PENDAHULUAN
1.
Latar Belakang
Kejatuhan
Bagdad Ketengan Hulaga Khan pada tahun 1258 M Membawa dampak yang negatif,
tidak saja pada tatanan sosial politik tetapi juga pada perkembangan
intelektual umat Muslim. Dari segi Sosial politik, dampak tersebut tercermin
pada hancurnya sistem Kekhalifahan yang menjadi simbol kesatuan umat Islam
sedunia, serta tampilnya suku mongol yang menggantikan bangsa Arab dan Persia
dalam megendalikan pemerintahan di wilayah dan bekas kekuasaan Islam.
Dibidang
Intelektual kemunduran yang telah terjadi sebelumnya, yakni pada saat kerajaan
Abbasiyah yang telah menghapus Mahzab Mu’tazillah yang sebenarnya banyak andil
dalam dalam mengembangkan ilmu
pengetahuan pada masa itu. Kedinamisan berfikir serta semangat peneliti semakin
hilang dan cahaya ilmu pengetahuan yang menyinari dunia Islam beberapa abad tersebut
hampir-hampir hilang[1].
Hasil yang dipeoleh dari kemunduran tersebut ialah Tertanamnya sikap Taklid
pada mahdzab Fiqh dan terjadinya penyimpangan Akidah dalam berbagai bentuk.
Taklid muncul ketika hasil-hasil
ijtihad para imam Mujtahid mulai dibukukan dan terbentuk sebgaai mahzab
Fiqh. Gejala tersebut semakin jelas
dengan terpusatnya kegiatan intelektual para ulama yang membuat Iktishar, syarh
dengan tidak menyimpang dari pendapat mujtahid yang diikuti. Periode berikutnya
tidak lagi mencerminkan adanya kegiatan intelektual tetapi hasil-hasil ijtihad
para mujtahid telah diterimah sebagai suatu kebenaran yang bersifat absolut dan
mutlak benar, kekal dan tidak boleh diubah atau tidak mempermasalahkan alasan
ataupun dalil yang mendasari sesuatu pendapat.
Mulailah umat Islam terperossok
kedalam sikap taklid yang kemudian diwariskan dari satu generasi kepada
generasi berikutnya. Setiap generasi
menambahkan ke dalam ijtihad ulama sebelumnya, yang justru bukan merupakan
hasil ijtihad sehingga umat Islam dari abad ke abad semakin jauh dari ajaran
Islam yang Murni.
Dengan berkembangnya taklid, Quran
dan Hadits tidak lagi dijadikan sebagai bahan rujukan dalam menjawab peristiwa yang terjadi dalam masyarakat. Pendapat imam
Mahzab lebih berperan sebagai bahan atau rujukan dalam menjawab peristiwa yang
terjadi dalam masyarakat. Lebih-lebih
karena kitab Fiqh menyajikan jawaban-jawaban dari berbagai masalah, dengan
demikian kekratifitasan akal menjadi terhenti dan kemunduran berfikir kian
merata di dunia Islam.
Kedua dampak dari mundurnya
intelktual ialah terjadinya berbagai penyimpangan akidah yang anatar lain
tumbuh melalui organisasi tarekat yang berkembang dalam dunia Islam[2].Tarekat
sebagai salah satu orde sufisme merupakan jalan masuknya unsur-unsur
kepercayaan di luar Islam, seperti animisme yang dibawah pengikut yang baru
bergabung dengan tarekat.
Keimanan yang tipis serta pengetahuan syariat yang tidak memadai
menyebabkan ritual yang ada pada tarekat bercampur antara ajaran syariat denga
ritus animistis yang mereka warisi dari kepercayaan lama yang mereka
tinggalkan. Sikap ini tumbuh menjadi pemujaan terhadap wali. Kuburan serta
benda-benda yang dianggap gaib oleh mereka[3].
Islampun terpecah dalam berbagai ragam ibadat dan pemujaan yang tidak hanya
dieksresikan melalui kata dan perbuatan, tetapi juga melalui benda-benda
tertentu.
Kepercayaan terhadap hal ghaibpun
semakin meluas dan sikap tergantungan kepada orang lain menimbulkan sikap pasif
dikalangan umat Islam. Dari sinilah timbul sikap Fatalistis yang diduga oleh
berbagai kalangan sebagai salah satu penyebab kemunduran yang terjadi di dunia
Islam.
