Kamis, 06 Oktober 2011

PENGARUH PEMBELAJARAN AL-QUR’AN TERHADAP NILAI-NILAI RELIGIUS ANAK USIA 8-9 TAHUN

MAKALAH PSIKOLOGI BELAJAR
PENGARUH PEMBELAJARAN AL-QUR’AN TERHADAP
NILAI-NILAI RELIGIUS ANAK USIA 8-9 TAHUN
 DI TPQ KH. AHMAD DAHLAN DAU
(Di Tinjau Dari Psikologi Belajar)


Oleh
Yusuf Wibisono           (09110051)
Ahmad Fahdi                   (09110052)
Ika Nur Triskayanti     (09110058)

JURUSAN TARBIYAH
FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
I.    PENDAHULUAN
TPQ (Taman Pendidikan Al-qur’an) merupakan salah satu lembaga pendidikan non formal yang saat ini bisa dibilang menjadi salah satu tempat tujuan para orang tua untuk membantu mendidik anaknya dalam belajar al-qur’an. Mengingat pentingnya pembelajaran al-qur’an dan tidak semua orang tua bisa mengajar anaknya mengaji serta penanaman nilai religious pada anak sejak dini maka keberadaan TPQ ini sangat membantu.
TPQ KH. Ahmad Dahlan adalah salah satu tempat dimana anak-anak belajar al-qur’an. Disana mereka belajar membaca dan menulis al-qur’an, fiqh (sholat dan taharah), menghafal al-qur’an secara tematik, hadis, dan doa-doa sehari-hari sehingga bisa diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Di TPQ ini juga membagi pembelajaran dalam tiga kelas, yaitu kelas ula, wustho dan ulya. Pembagian kelas ini bertujuan agar guru atau ustadzah lebih mudah mengajar sesuai dengan kemampuan peserta didiknya.
Usia 8-9 tahun merupakan usia dimana daya pikir mereka berkembang kearah konkrit, rasional dan obyektif. Daya ingatnya menjadi sangat kuat sehingga anak benar-benar dalam stadium belajar. Selain itu, pada masa ini perkembangan pemikiran mereka mulai kritis. Artinya pemahaman atau refleksi terhadap permasalahan secara mendalam dan perspektif yang berbeda, tidak mempercayai begitu saja informasi-informasi yang datang dari berbagai sumber (lisan atau tulisan), dan berpikir secara reflektif dan evaluative.
Dengan karakteristik anak yang dilihat dari tingkat IQ yang berbeda maka orang tua dan guru harus memperhatikan perkembangannya, mengarahkannya kearah yang positif, dan memberikan motivasi anak untuk belajar secara rutinitas. Tidak hanya perkembangan IQ saja tetapi juga perkembangan EQ dan SQ, hal tersebut dapat dibimbing dan diarahkan kearah yang positif dengan keteladanan yang baik dan pembiasaan dirumah dan di lingkungan sekitar.
Pada makalah ini, kami akan mencoba membahas tentang pengaruh pembelajaran al-qur’an dengan nilai-nilai religious pada anak usia 8-9 tahun yang ditinjau dari psikologi belajar, yang mana kami juga melakukan penelitian tentang hal ini di TPQ KH. Ahmad Dahlan yang ada di Dau Malang. Dalam penelitian ini kami merasa bahwa pembelajaran al-qur’an mempunyai pengaruh terhadap nilai-nilai religious pada anak.

