Rabu, 05 Oktober 2011

Pengertian Taarudh Al-Adillah


Pengertian Taarudh Al-Adillah
Secara etimologi, ta’arudh ()berarti  ” pertentangan”dan Adillah () adalah jama’ dari dalil ()  yang berarti alasan, argumen dan dalil”. Persoalan ta’arudh al-adillah dibahaspara ulama dalam ilmu ushul fiqih, ketika terjadinya pertentangan secara dzahir  antara satu dalil dengan dengan dalil lainnya pada derajat yang sama.
Secara terminologi, ada beberapa definisi yang dikemukakan para ulama ushul fiqih tentang ta’arudh al-adillah:
1.      Imam al-Syaukani, mendefinisikannya dengan “suatu dalil menentukan hukum tertentu terhadap satu persoalan sedangkan dalil lain menentukan hukum yang berbeda dengan itu.
2.      Kamal ibn al-Humam (790-861 H/ 1387-1456 M) dan al-Taftazani (w. 792 H),keduanya ahli fiqih Hanafi, mendefinisikannya dengan “pertentangan dua dalil yang tidak mungkin dilakukan kompromi antara keduanya.
3.      Ali Hasballah (ahli ushul fiqih kontemporer dari Mesir) mendefinisikannya  dengan terjadinya pertentangan hukum yang dikandung satu dalil yang dikandung  satu dalil dengan hukum yang dikandung dalil lainnya, yang kedua dalil tersebut  berada dalam satu derajat.
Pengertian satu derajat adalah antara ayat dengan ayat atau antara sunnah dengan sunnah. Contoh pertentangan ayat al-Qur’an adalah seperti ketentuan tentang ‘iddah wanita yang kematian suami. Firman Allah dalam surat al-Baqarah,2:234, menyatakan bahwa wanita-wanita yang kematian suami ‘iddahnya adalah 4 bulan 10 hari. Ayat ini tidak membedakan antara wanita itu hamil atau tidak. Secara umum Allah menyatakan bahwa apabila seorang wanita kematian suami,maka iddahnya selama empat bulan sepuluh hari. Ayat ini tidak membedakan antara wanita itu hamil atau tidak. Secara umumAllah menyatakan bahwa apabila seorang wanita ditinggal mati suami, maka iddahnya selama 4 bulan 10 hari. Dalam surat at Thalaq:4, Allah menyatakan bahwa wanita yang hamil iddahnya sampai melahirkan. Ayat ini tidak membedakan natara cerai hidup dengan cerai mati.
Menurut Wahbah al Zuhaili, pertentangan antara dua dalil atau hokum itu hanya dalam pandangan mujtahid, sesuai dengan kemampuan pemahaman, analisis, dan kekuatan logikanya, bukan pertentangan actual, karena tidak mungkin terjadi Allah dan Rasul-Nya menurunkan aturan-aturan yang saling bertentangan
Oleh sebab itu, menurut Imam Syathibi, pertentangan itu bersifat semu, bias terjadi dalam dalil qath’I dan dalil yang zhanni, selama kedua dalil itu dalam satu derajat yang sama. Apabila pertentangan itu antara kualitas dalil yang berbeda, seperti pertentangan antara dalil yang qath’I dengan yang zhanni, maka yang diambil adalah yang qath’I, atau apabila yang bertentangan itu ayat Al Qur’an dengan hadist ahad, maka dalil yang digunakan adalah Al Qur’an, karena dari segi periwayatannya ayat-ayat Al Qur’an bersifat qath’I, sedangkan hadist ahad bersifat zhanni
Di samping itu, menurut Wahbah al- Zuhaili, pertentangan tidak mungkin muncul dari dalil yang bersifat fi’liyah, seperti dalil yang menunjukan Rasul berpuasa pada hari tertentu, kemudian ada lagi yang menyatakan bahwa pada hari-hari itu ia juga berpuasa.


Daftar Pustaka:
Harun, Nasrun, 1997. Ushul Fiqh. PT LOGOS Wacana Ilmu: Ciputat
Manhaj Tarjih Muhammadiyah


0 komentar:

Posting Komentar