Meskipun mulai abad ke 16 umat Islam
berhasil menbangun kembali kekuatan di bidang politik namun mereka tidak mampu
mengangkat kejatuhan di bidang intelektual. :Perkembangan ilmu pengetahuan dan
kekuatan politik yang tidak seimbang akhirnya menghancurkan kekuatan politik
yang ada dan menjadi salah satu penyebab jatuhnya kekuatan politik Islam ke
bawah pengaruh kultur Barat.
Seiring dengan penjarahan Barat ke
dunia Islam, masuklah kebudayaan Barat yang sekuler dan umat Islampun mulai
berkenalan dnegan kebudayaan Barat dan Hasil-hasil teknologi yang mereka
ciptakan. Kebudayaan yang baru tidak saja membawah pengaruh ke dalam bidang
politik tetapi juga ke dalam soal-soal keagamaan. Timbullah beberapa problema
baru yang menjadi tantangan di dunia Islam dan umat Islampun mulai
memepertanyakan sikap agama mereka dalam menghadapi tantangan yang demikian.
Jika sebelumnya umat Islam dihadapkan pada masalah kemunduran intelektual dan
sikap Fatalistis maka dengan munculnyakebudayaan Barat maka umat Islam dihadapkan lagi dnegan 2 hal
pokok yaitu pengaruh kebudayaan Barat disatu pihak dan kemunduran intelektua,l
srta sikap yang fatalistis di pihak lain.
Sadar akan tantangan yang
demikian di beberapa bagian dunia Islam tampil
beberapa tokoh dan Pemikir yang membawa seperangkat pemikiran, baik dalam
bentuk tulisan maupun melalui karya nyata sebagai jawaban terhadap tantangan
yang mereka hadapi. Mereka disebut kaum pembaharu yang kebangkitan mereka tidak
hanya untuk menentang pengaruh Barat tetapi juga dengan himbauan untuk kembali
pada dasar-dasar pokok Islam. Salah satunya yang muncul di Indonesia yaitu Kiai
H. Ahmad Dahlan (1869-1923) dengan mendirikan organisasi Muhammadiyah yang
didirikan pada tahun 1912 M.
Sebelum itu telah ada pula di Mesir
tokoh yang demikian yaitu Syeikh Muhammad Abduh yang membawah pemikiran
di berbagai bidang baik agama, sosial dan politik. Melihat hal tersebut ada
beberapa penulis yang berpendapat bahawa kehadiran Kiai H.Ahmad Dahlan berasal
dari pemikiran Muhammad Abduh. Pendapat tersebut anatar lain menyebutkan bahwa
“Kiai Ahmad Dahlan dengan organisasi Muhammadiyah adalah penyebar paham
Muhammad Abduh di kalangan Umat Islam[4]”.
Akan tetapi Mitsuo Nakamura[5]
berependapat lain, ia tidak menemukan adanya bukti yang nyata bahwa
Muhammadiyah sejak awal dibawah pengaruh pemikiran tokoh pembaharu di Mesir
tersebut. Pendapat diatas terang menimbulkan pertanyaan (Apakah ada persamaan
pemikiran Muhammad Abduh dan Muhammadiyah, sehingga dapat dikatakan bahwa
pemikiran Muhammadiyah dipengaruhi oleh Muhammad Abduh ataukah Pemikiran keduanya tidak ada persamaan.
Selain itu seperti apa pemikiran Muhammad Abduh? Maka Hadirlah makalah
sederhana ini untuk membahas pemikiran Muhammad Abduh dan seperti apa pula
pemikiran Muhammadiyah.
MUHAMMAD ABDUH DAN PEMIKIRANNYA
Ø
Riwayat Hidup Muhammad Abduh
Muhammad Abduh lahir disuatu desa di Mesir Hilir tahun
1849.Bapaknya bernama Abduh Hasan Khaerullah,berasal dari Turki yang telah lama
tinggal di Mesir. Ibunya dari bangsa Arab yang silsilahnya sampai Umar bin
Khatab. Mereka tinggal dan menetap di Mahallah Nasr. Muhammad Abduh dibesarkan
dilingkungan keluarga yang taat beragama dan mempunyai jiwa keagamaan yang
teguh dan cinta akan ilmu.