.
II.    PEMBAHASAN
1.    Pengertian.
a.    Pembelajaran.
Secara umum, pembelajaran adalah proses belajar yang dibangun oleh guru untuk mengembangkan kreatifitas berpikir yang dapat meningkatkan penguasaan yang baik terhadap materi pelajaran. Wujud pembelajaran adalah menghasilkan output yang memiliki kemampuan (kompetensi) untuk melaksanakan perannya dimasa mendatang. Pada pembelajaran al-qur’an disini diharapkan para peserta didik (santri) dapat membaca dan menulis al-qur’an, serta menerapkan al-qur’an tematik yang sudah dihafal dalam kehidupan sehari-hari.
b.    Al-qur’an.
Al-qur’an adalah kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, yang lafadz-lafadznya mengandung mukjizat, membacanya mempunyai nilai ibadah, yang diturunkan secara mutawatir, dan yang ditulis pada mushaf, mulai dari surat Al- Fatihah (1) sampai akhir surat An-Nas (114).
c.    Religius.
Religious dalam kamus bahasa Indonesia kontemporer berarti taat beragama. Religi itu sendiri berasal dari kata re dan ligare artinya menghubungkan kembali yang telah putus, yaitu menghubungkan kembali tali hubungan antara Tuhan dan manusia yang telah putus oleh dosa-dosanya. Untuk mengukur religiusitas tersebut, kita mengenal tiga dimensi dalam Islam yaitu aspek akidah (keyakinan), syariah (praktik agama, ritual formal) dan akhlak (pengamalan dari akidah dan syariah).
Penanaman nilai-nilai religious anak disini adalah dengan diberikannya pelajaran tentang bagaimana tata cara sholat dan bersuci, serta diberikan hafalan beberapa ayat al-qur’an secara tematik misalnya tentang berbakti kepada orang tua, toleransi kepada sesama, yang nantinya diharapkan dapat mereka terapkan dalam kehidupan sehari-hari. Berdasarkan wawancara pada salah satu ustadz dan ustadzah yang kami lakukan pada tanggal 2 Mei 2011, penanaman religiusitas di TPQ ini dilakukan dengan pembiasaan sholat ashar berjamaah dan berdoa disetiap akan memulai belajar. Selain itu apabila ada di antara teman mereka yang membuat gaduh, bertengkar, ramai, maka salah satu diantara mereka atau secara bersama-sama akan mengingatkan teman yang bertengkar.
d.    Psikologi Belajar.
Sebelum kita mendefinisikan psikologi belajar, alangkah baiknya kita definisikan terlebih dahulu psikologi itu sendiri. Psikologi adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki dan membahas tingkah laku terbuka dan tertutup pada manusia, baik selaku individu maupun kelompok, dalam hubungannya dengan lingkungan. Lingkungan dalam hal ini meliputi semua orang, barang, keadaan, dan kejadian yang ada disekitar manusia. (Muhibbin;2008).
Sedangkan belajar dapat diartikan sebagai perolehan perubahan tingkah laku yang relative menetap sebagai akibat dari latihan dan pengalaman. Jadi, psikologi belajar adalah segala sesuatu yang terkait antara pendidik dan peserta didik dalam hubungannya dengan pembelajaran.

