A.
Prilaku Beragama yang Normal
Prilaku
normal dan abnormal yang dalam praktiknya agak susah dirumuskan apakah ia
normal atau abnormal, dikarenakan :
1. Sulit menemukan model manusia yang
ideal dan sempurna,
2. Dalam banyak kasus tidak adanya
batas-batas yang jelas antara perilaku normal dan abnormal.
Dalam
keseharian orang normal bisa saja melakukan perbuatan atau mengucapkan
perkataan yang tergolong abnormal di luar kesadarannya. Sebaliknya orang
abnormal bisa saja melakukan perbuatan atau mengucapkan lisan seperti orang
normal. terkadang, kita salah mempersepsikan apakah perbuatan atau perkataan
diri sendiri atau orang lain termasuk kriteria normalkah ? atau abnormalkah?
Oleh sebab itu, diperlukan batas-batas yang membedakan antara normal dan
abnormal sehingga kita dapat membedakannya secara jelas.
Menggambarkan
ciri-ciri tingkah laku yang norma atau sehat biasanya relatif agak sulit
dibanding dengan tingkah laku yang tidak normal. Ini disebabkan karena tingkah
laku yang normal seringkali kurang mendapatkan perhatian karen tingkah laku
tersebut dianggap wajar, sedangkan tingkah laku abnormal biasanya lebih
mendapatkan perhatian karena biasanya tidak wajar dan aneh.
Pribadi
yang normal itu pada umumnya memiliki mental yang sehat, sedangkan pribadi yang
abnormal biasanya juga memiliki mental yang tidak sehat. Namun demikian, pada
hakekatnya konsep mengenai normalitas dan abnormalitas itu sangat samar-samar
batasnya. Sebab pola kebiasaan dan sikap hidup yang dirasakan normal oleh suatu
kelompok tertentu, bisa dianggap abnormal oleh kelompok lainnya. Akan tetapi
apabila satu tingkah laku itu begitu mencolok dan sangat berbeda dengan tingkah
laku umum (biasa pada umumnya), maka kita akan menyebutnya sebagai abnormal.
Dilihat
dari setiap segi pandang, konsep normalitas-abnormalitas adalah konsep yang
bersifat relatif. Penyimpangan dari norma apa pun yang diterima seseorang
mungkin begitu kecil atau mungkin begitu mencolok sehingga kelihatan jelas
sifat abnormalnya. Tetapi karena tidak ada dikatomi yang tegas, maka normalitas
dan abnormalitas sulit dibedakan.
Kebanyakan
orang menerima bahwa penyesuaian diri yang baik sangat serupa dengan normalitas
dan ketidakmampuan menyesuaikan diri sama dengan abnormalitas. Sehat dan normal
seringkali dapat digunakan untuk makna yang sama. Normal mengandung beberapa
pengertian. ada lima pengertian normalitas yaitu :
1. Tidak adanya gangguan atau kesakitan
2. Keadaan yang ideal atau keadaan mental yang
positif
3. Diterima
secara sosial
4. Proses berlangsung secara wajar, terutama
dalam tahapan perkembangan.
Sedangkan
secara antropologis, Ackerknecht menyatakan bahwa prilaku dibedakan
dalam 4 kategori, yaitu :
1. Autopathological,
yaitu prilaku abnormal dalam suatu budaya yang ditempati tetapi normal dibudaya
lain.
2. Autonormal,
yaitu prilaku normal budaya yang ditempati tetapi tidak normal untuk budaya
yang lain.
3. Heteropathologikal,
yaitu prilaku abnormal dalam seluruh budaya.
4. Heteronormal,
yaitu prilaku normal dalam semua budaya
Didasarkan klasifikasi pengertian
normal itu atau kategori prilaku diatas, maka istilah normal tidak selalu
berarti sehat. Sehat lebih bermakna pengertian khusus, yaitu keadaan yang ideal
atau keadaan mental yang positif. Meskipun itulah normal dapat digunakan untuk
menyebut istilah sehat, namun tidak selalu tepat digunakan. Normal secara
harfiah berarti “kesesuaian” dengan suatu norma atau ukuran tertentu.