Muhammad Abduh mulai belajar membaca dan menulis serta menghapal Al
Qur an dari orang tuanya, kemudian setelah mahir membaca dan menulis diserahkan
kepada satu guru untuk dilatih menghapal Al Qur an. Ia dapat menghapal Al Quran
dalam masa dua tahun. Kemudian Ia dikirim ke Tanta untuk belajar agama di
Masjid Sekh Ahmad ditahun 1862, Ia belajar bahasa Arab, nahu, sarof, fiqih dan
sebagainya. Metode yang digunakan dalam pembelajaran itu tidak lain metode
hapalan diluar kepala, dengan metode ini Ia merasa tidak mengerti apa-apa
sehingga Ia tidak puas dan meninggalkan pelajarannya di Tanta.
Ketidak puasan dengan metode menghapal diluar kepala, Ia
meninggalkan pelajarannya dan kembali pulang kekampung halamannya dan berniat
akan bekerja sebagai petani. Dan pada tahun 1865, sewaktu masih berumur 16
tahun Iapun menikah. Setelah empat puluh hari menikah, Ia dipaksa orang tuanya
kembali ke Tanta untuk belajar, Iapun meninggalkan kampungnya tapi tidak pergi
ke Tanta, malah bersembunyi dirumah pamannya yang bernama Syekh Darwisy Khadr
seorang terpelajar pengikut tarikat Syadli dan merupakan alumni pendidikan
tasawuf di Libia dan Tripoli.
Syekh Darwisy kelihatannya tahu keengganan Muhammad Abduh untuk
belajar, kemudian ia selalu membujuk pemuda itu untuk bersama-sama membaca buku,
namun setiap kali dibujuk Muhammad Abduh tetap menolaknya. Berkat kegigihan
Syekh Darwisy akhirnya Muhammad Abduh mau membacanya dan setiap Ia membaca
beberapa baris Syekh Darwisy memberi penjelasan luas tentang arti yang dimaksud
oleh kalimat itu. Setelah beberapa kali membaca Muhammad Abduhpun berubah
sikapnya terhadap buku dan ilmu pengetahuan.
Setelah itu Ia mengerti apa yang dibacanya dan ingin mengerti dan
tahu lebih banyak. Akhirnya Iapun pergi ke Tanta untuk meneruskan pelajarannya.
Setelah selesai belajar di Tanta, Ia meneruskan studinya di Al-Azhar pada tahun
1866.
Sewaktu belajar di Al-Azhar inilah Muhammad Abduh bertemu dengan
Jamaludin Al-Afgani, ketika ia datang ke Mesir dalam perjalanan ke Istambul. Dalam
perjumpaan ini Al-Afgani memberikan beberapa pertanyaan kepada Muhammad Abduh
dan kawan-kawan mengenai arti dan maksud beberapa ayat Al-Qur’an. Kemudian ia
memberikan tafsirannya sendiri. Perjumpaan ini memberikan kesan yang baik
didalam diri Muhammad Abduh.
Dan ketika Jamaludin Al-Afgani
datang pada tahun 1871,untuk menetap di Mesir, Muhammad Abduh menjadi murid
yang paling setia. Ia belajar filsafat dibawah bimbingan Al-Afgani. Dimasa ini
Ia mulai munulis di harian Al-Akhram yang pada waktu itu baru saja terbit. Pada
tahun 1877 studinya selesai di Al-Azhar dengan mendapat gelar ‘Alim. Ia
kemudian mengajar di almamaternya yaitu Al-Azhar, Darul Ulum dan dirumahnya
sendiri, Ia mengajarkan buku akhlak karangan Ibnu Maskawaih, Muqaddimah Ibnu Khaldun
dan Sejarah kebudayaan Eropa karangan guizot dan lain-lain. Dari sinilah Ia
mengadakan pembaharuan-pembaharuan khususnya dibidang pendidikan Islam.
Ø
Latar Belakang Pemikiran Muhammad Abduh
1.
Faktor Sosial
Dari
hal faktor sosial yaitu sikap hidup yang dibentuk oleh keluarga dan gurunya
terutama Syeikh Darwisy dan Sayyid Jamaludin Al-Afgani. Disamping itu
lingkungan sekolah di Thanta dan Mesir tempat ia menemukan sistem pendidikan
yang tidak efektif serta pandangan keagamaan yang statis dan pikiran-pikiran
yang fatalistis.