2.    Karakteristik Perkembangan Anak Usia 8-9 Tahun.
a)    Perkembangan IQ
Usia 8-9 tahun merupakan usia dimana daya pikir mereka berkembang kearah konkrit, rasional dan obyektif. Daya ingatnya menjadi sangat kuat sehingga anak benar-benar dalam stadium belajar. Selain itu, pada masa ini perkembangan pemikiran mereka mulai kritis. Artinya pemahaman atau refleksi terhadap permasalahan secara mendalam dan perspektif yang berbeda, tidak mempercayai begitu saja informasi-informasi yang datang dari berbagai sumber (lisan atau tulisan), dan berpikir secara reflektif dan evaluative.(Desmita;2009). Selain itu anak mulai tertarik dengan apa saja yang dapat memberinya kesibukan dengan selukbeluknya yang cukup rumit, misalnya model-model pesawat terbang, dsb.
Mengingat tingkat kecerdasan intelektual setiap anak berbeda, maka guru harus memperhatikan hal ini dalam proses pembelajaran. Guru tidak bisa melakukan pembelajaran dengan cara menyamakan kemampuan peserta didik. Di TPQ KH. Ahmad Dahlan ini membagi menjadi tiga kelas, yaitu kelas ula untuk anak yang masih iqro’ jilid 1-2, kelas wustho yang sudah iqro’ 3-6, dan kelas ulya untuk yang sudah tingkat al-qur’an. Berdasarkan observasi yang kami lakukan pada tanggal 1 Mei 2011, kami mengamati tiga anak yang menjadi obyek penelitian kami yaitu Rizal (8 tahun), Hafiz (9 tahun) dan Dila (8 tahun), mereka memiliki tingkat kecerdasan yang berbeda. Dila yang sudah tingkat al-qur’an memiliki tingkat kecerdasan yang bisa dibilang kurang, dalam artian daya tangkap terhadap pelajaran yang diberikan lambat. Begitupun dengan Hafiz, karena sering tidak masuk dan sempat satu bulan berhenti maka dalam membaca iqro’ jilid 2 pun masih belum lancar dan setiap diberikan hafalan doa-doa sehari-hari dia sulit untuk menghafal dan lambat dalam menangkap materi yang disampaikan. Lain halnya dengan Rizal, dia bisa dibilang anak yang cerdas, setiap ada pelajaran baru atau hafalan baru dia cepat hafal dan lancer dalam membaca iqro’ jilid 4.
Dari sini dapat kita lihat bahwa pentingnya peran orang tua dan guru dalam mengembangkan potensi yang ada pada anak dan membimbingnya kearah yang positif.
b)    Perkembangan EQ.
Pada umumnya, anak pada usia 8-9 tahun anak lebih berminat untuk bergaul dengan anak-anak seusianya, keinginannya untuk mendapat bantuan dari orang lain untuk melakukan hal-hal yang tidak dapat dilakukan sendiri, menunjukkan persahabatan yang baik dengan orang dewasa maupun dengan anak-anak yang lain dan simpati pada orang lain dengan cara menolong, melindungi, menolong, atau mempertahankan orang dari hal-hal yang mengganggu.(Sutjihati;2007).
Berdasarkan observasi yang kami lakukan pada tanggal 1 Mei 2011, kami mengamati bahwa tiga anak yang menjadi obyek penelitian kami (Rizal, Hafiz, dan Dila) memiliki tingkat kecerdasan emosional yang tinggi, hal ini bisa dilihat saat sebelum pembelajaran belum dimulai, mereka bermain bersama teman-teman mereka, meminjamkan al-quran pada teman yang kebetulan tidak membawa, menolong temannya yang jatuh saat bermain, dan mengingatkan temannya yang membuat gaduh dan bertengkar.
c)    Perkembangan SQ.
Setiap anak memiliki kebutuhan dasar spiritual yang harus dipenuhi agar bisa membawa anak dalam keadaan yang tenteram, aman, damai dalam menjalani hidup. Jika kebutuhan itu tidak terpenuhi, maka bisa menyebabkan kecemasan dan kekososngan spiritual dalam diri anak. Kekososngan spiritual akan menyebabkan penyakit ketidakbermaknaan spiritual dalam diri anak. Dalam kondisi yang demikian, anak akan mudah terpengaruh dan terombang-ambing oleh pengaruh lingkungan sekitarnya karena si anak tidak punya benteng yang cukup, kehilangan pegangan hidup, kehilangan keimanan dan mudah untuk berputus asa.
Berikut ini beberapa cara untuk mengembangkan SQ pada anak :
1)    Bantulah anak untuk merumuskan misi hidupnya.
2)    Baca al-qur’an bersama-sama dan jelaskan maknanya dalam kehidupan kita, ceritakan kisah-kisah agung dari tokoh-tokoh spiritual.
3)    Libatkan anak dalam kegiatan spiritual.
4)    Bawa anak untuk menikmati keindahan alam.
5)    Ikut sertakan anak dalam kegiatan-kegiatan social.
Pada tiga anak yang menjadi obyek penelitian kami, mereka bisa dibilang mempunyai kecerdasan spiritual yang tinggi. Terbukti dengan mereka dengan senang mengikuti sholat Ashar berjamaah dan mengaji al-qur’an. Selain itu kami mewawancarai mereka, salah satunya Dila, tidak hanya waktu di TPQ saja dia sholat berjamaah dan mengaji al-qur’an, tapi dirumah dia juga membiasakan sholat berjamaah bersama orang tuanya dan mengaji bersama ibunya atau ayahnya.
3.    Kondisi obyektif anak dalam pembelajaran.
Di TPQ KH. Ahmad Dahlan dibagi menjadi tiga kelas, tiga anak yang menjadi obyek penelitian kami berada di kelas yang berbeda karena tingkat mengaji mereka juga berbeda. Dalam pembelajaran, anak-anak tersebut Rizal dan Dila tampak serius mengikuti materi yang disampaikan dan mengikuti apa yang dipraktekkan atau diajarkan oleh ustadzahnya. Lain halnya dengan Hafiz yang tidak bisa diam dalam proses pembelajaran dan apabila guru memberi pertanyaan dia jarang bisa menjawab.
4.    Teori Belajar.
Berdasarkan observasi dan wawancara yang kami lakukan pada tanggal 1-2 Mei 2011 kami menyimpulkan bahwa teori yang digunakan dalam pembelajaran al-qur’an di TPQ adalah teori behavioristik. Teori ini lebih menekankan pada hasil belajar anak, bukan pada proses belajarnya.
Menurut teori ini, perubahan tingkah laku sebagai akibat dari interaksi antara stimulus dengan respon. Dengan kata lain, perubahan yang dialami oleh anak dalam kemampuannya untuk bertingkahlaku dengan cara yang baru sebagai hasil interaksi antara stimulus dan respon.
Pada usia 8-9 tahun, anak akan terpengaruh dengan apa yang diajarkan oleh guru. Maksudnya disini adalah anak sebagai respon lebih cenderung mengikuti apa yang dicontohkan atau diajarkan oleh gurunya yang merupakan stimulusnya. Sebagai penguatan atau reinforcement, guru atau ustadzah biasanya memberikan penghargaan yaitu kartu yang bergambar wajah tersenyum atau kartu bintang bagi anak yang disiplin dan khusyuk dalam mengikuti pembelajaran agar anak merasa perlu untuk memberikan respon-respon berikutnya.
5.    Pendekatan Pembelajaran.
Pendekatan yang dipakai dalam pembelajaran al-qur’an pada anak usia8-9 tahun adalah behavioral approach (pendekatan perilaku). Teori belajar yang tampak adalah stimulus sebagai penggerak awal tindakan belajar yang mendekati salah satu titik-titik dalam garis kontinum antara kesukarelaan menuju kearah pemaksaan dalam belajar.
Pada pembelajaran al-qur’an di TPQ stimulus (ustadzah) memberi pelajaran dengan contoh-contoh bacaan-bacaan al-qur’an yang benar dan respon (peserta didik) harus menirukan bahkan menghafal apa yang dicontohkan oleh ustadzahnya.