Ø Ciri-ciri
individu yang bisa dikelompokkan sebagai normal adalah sebagai berikut :
1. Sikap terhadap diri sendiri.
Mampu menerima diri sendiri apa adanya, memiliki identitas diri yang jelas,
mampu menilai kelebihan dan kekukarangan diri sendiri secara realitis.
2. Persepsi terhadap realita.
Pandangan yang realistis terhadap diri sendiri dan dunia sekitar yang meliputi
orang lain maupun segala sesuatunya.
3. Integrasi. Kepribadian yang
menyatu dan harmonis, bebas dari konflik-konflik batin yang mengakibatkan
ketidakmampuan dan memiliki toleransi yang baik terhadap setres.
4. Kompetensi. Mengembangkan
keterampilan mendasar berkaitan dengan aspek fisik, intelektual, emosional, dan
sosial untuk dapat melakukan koping terhadap masalah-masalah kehidupan.
5. Otonomi. Memiliki ketetapan diri
yang kuat, bertanggung jawab, dan penentuan diri dan memiliki kebebasan yang
cukup terhadap pengaruh soaial.
6. Pertumbuhan dan aktualisasi diri.
Mengembangkan kecenderungan kearah peningkatan kematangan, pengembangan
potensi, dan pemenuhan diri sebagai seorang pribadi.
7. Relasi interpersonal. Kemampuan
untuk membentuk dan memelihara relasi interpersonal yang intim.
8. Tujuan hidup. Tidak terlalu kaku
untuk mencapai kesempurnaan, tetapi membuat tujuan yang realistis dan masih
didalam kemampuan individu.
Dengan sendirinya semua kriteria
yang dikemukakan oleh Maslow c.s. itu merupakan ukuran ideal, atau merupakan
standar yang relatif sangat tinggi. Dan seorang yang normal pun tidak akan bisa
diharapkan memenuhi secara mutlak kriteria tadi. Sebab setiap individu pasti
punya kekurangan dan kelemahan dalam struktur kepribadiannya. Namun demikian
dia tetap memiliki mental yang sehat, sehingga bisa digolongkan dalam klas
manusia normal.
Sebaliknya, jika seorang itu terlalu
jauh menyimpang dari kriteria tersebut diatas, dan banyak segi-segi
karakteristiknya yang devisien (rusak, tidak efisien) maka pribadi tadi bisa
digolongkan dalam kelompok pribadi abnormal. Selanjutnya, pribadi normal dengan
mental yang sehat itu selalu memperlihatkan reaksi-reaksi personal yang cocok,
tepat terhadap stimulasi eksternal. Karena itu reaksi-reaksi kenormalan pada
tingkat psikologis dan sosial biasanya diukur dengan kelakuan individu ditengah
kelompok tempat hidupnya. Reaksi tersebut disebut normal, bila tepat dan sesuai
dengan ide dan pola tingkah laku kelompok, dan cocok dengan kesejahteraan umum
dan kemajuan/progres.
Karena itu normalitas/kesehatan mental ditandai oleh :
1. Integrasi kejiwaan
2. Kesesuaian tingkah laku sendiri
dengan tingkah laku sosial
3. Adanya kesanggupan melaksanakan
tugas-tugas hidup dan tanggungjawab sosial
4. Efisien dalam menanggapi realitas
hidup
B. Prilaku
Beragama yang Abnormal
Dalam pandangan psikologi, untuk
menjelaskan apakah seorang individu menunjukkan perilaku abnormal dapat dilihat
dari tiga kriteria berikut:
1. Kriteria Statistik
Seorang individu dikatakan
berperilaku abnormal apabila menunjukkan karakteristik perilaku yang yang tidak
lazim alias menyimpang secara signifikan dari rata-rata, Dilihat dalam kurve
distribusi normal (kurve Bell), jika seorang individu yang menunjukkan karakteristik
perilaku berada pada wilayah ekstrem kiri (-) maupun kanan (+), melampaui nilai
dua simpangan baku, bisa digolongkan ke dalam perilaku abnormal.
