Jumat, 15 Maret 2013

Posted by Rumah Ratu On Jumat, Maret 15, 2013

PENDAHULUAN

1.        Latar Belakang
Kejatuhan Bagdad Ketengan Hulaga Khan pada tahun 1258 M Membawa dampak yang negatif, tidak saja pada tatanan sosial politik tetapi juga pada perkembangan intelektual umat Muslim. Dari segi Sosial politik, dampak tersebut tercermin pada hancurnya sistem Kekhalifahan yang menjadi simbol kesatuan umat Islam sedunia, serta tampilnya suku mongol yang menggantikan bangsa Arab dan Persia dalam megendalikan pemerintahan di wilayah dan bekas kekuasaan Islam.

Dibidang Intelektual kemunduran yang telah terjadi sebelumnya, yakni pada saat kerajaan Abbasiyah yang telah menghapus Mahzab Mu’tazillah yang sebenarnya banyak andil dalam  dalam mengembangkan ilmu pengetahuan pada masa itu. Kedinamisan berfikir serta semangat peneliti semakin hilang dan cahaya ilmu pengetahuan yang menyinari  dunia Islam beberapa abad tersebut hampir-hampir hilang[1]. Hasil yang dipeoleh dari kemunduran tersebut ialah Tertanamnya sikap Taklid pada mahdzab Fiqh dan terjadinya penyimpangan Akidah dalam berbagai bentuk.
Taklid muncul ketika hasil-hasil ijtihad para imam Mujtahid mulai dibukukan dan terbentuk sebgaai mahzab Fiqh.  Gejala tersebut semakin jelas dengan terpusatnya kegiatan intelektual para ulama yang membuat Iktishar, syarh dengan tidak menyimpang dari pendapat mujtahid yang diikuti. Periode berikutnya tidak lagi mencerminkan adanya kegiatan intelektual tetapi hasil-hasil ijtihad para mujtahid telah diterimah sebagai suatu kebenaran yang bersifat absolut dan mutlak benar, kekal dan tidak boleh diubah atau tidak mempermasalahkan alasan ataupun dalil yang mendasari sesuatu pendapat.
Mulailah umat Islam terperossok kedalam sikap taklid yang kemudian diwariskan dari satu generasi kepada generasi  berikutnya. Setiap generasi menambahkan ke dalam ijtihad ulama sebelumnya, yang justru bukan merupakan hasil ijtihad sehingga umat Islam dari abad ke abad semakin jauh dari ajaran Islam yang Murni.
Dengan berkembangnya taklid, Quran dan Hadits tidak lagi dijadikan sebagai bahan rujukan  dalam menjawab peristiwa  yang terjadi dalam masyarakat. Pendapat imam Mahzab lebih berperan sebagai bahan atau rujukan dalam menjawab peristiwa yang terjadi  dalam masyarakat. Lebih-lebih karena kitab Fiqh menyajikan jawaban-jawaban dari berbagai masalah, dengan demikian kekratifitasan akal menjadi terhenti dan kemunduran berfikir kian merata di dunia Islam.
Kedua dampak dari mundurnya intelktual ialah terjadinya berbagai penyimpangan akidah yang anatar lain tumbuh melalui organisasi tarekat yang berkembang dalam dunia Islam[2].Tarekat sebagai salah satu orde sufisme merupakan jalan masuknya unsur-unsur kepercayaan di luar Islam, seperti animisme yang dibawah pengikut yang baru bergabung dengan tarekat.
Keimanan yang tipis  serta pengetahuan syariat yang tidak memadai menyebabkan ritual yang ada pada tarekat bercampur antara ajaran syariat denga ritus animistis yang mereka warisi dari kepercayaan lama yang mereka tinggalkan. Sikap ini tumbuh menjadi pemujaan terhadap wali. Kuburan serta benda-benda yang dianggap gaib oleh mereka[3]. Islampun terpecah dalam berbagai ragam ibadat dan pemujaan yang tidak hanya dieksresikan melalui kata dan perbuatan, tetapi juga melalui benda-benda tertentu.