2.
Faktor Pendidikan
Melalui faktor
ini yakni ilmu pengetahuan yang diperolehnya selama belajar di sekolah-sekolah
formal dan beberpa hal-hal baru yang ia pelajari dari dunia Barat.
3.
Faktor Politik
Bersumber
dari situasi politik di masanya, yakni pada saat kezaliman yang dilakukan oleh
pegawai dimasa perintahan Muhammad Ali samapai kepada gejolak-gejolak politik
lainnya pada pemerintahan di mesir yang disebabkan oleh pemerintahan yang
absolut dan campur tangan asing di negeri Mesir.
1)
Pemikiran dalam Hal “TEOLOGI (ilmu Tauhid)”
A.
Pembuatan Manusia
Manusia
adalah makhluk yang bebas dalam memilih perbuatanya. Menurutnya ada tiga unsur
yang mendukung suatu perbuatan yaitu akal, kemauan dan daya. Ketiganya
merupakan ciptaan Tuhan yang dapat dipergunakan dengan bebas[6].
Kebebasan yang dimaksud disini bukanlah kebebasan tanpa batas atau kebebesan
yang bersifat absolut. Muhammad Abduh Membatasinya dengan memberikan dua contoh
yang menggambarkan dua hal yakni ketidakmampuan manusia meramalkan semua yang
akan terjadi.
Perbuatan
tidak diciptakan Tuhan dalam diri manusia tetapi manusia sendirilah yang
mewujudkan perbuatanya dengan daya dan berbagai potensi yang diciptkan Tuhan
dalam dirinya. Muhammad Abduh merupakan penganut paham Qodariat yang menyakini
kehendak dan kekuasaan Tuhan yang terbatas, kebebasan manusia dalam memilih dan
mewujudkan perbuatanya dan memberikan daya yang relatif besar pada akal untuk
memahami masalah ke Tuhanan.
B.
Qada dan Qadar
Keyakinan
terhadap kada dan kadar yang menyimpang telah membawa kehancuran dalam sejarah umat Islam. Munculnya
pernyataan Beliau ini dilatar belakangi oleh akidah yang umumnya dianut oleh
umat Islam saat itu. Menurut Muhammad Abduh Manusia dapat melakukan pilihan secara bebas
dan apapun perbuatan yang dipilih dan dilakukan manusia, Tuhan telah lebih
dahulu tahu atau duluan mengetahuinya, sehingga peran Tuhan dalam hal ini
adalah berpengetahuan dan peran tersebut tidak menjadi penghalang bagi
kebebasan manusia dalam memilih perbuatannya. Dalam hal ini orang yang menjadi
kafir adalah hasil dari usaha berfikirnya yang mendalam tidak ada ‘inayat
ataupun campur tangan bahwa itu kehendak Allah.
2)
Pemikiran dalam Hal “SYARIAH”
Pada
hal syariah difokuskan pada dua hal yaitu pandangan Muhammad Abduh tentang Ijtihad
dan Madzab Fiqh serta corak ijtihadnya. Sikap umat Muslim yang harus dilakukan
ketika melihat keadaan yang mengalami perbedaan pendapat ialah kembali pada
Al-Quran dan Al-Hadits. Selain itu Muhammad Abduh menganggap pintu ijtihad
tidak mungkin ditutup tetapi harus dibuka untuk selamanya.
3)
Pemikiran dalam Hal “PENDIDIKAN”
Pembaharuan dalam bidang pendidikan yang juga menjadi prioritas utama
Muhamad Ali, berorientasi pada pendidikan barat. Ia mendirikan berbagai macam
sekolah yang meniru sistem pendidikan dan pengajaran barat, dari pembaharuan
dalam bidang pendidikan tersebut mewariskan dua tipe pendidikan pada abad ke
20. Tipe pertama sekolah tradisional. Tipe kedua, sekolah-sekolah modern yang
didirikan oleh pemerintah mesir oleh para misionaris asing. Kedua tipe lembaga
pendidikan tidak mempunyai hubungan sama sekali masing-masing berdiri
sendiri.
