memperbaiki penyusunan materi dan keterampilan mengajar sehingga responsif gender.
j.        Kemendiknas dan Kemenag mengkaji dan meningkatkan penyediaan buku teks pelajaran yang peka gender pada semua tingkat pendidikan, termasuk teks, gambar dan akses yang sama terhadap kegiatan ekstra-kurikuler olahraga, seni dan sains.
k.      Kemendiknas memastikan mekanisme pembiayaan pendidikan bersifat responsif gender. Misalnya, ketika membiayai infrastruktur dan rehabilitasi sekolah baru, dan merancang bangunan sekolah, maka harus memenuhi kebutuhan praktis laki-laki dan perempuan. Di SMP dan SMA, perlu ada fasilitas sanitasi yang terpisah dan memadai bagi perempuan, untuk keperluan terkait menstruasi.
l.        Kemendiknas dan Kemenag merumuskan kebijakan yang jelas, yang mengatur penempatan laki-laki dan perempuan yang memenuhi kualifikasi di semua kegiatan pendidikan (termasuk pendidikan Islam), terutama dalam posisi kepemimpinan, manajemen, dan akademik di semua tingkatan pendidikan (sistem sejenis sudah terlaksana di lapangan dengan adanya perwakilan dalam partai politik dan parlemen).







DAFTAR PUSTAKA

Amasari (Member of PSG LAIN), Laporan Penelitian Pendidikan Berujatuasan Gender,(Banjannasin: IAIN Antasari, 2005).
Eni Purwati dan Hanun Asrohah, Bias Gender dalam Pendidikan Islam, (Surabaya: Alpha, 2005).
Hanun Asrohah, Sosiologi Pendidikan, (Surabaya: Kopertais Press, 2008).
Jhon M. Echol, dan Hasan Shadily, Kamus Besar Inggris-Indonesia, (Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 1996).
Mansour Faqih, Analisis gender dan Transformasi Sosial, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1996).
Mufidah Ch, Bingkai Sosial Gender: Islam, Strukturasi dan Konstruksi Sosial,  (Malang: UIN Maliki Press, 2010).
Nasarudin Umar, Argumen Kesetaraan Gender : Perspektif al-Qur’an, (Jakarta : Paramadina, 2001).
Wawan Djunaedi, dan Iklilah Muzayyanah, Pendidikan Islam Adil Gender di Madrasah, (Jakarta : Pustaka STAINU, 2008).



[1] Wawan Djunaedi, dan Iklilah Muzayyanah, Pendidikan Islam Adil Gender di Madrasah, (Jakarta : Pustaka STAINU, 2008), hlm. 3
[2]  Nasarudin Umar, Argumen Kesetaraan Gender : Perspektif al-Qur’an, (Jakarta : Paramadina, 2001), hlm. 1.
[3] Mansour Faqih, Analisis gender dan Transformasi Sosial, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1996), hlm.8.
[4] Wawan Djunaedi, dan Iklilah Muzayyanah, Pendidikan Islam Adil Gender di Madrasah, (Jakarta : Pustaka STAINU, 2008), hlm. 4-5
[5] Mufidah Ch, Bingkai Sosial Gender: Islam, Strukturasi dan Konstruksi Sosial,  (Malang: UIN Maliki Press, 2010), hlm. 5
[6] Jhon M. Echol, dan Hasan Shadily, Kamus Besar Inggris-Indonesia, (Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 1996), cet.23a
[7]  Mansour Faqih, Gender Sebagai Alat Analisis Sosial, (edisi 4 November 1996).
[8] Mufidah Ch, Paradigma Gender,  (Malang: Bayumedia Publishing, 2003), hlm. 4-6.
[9] Mufidah Ch, Bingkai Sosial Gender: Islam, Strukturasi dan Konstruksi Sosial,  (Malang: UIN Maliki Press, 2010), hlm. 7-8
[10] Wawan Djunaedi, dan Iklilah Muzayyanah, Pendidikan Islam Adil Gender di Madrasah, (Jakarta : Pustaka STAINU, 2008), hlm. 17-31
[11] Hanun Asrohah, Sosiologi Pendidikan, (Surabaya: Kopertais Press, 2008), cet. 1, h. 178.
[12] Amasari (Member of PSG LAIN), Laporan Penelitian Pendidikan Berujatuasan Gender,(Banjannasin: IAIN Antasari, 2005), hal. 31
[13] Eni Purwati dan Hanun Asrohah, Bias Gender dalam Pendidikan Islam, (Surabaya: Alpha, 2005), 30.
[14]   Ibid, hlm.36

0 comments:

Posting Komentar