III.    PENUTUP
Kesimpulan :
1)    Obyek.
Yang menjadi obyek penelitian kami adalah anak usia 8-9 tahun. Dalam hal ini yang menjadi obyek penelitian kami adalah Rizal (8 tahun), Hafiz (9 tahun), dan Dila (8 tahun). Dari hasil penelitian kami menunjukkan bahwa pembelajaran al-qur’an berpengaruh terhadap nilai religious mereka. Sebagai contoh pembelajaran al-qur’an tematik yang mereka terima dari TPQ mereka bisa menerapkan dalam kehidupan sehari-harinya.
2)    Teori Belajar Yang Dipakai.
Teori yang dipakai dalam pembelajaran al-qur’an untuk anak usia 8-9 tahun berdasarkan penelitian ini adalah teori behavioristik, yang mana teori ini lebih mementingkan hasil dari pada proses.

3)    Pendekatan Yang Dipakai.
Pendekatan yang dipakai oleh para guru dalam pembelajaran al-qur’an anak usia 8-9 tahun berdasarkan penelitian ini adalah behavioral approach (pendekatan perilaku). Dengan contoh cara membaca yang benar dan penjelasan arti dari al-quran yang dikaji dengan metode yang menarik anak akan lebih cepat menangkap dan merasa bahwa ada dorongan untuk menirunya.





DAFTAR PUSTAKA
Desmita, 2009, Psikologi Perkembangan, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung.
Anwar, Rosihon, Ulum Al-Quran (untuk UIN, STAIN, dan PTAIS), PT. Pustaka Setia.
Syah, Muhibbin, 2008, Psikologi Pendidikan Dengan Pendekatan Baru, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung.
http://dkm.paramadina.ac.id.religiusitas-spiritual-anak.
http://www.ibudanbalita.com.meningkatkan-spiritual-anak.

0 komentar:

Posting Komentar