Adanya dua tipe pendidikan tersebut juga berdampak kepada munculnya dua
kelas sosial dengan motivasi yang berbeda. Tipe yang pertama melahirkn para
ulama dam tokoh masyarakat yang mempertahankan tardisi, sedangkan tipe sekolah
kedua melahirkan kelas elit generasi muda yang mendewakan dan menerima
perkembangan dari barat tanpa melakukan filterisasi.
Muhamad Abduh malihat terdapat segi-segi negatif dari kedua bentuk
pemikiran seehingga ia mengkritik kedua corak lembaga ini. Oleh karena itu ia
memandang bahwa jika pola fikir yang pertama tetap di pertahankan maka akan
mengakibatkan umat Islam tertinggal jauh dan semakin terdesak oleh arus
kehidupan modern. semetara pola fikir yang kedua, Muhamad Abduh melihat bahwa
pemikiran modern yang mereka serap dari barat tampa nilai “religius” merupakan
bahaya ynag mengancam sendi agama dan moral.
Dari sinilah Muhamad Abduh melihat perlunya mengadakan perbaikan terhadap
kedua institusi itu sehingga dua pola pandidikan tersebut dan saling menopang
demi untuk mencapai suatu kemajuan serta upaya untuk mempersempit jurang
pemisah antara dua lembaga pendidikan yang kelak akan melahirkan para generasi
penerus.
Ø
Urgensi Ekualisasi Dalam
Pendidikan
Salah satu proyek terbesar Muhamad Abduh dalam gerakannya sebagai seorang
tokoh pembaharu sepanjang hayatnya adalah pembaharuan dalam bidang pendidikan,
dualisme pendidikan yang muncul dengan adanya institusi yang berbeda sehigga
menjadi motivasi bagi Muhamad Abduh untuk berusaha keras dua pola pikir
tersebut.
Langkah yang di tempuh Muhamad Abduh untuk meminimalisir kesenjangan
dualisme pendidikan adalah uapaya menselaraskan, menyeimbangkan antara porsi
pelajaran agama dengan pelajaran umum. Hal ini di lakukan untuk memasukan
ilmu-ilmu umum kedalam kurikulum sekolah agama dan memasukan pendidikan agama
kedalam kurikulum modern yang didirikan pemerintah sebagai sarana untuk
mendidik tenaga-tenaga administrasi, militer, kesehatan, perindustrian. Atas
usaha Muhamad Abduh tersebut maka didirikan suatu lembaga yakni “majlis
pendidikan tinggi”.
Untuk mengejar ketertinggalan dan memperkecil dualisme pandidikan Muhamad
Abduh mempunyai beberapa langkah untuk memberdayakan sistem Islam antara lain
yaitu:
1. Rekonstruksi Tujuan Pendidikan Islam
Untuk memberdayakan sistem pendidkan Islam, Muhamad Abduh menetapkan
tujuan, pendididkan islal yang di rumuskan sendiri yakni: Mendidik jiwa dan
akal serta menyampaikannya kepada batas-batas kemungkinan seseorang dapat
mencapai kebahagian hidup di dunia dan akhirat.
Pendidikan akal ditujuka sebagai alat untuk menanamkan kebiasaan berpikir
dan dapat membedakan antara yang baik dan yang buruk. Dengan menanamkan
kebiasaan berpikir, Muhamad Abduh berharap kebekuan intelektual yang melanda
kaum muslimin saat itu dapat dicairkan dan dengan pendidikan spiritual
diharapkan dapat melahirkan generasi yang tidak hanya mampu berpikir kritis,
juga memiliki akhlak mulia dan jiwa yang bersih.
Dalam karya teologisnya yang monumental Muhamad Abduh menselaraskan antara
akal dan agama. Beliau berpandangan bahwa al-Qur’an yang diturunkan dengan
pelantara lisan nabi di utus oleh tuhan. Oleh karena itu sudah merupakan
ketetapan di kalangan kaum muslimin kecuali orang yang tidak percaya terhadap
akal kecuali bahwa sebagian dari ketentuan agama tidak mungkin dapat meyakini
kecuali dengan akal.