2. Kriteria Norma
Perilaku individu banyak ditentukan
oleh norma-norma yang berlaku di masyarakat, ekspektasi kultural tentang
benar-salah suatu tindakan, yang bersumber dari ajaran agama maupun kebiasaan-kebiasaan
dalam masyarakat, misalkan dalam berpakaian, berbicara, bergaul, dan berbagai
kehidupan lainnya. Apabila seorang individu kerapkali menunjukkan perilaku yang
melanggar terhadap aturan tak tertulis ini bisa dianggap sebagai bentuk
perilaku abnormal.
3. Kriteria Patologis
Seorang individu dikatakan
berperilaku abnormal apabila berdasarkan pertimbangan dan pemeriksaan
psikologis dari ahli menunjukkan adanya kelainan atau gangguan mental (mental
disorder), seperti: psikophat, psikotik, skizoprenia, psikoneurotik dan
berbagai bentuk kelainan psikologis lainnya.
Kriteria yang pertama (statististik)
dan kedua (norma) pada dasarnya bisa dideteksi oleh orang awam, tetapi kriteria
yang ketiga (patologis) hanya bisa dilakukan oleh orang yang benar-benar
memiliki keahlian di bidangnya, misalnya oleh psikolog atau psikiater.
Ketiga kriteria tersebut tidak
selamanya berjalan paralel sehingga untuk menentukan apakah seseorang individu
berperilaku abnormal atau tidak seringkali menjadi kontroversi. Misalkan,
seorang yang melakukan kehidupan sex bebas. Di Indonesia, perilaku sex bebas
bisa dianggap sebagai bentuk perilaku abnormal, karena tidak sesuai dengan norma-norma
dan nilai-nilai yang disepakati dan juga tidak dilakukan oleh sebagian besar
masyarakat Indonesia, tetapi di Swedia dan beberapa negara Barat lainnya bisa
dianggap sebagai bentuk perilaku normal, karena masyarakat di sana
mengijinkannya (permisif) dan sebagian besar masyarakat di sana melakukan
tindakan sex bebas. Sementara, menurut kriteria patologis pun mungkin saja
tidak akan dianggap sebagai bentuk perilaku abnormal selama yang bersangkutan
masih mampu menunjukkan orientasi dan objek sexual yang normal alias tidak
mengalami psikosexual neurosis.
Ø
Hubungan Corak keberagamaan seseorang dengan Perilaku menyimpang
Sudah menjadi tabiat kehidupan bahwa
ada orang sehat dan ada orang sakit, ada orang normal dan ada yang abnormal,
ada yang memiliki tingkat kesehatan mental sangat tinggi, ada yang lemah
mental. Ada yang jiwanya sehat, ada yang terganggu kejiwaannya dan bahkan ada
yang sakit jiwa. Masalahnya menjadi heboh ketika ada orang yang terpelajar dan
dikenal sebagai orang yang mengerti agama serta menjalankan ibadah agamanya
secara taat tetapi melakukan sesuatu yang menurut suatu ukuran disebabkan
karena mengidap gangguan kejiwaan. Publik menjadi sangat tergoda untuk
mengetahui, adakah hubungan antara corak keberagamaan seseorang dengan perilaku
menyimpang?
Term sehat wal afiat
biasanya digunakan untuk menyebut
tingkat kesehatan yang prima, terkadang hanya untuk menyebut kesehatan fisik, padahal
juga dapat dimaksud untuk menyebut kesehatan lahir batin. Tetapi jika kita
melacak asal-usul istilah itu, maka sesungguhnya ada perbedaan yang nyata
antara sehat dan afiat. Sehat (al shihhah) merujuk kepada fungsi,
sedang afiat (al-`afiyah) merujuk kepada maksud penciptaan.