Kepercayaan terhadap hal ghaibpun semakin meluas dan sikap tergantungan kepada orang lain menimbulkan sikap pasif dikalangan umat Islam. Dari sinilah timbul sikap Fatalistis yang diduga oleh berbagai kalangan sebagai salah satu penyebab kemunduran yang terjadi di dunia Islam.
Meskipun mulai abad ke 16 umat Islam berhasil menbangun kembali kekuatan di bidang politik namun mereka tidak mampu mengangkat kejatuhan di bidang intelektual. :Perkembangan ilmu pengetahuan dan kekuatan politik yang tidak seimbang akhirnya menghancurkan kekuatan politik yang ada dan menjadi salah satu penyebab jatuhnya kekuatan politik Islam ke bawah pengaruh kultur Barat.
Seiring dengan penjarahan Barat ke dunia Islam, masuklah kebudayaan Barat yang sekuler dan umat Islampun mulai berkenalan dnegan kebudayaan Barat dan Hasil-hasil teknologi yang mereka ciptakan. Kebudayaan yang baru tidak saja membawah pengaruh ke dalam bidang politik tetapi juga ke dalam soal-soal keagamaan. Timbullah beberapa problema baru yang menjadi tantangan di dunia Islam dan umat Islampun mulai memepertanyakan sikap agama mereka dalam menghadapi tantangan yang demikian. Jika sebelumnya umat Islam dihadapkan pada masalah kemunduran intelektual dan sikap Fatalistis maka dengan munculnyakebudayaan Barat  maka umat Islam dihadapkan lagi dnegan 2 hal pokok yaitu pengaruh kebudayaan Barat disatu pihak dan kemunduran intelektua,l srta sikap yang fatalistis di pihak lain.
Sadar akan tantangan yang demikian  di beberapa bagian dunia Islam tampil beberapa tokoh dan Pemikir yang membawa seperangkat pemikiran, baik dalam bentuk tulisan maupun melalui karya nyata sebagai jawaban terhadap tantangan yang mereka hadapi. Mereka disebut kaum pembaharu yang kebangkitan mereka tidak hanya untuk menentang pengaruh Barat tetapi juga dengan himbauan untuk kembali pada dasar-dasar pokok Islam. Salah satunya yang muncul di Indonesia yaitu Kiai H. Ahmad Dahlan (1869-1923) dengan mendirikan organisasi Muhammadiyah yang didirikan pada tahun 1912 M.
Sebelum itu telah ada pula di Mesir tokoh yang demikian yaitu Syeikh Muhammad Abduh yang membawah pemikiran di berbagai bidang baik agama, sosial dan politik. Melihat hal tersebut ada beberapa penulis yang berpendapat bahawa kehadiran Kiai H.Ahmad Dahlan berasal dari pemikiran Muhammad Abduh. Pendapat tersebut anatar lain menyebutkan bahwa “Kiai Ahmad Dahlan dengan organisasi Muhammadiyah adalah penyebar paham Muhammad Abduh di kalangan Umat Islam[4]”. Akan tetapi Mitsuo Nakamura[5] berependapat lain, ia tidak menemukan adanya bukti yang nyata bahwa Muhammadiyah sejak awal dibawah pengaruh pemikiran tokoh pembaharu di Mesir tersebut. Pendapat diatas terang menimbulkan pertanyaan (Apakah ada persamaan pemikiran Muhammad Abduh dan Muhammadiyah, sehingga dapat dikatakan bahwa pemikiran Muhammadiyah dipengaruhi oleh Muhammad Abduh ataukah  Pemikiran keduanya tidak ada persamaan. Selain itu seperti apa pemikiran Muhammad Abduh? Maka Hadirlah makalah sederhana ini untuk membahas pemikiran Muhammad Abduh dan seperti apa pula pemikiran Muhammadiyah.