2. Menggagas Kurikulum Pendidikan
Islam Yang Integral
Sistem pendidikan yang di perjuangkan oleh Muhamad Abduh adalah sistem
pendidikan fungsional yang bukan impor yang mencakup pendidikan universal bagi
semua anak, laki-laki maupun perempuan. Semua harus memiliki kemampuan dasar
seperti membaca, manulis, dan menghitung. disamping itu, semua harus
mendapatkan pendidikan agama.
Bagi sekolah menengah, diberikan mata pelajaran syari’at, kemiliteran,
kedokteran, serta pelajaran tentang ilmu pemerintah bagi siswa yang berminat
terjun dan bekerja di pemerintahan. Kurikulum harus meliputi antara lain, buku
pengantar pengetahuan, seni logika, prinsip penalaran dan tata cara berdebat.
Untuk pendidikan yang lebih tinggi yaitu untuk orientasi guru dan kepala
sekolah, maka ia mengggunakan kurikulum yang lebih lengkap yang mencakup antara
lain tafsir al-quran, ilmu bahasa, ilmu hadis, studi moralitas, prinsif-prinsif
fiqh, histogarfi, seni berbicara.
Kurikulum tersebut di atas merupakan gambaran umum dari kurikulum yang di
berikan pada setiap jenjang pendidikan. Dari beberapa kurikulum yang dicetuskan
Muhamad Abduh, ia menghendaki bahwa dengan kurikulum tersebut diharapkan akan
melahirkan beberapa kelompok masyarakat seperti kelompok awam dan kelompok
masyarakat golongan pejabat pemerintah dan militer serta kelompok masyarakat
golongan pendidik. Dengan kurikulum yang demikian Muhamad Abduh mencoba menghilangkan
jarak dualisme dalam pendidikan.
Adapun usaha Muhamad Abduh menggajukan Universitas Al-Azhar antara lain:
· Memasukan ilmu-ilmu modern yang berkembang di eropa kedalam al-azhar.
· Mengubah sistgem pendidikan dari mulai mempelajari ilmu dengan sistem hafalan
menjadi sistem pemahaman dan penalaran.
· Menghidupkan metode munazaroh (discution) sebelum mengarah ke taqlid
·
Membuat peraturan-peraturan
tentang pembelajaran seperti larangan membaca hasyiyah (komentar-komentar) dan
syarh (penjelasan panjang lebar tentang teks pembelajaran) kepada mahasiswa
untuk empat tahun pertama.
·
Masa belajar di perpanjang dan
memperpendek masa liburan.
Dari beberapa usaha yang dilakukan oleh Muhamad Abduh, meskipun belum
sempat ia aplikasikan sepenuhnya secara temporal. Telah memberikan pengaruh
positif terhadap lembaga pendididkan Islam.
DAFTAR
PUSTAKA
·
Nurcholish
Madjid, Khazanah Intelektual Islam (Jakarta : Bulan Bintang, 1984)
·
Arbiyah
Lubis, Pemikiran Muhammadiyah dan Muhammad Abduh (Bulan Bintang, 1993)
·
Hamkah
(Haji Abdul Malik Karim Amarullah), Pengaruh
Muhammad Abduh di Indonesia (Jakarta : Tintamas, 1961)
·
Muhammad
Abduh, Risalat At-Tauhid (Terjemahan_Ali
Shubain, 1965)
·
http://alhafizh84.wordpress.com/2012/05/17/pemikiran-pendidikan-islam-menurut-muhammad-abduh/ (Diakses tanggal 22 November 2012)
[1] Nurcholish Madjid, Khazanah
Intelektual Islam (Jakarta : Bulan Bintang, 1984), hlm. 21
[2] Ibid, hlm.89
[3] Lubis.Arbiyah, Pemikiran Muhammadiyah dan Muhammad Abduh (Bulan
Bintang, 1993), hlm.5
[4] Hamkah (Haji Abdul Malik Karim Amarullah), Pengaruh Muhammad Abduh
di Indonesia (Jakarta : Tintamas, 1961), hlm. 17
[5] Merupakan Profesor H.Kahar yang memeliti tentang organisasi Islam di
Indonesia terutama Muhammadiyah, salah satu penelitiannya ialah “The Crescent
Arises Over Banyan Tree
[6] Muhammad Abduh, Risalat At-Tauhid (Terjemahan_Ali Shubain, 1965), hlm. 65
0 comments:
Posting Komentar