Mata yang sehat adalah mata
yang berfungsi untuk melihat tanpa membutuhkan “Alat Bantu”, sedangkan mata
yang afiat adalah mata yang mudah untuk melihat obyek yang halal, dan
takut untuk melihat obyek yang diharamkan. Mengintip misalnya, jika ia
digunakan untuk melihat sesuatu dengan jelas maka dapat dikatakan sehat, namun
jika apa yang dilihatnya itu adalah orang yang sedang mandi misalnya maka mata
tidak dapat dikatakan sehat wal afiat, sebab mata tidak dapat membantu
membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang halal dan mana yang
haram. Begitulah seterusnya pada telinga, kaki, tangan dan seluruh anggota
badan lainnya.
Oleh karena itu sehat wal `afiyat
sesungguhnya juga mencakup kesehatan mental. Dimana manusia melakukan hal-hal
yang tetap dalam koridor Islam, sebab sesungguhnya agama dalam hal ini Islam adalah
konsep hidup yang paripurna yang telah disusun oleh Tuhan untuk manusia.
Sebagai konsep yang disusun oleh Tuhan yang Maha Sempurna, konsep Islam
pastilah sempurna, dan ia terpelihara di lauh mahfudz (langit) yang duplikatnya
bisa digali dari wahyu Al-Qur’anul karim.
Sikap keagamaan merupakan integrasi
secara kompleks antara unsur kognisi (pengetahuan), afeksi
(penghayatan) dan konasi (perilaku) terhadap agama pada diri
seseorang, karenanya ia berhubungan erat dengan gejala jiwa pada seseorang.
Selanjutnya dari sikap keagamaan
tersebut, lahirlah pola tingkah laku untuk taat pada norma dan pranata
keagamaan dan bahkan menciptakan norma dan pranata keagamaan tertentu sebagai
bentuk perwujudan dari kesadaran agama dan pengamalan agama.
Sikap Keagamaan yang Menyimpang
Dalam setiap agama, memuat ajaran norma-norma yang dijadikan sebagai petunjuk
dan tuntunan bagi para pemeluknya dalam bersikap dan bertingkah laku. Hal itu
bertujuan untuk mencapai nilai-nilai yang luhur dalam pembentukan kepribadian
dan keserasian hubungan sosial sebagai upaya dalam mendekatkan diri kepada
Tuhan. Namun, tidak jarang terjadi dalam kehidupan sehari-hari ditemukan adanya
perilaku menyimpang dalam sikap beragama.
Perilaku menyimpang tersebut terjadi
disebabkan adanya sikap seseorang mengalami perubahan terhadap kepercayaan
dan keyakinan agama sebagai pemeluknya. Perubahan sikap dapat terjadi pada
tiap individu maupun kelompok atau masyarakat. Tingkat kualitas dan intensitas
perubahan sikap mungkin berbeda dan bergerak secara kontinyu dari positif melalui
arela netral ke arah negatif.
Sikap keagamaan yang menyimpang dari
ajaran agama yang cenderung keliru mungkin akan menimbulkan suatu pemikiran dan
gerakan pembaruan, baik ke arah yang positif maupun ke arah yang negatif.
Adanya sikap menyimpang seperti sikap kurang toleran, fanatisme, fundamentalis
maupun sikap yang menentang terhadap ajaran agama merupakan salah satu
ciri-ciri keberagamaan yang abnormal.
Ø Faktor yang
Mempengaruhi Terjadinya Penyimpangan Sikap Keagamaan
Perubahan
sikap keagamaan adalah awal proses terjadinya penyimpangan sikap keagamaan pada
seseorang, kelompok atau masyarakat. Perubahan sikap diperoleh dari hasil
belajar atau pengaruh lingkungan, maka sikap dapat diubah walaupun sulit.
Karenanya perubahan sikap, dapat disebabkan oleh beberapa hal, antara lain :
1.