MUHAMMAD ABDUH  DAN PEMIKIRANNYA

Ø  Riwayat  Hidup Muhammad Abduh
Muhammad Abduh lahir disuatu desa di Mesir Hilir tahun 1849.Bapaknya bernama Abduh Hasan Khaerullah,berasal dari Turki yang telah lama tinggal di Mesir. Ibunya dari bangsa Arab yang silsilahnya sampai Umar bin Khatab. Mereka tinggal dan menetap di Mahallah Nasr. Muhammad Abduh dibesarkan dilingkungan keluarga yang taat beragama dan mempunyai jiwa keagamaan yang teguh dan cinta akan ilmu.
Muhammad Abduh mulai belajar membaca dan menulis serta menghapal Al Qur an dari orang tuanya, kemudian setelah mahir membaca dan menulis diserahkan kepada satu guru untuk dilatih menghapal Al Qur an. Ia dapat menghapal Al Quran dalam masa dua tahun. Kemudian Ia dikirim ke Tanta untuk belajar agama di Masjid Sekh Ahmad ditahun 1862, Ia belajar bahasa Arab, nahu, sarof, fiqih dan sebagainya. Metode yang digunakan dalam pembelajaran itu tidak lain metode hapalan diluar kepala, dengan metode ini Ia merasa tidak mengerti apa-apa sehingga Ia tidak puas dan meninggalkan pelajarannya di Tanta.
Ketidak puasan dengan metode menghapal diluar kepala, Ia meninggalkan pelajarannya dan kembali pulang kekampung halamannya dan berniat akan bekerja sebagai petani. Dan pada tahun 1865, sewaktu masih berumur 16 tahun Iapun menikah. Setelah empat puluh hari menikah, Ia dipaksa orang tuanya kembali ke Tanta untuk belajar, Iapun meninggalkan kampungnya tapi tidak pergi ke Tanta, malah bersembunyi dirumah pamannya yang bernama Syekh Darwisy Khadr seorang terpelajar pengikut tarikat Syadli dan merupakan alumni pendidikan tasawuf di Libia dan Tripoli.
Syekh Darwisy kelihatannya tahu keengganan Muhammad Abduh untuk belajar, kemudian ia selalu membujuk pemuda itu untuk bersama-sama membaca buku, namun setiap kali dibujuk Muhammad Abduh tetap menolaknya. Berkat kegigihan Syekh Darwisy akhirnya Muhammad Abduh mau membacanya dan setiap Ia membaca beberapa baris Syekh Darwisy memberi penjelasan luas tentang arti yang dimaksud oleh kalimat itu. Setelah beberapa kali membaca Muhammad Abduhpun berubah sikapnya terhadap buku dan ilmu pengetahuan.
Setelah itu Ia mengerti apa yang dibacanya dan ingin mengerti dan tahu lebih banyak. Akhirnya Iapun pergi ke Tanta untuk meneruskan pelajarannya. Setelah selesai belajar di Tanta, Ia meneruskan studinya di Al-Azhar pada tahun 1866.
Sewaktu belajar di Al-Azhar inilah Muhammad Abduh bertemu dengan Jamaludin Al-Afgani, ketika ia datang ke Mesir dalam perjalanan ke Istambul. Dalam perjumpaan ini Al-Afgani memberikan beberapa pertanyaan kepada Muhammad Abduh dan kawan-kawan mengenai arti dan maksud beberapa ayat Al-Qur’an. Kemudian ia memberikan tafsirannya sendiri. Perjumpaan ini memberikan kesan yang baik didalam diri Muhammad Abduh.
Dan ketika Jamaludin Al-Afgani datang pada tahun 1871,untuk menetap di Mesir, Muhammad Abduh menjadi murid yang paling setia. Ia belajar filsafat dibawah bimbingan Al-Afgani. Dimasa ini Ia mulai munulis di harian Al-Akhram yang pada waktu itu baru saja terbit. Pada tahun 1877 studinya selesai di Al-Azhar dengan mendapat gelar ‘Alim. Ia kemudian mengajar di almamaternya yaitu Al-Azhar, Darul Ulum dan dirumahnya sendiri, Ia mengajarkan buku akhlak karangan Ibnu Maskawaih, Muqaddimah Ibnu Khaldun dan Sejarah kebudayaan Eropa karangan guizot dan lain-lain. Dari sinilah Ia mengadakan pembaharuan-pembaharuan khususnya dibidang pendidikan Islam.