Adanya kemampuan sesorang dalam merekayasa obyek, sehingga menarik perhatian,
memberi pengertian dan akhirnya dapat diterima dan dijadikan sebagai sebuah
sikap baru.
2.
Terjadinya konversi agama, yakni apabila seseorang menyadari apa yang
dilakukannya sebelumnya adalah keliru, maka ia tentu akan mempertimbangkan
untuk tetap konsisten dengan sikapnya yang ia sadari keliru. Dan ini
memungkinkan seseorang untuk bersikap yang menyimpang dari sikap keagamaan
sebelumnya yang ia yakini sebagai suatu kekeliruan tadi.
3.Penyimpangan
sikap keagamaan dapat juga disebabkan karena pengaruh status sosial, dimana
mereka yang merubah sikap keagamaan ke arah penyimpangan dari nilai dan norma
sebelumnya, karena melihat kemungkinan perbaikan pada status sosialnya.
4.
Penyimpangan sikap keagamaan dari sebelumnya, yaitu jika terlihat sikap yang
menyimpang dilakukan seseorang (utamanya mereka yang punya pengaruh besar),
ternyata dirasakan punya pengaruh sangat positif bagi kemaslahatan kehidupan masyarakat,
maka akan dimungkinkan terjadinya integritas sosial untuk menampilkan sikap
yang sama, walaupun disadari itu merupakan sikap yang menyimpang dari sikap
sebelumnya.
Ø
Kesimpulan :
Normalitas
dan abnormalitas menurut Norma budaya dan norma pribadi. Dari segi pandangan
budaya, tingkah laku dan sikap hidup seseorang dianggap normal atau abnormal
tergantung pada lingkungan sosial (budaya) tempat ia tinggal. Masyarakat
merupakan pengawas (hakim) yang keras dan kejam terhadap tingkah laku para
anggotanya dan tidak membiarkan penyimpangan-penyimpangan tingkah laku dari
adat istiadat atau norma umum yang sudah ada.
Kebebasan
dalam batas yang rasional dari anggotanya bisa diberikan agar ia dapat
mengungkapkan dirinya dengan bebas. Tetapi, penyimpangan radikal yang
menyebabkan kekacauan pada individu dan orang-orang disekitarnya sangat kejam.
Orang yang demikian dianggap sebagai pribadi yang abnormal.
Kalau
normalitas dan abnormalitas dikaitkan dengan pandangan budaya, maka akibatnya
adalah adat kebiasaan dan norma-norma hidup yang dianggap normal oleh kelompok
budaya tertentu bisa dianggap abnormal oleh kelompok budaya lain. Atau juga apa
yang dianggap abnormal oleh satu generasi atau atau masyarakat beberapa ratus
tahun yang lalu mungkin bisa diterima dan dianggap normal oleh masyarakat
modern dewasa ini.
Dari
uraian mengenai Agama dan Kesehatan mental dapat kita tarik kesimpulan:
•
Agama adalah hubungan praktis yang dirasakan dengan apa yang dia percayai sebai
mahluk atausebagai wujud yang lebih tinggi dari manusia.
•
Kesehatan mental adalah terhindarnya seseorang dari gangguan dan penyakit jiwa.
•
Hubungan antara kejiwaan dan agama dalam kaitannya dengan hubungan antara agama
sebagai keyakinan dan kesehatan jiwa, terletak pada sikap penyerahan diri
seseorang terhadap suatu kekuasaan Yang Maha Tinggi. Sikap pasrah yang seruapa
itu diduga akan memberi sikap optimis pada diri seseorang sehingga muncul
perasaan positif, seperti rasa bahagia, rasa sengang, puas, sukses, merasa
dicintai, atau rasa aman. Dengan kata lain, kondisi yang demikian menjadi
manusia pada kondisi kodratinya, sesuai dengan fitrah kejadiannya, sehat
jasmani dan ruhani.
0 comments:
Posting Komentar