Ø  Latar Belakang Pemikiran Muhammad Abduh
1.      Faktor Sosial
Dari hal faktor sosial yaitu sikap hidup yang dibentuk oleh keluarga dan gurunya terutama Syeikh Darwisy dan Sayyid Jamaludin Al-Afgani. Disamping itu lingkungan sekolah di Thanta dan Mesir tempat ia menemukan sistem pendidikan yang tidak efektif serta pandangan keagamaan yang statis dan pikiran-pikiran yang fatalistis.
2.      Faktor Pendidikan
Melalui faktor ini yakni ilmu pengetahuan yang diperolehnya selama belajar di sekolah-sekolah formal dan beberpa hal-hal baru yang ia pelajari dari dunia Barat.
3.      Faktor  Politik
Bersumber dari situasi politik di masanya, yakni pada saat kezaliman yang dilakukan oleh pegawai dimasa perintahan Muhammad Ali samapai kepada gejolak-gejolak politik lainnya pada pemerintahan di mesir yang disebabkan oleh pemerintahan yang absolut dan campur tangan asing di negeri Mesir.

1)      Pemikiran dalam Hal “TEOLOGI (ilmu Tauhid)”
A.    Pembuatan Manusia
Manusia adalah makhluk yang bebas dalam memilih perbuatanya. Menurutnya ada tiga unsur yang mendukung suatu perbuatan yaitu akal, kemauan dan daya. Ketiganya merupakan ciptaan Tuhan yang dapat dipergunakan dengan bebas[6]. Kebebasan yang dimaksud disini bukanlah kebebasan tanpa batas atau kebebesan yang bersifat absolut. Muhammad Abduh Membatasinya dengan memberikan dua contoh yang menggambarkan dua hal yakni ketidakmampuan manusia meramalkan semua yang akan terjadi.
Perbuatan tidak diciptakan Tuhan dalam diri manusia tetapi manusia sendirilah yang mewujudkan perbuatanya dengan daya dan berbagai potensi yang diciptkan Tuhan dalam dirinya. Muhammad Abduh merupakan penganut paham Qodariat yang menyakini kehendak dan kekuasaan Tuhan yang terbatas, kebebasan manusia dalam memilih dan mewujudkan perbuatanya dan memberikan daya yang relatif besar pada akal untuk memahami masalah ke Tuhanan.
B.     Qada dan Qadar
Keyakinan terhadap kada dan kadar yang menyimpang telah membawa kehancuran  dalam sejarah umat Islam. Munculnya pernyataan Beliau ini dilatar belakangi oleh akidah yang umumnya dianut oleh umat Islam saat itu. Menurut Muhammad Abduh  Manusia dapat melakukan pilihan secara bebas dan apapun perbuatan yang dipilih dan dilakukan manusia, Tuhan telah lebih dahulu tahu atau duluan mengetahuinya, sehingga peran Tuhan dalam hal ini adalah berpengetahuan dan peran tersebut tidak menjadi penghalang bagi kebebasan manusia dalam memilih perbuatannya. Dalam hal ini orang yang menjadi kafir adalah hasil dari usaha berfikirnya yang mendalam tidak ada ‘inayat ataupun campur tangan bahwa itu kehendak Allah.
2)      Pemikiran dalam Hal “SYARIAH”
Pada hal syariah difokuskan pada dua hal yaitu pandangan Muhammad Abduh tentang Ijtihad dan Madzab Fiqh serta corak ijtihadnya. Sikap umat Muslim yang harus dilakukan ketika melihat keadaan yang mengalami perbedaan pendapat ialah kembali pada Al-Quran dan Al-Hadits. Selain itu Muhammad Abduh menganggap pintu ijtihad tidak mungkin ditutup tetapi harus dibuka untuk selamanya.

3)      Pemikiran dalam Hal “PENDIDIKAN”
Pembaharuan dalam bidang pendidikan yang juga menjadi prioritas utama Muhamad Ali, berorientasi pada pendidikan barat. Ia mendirikan berbagai macam sekolah yang meniru sistem pendidikan dan pengajaran barat, dari pembaharuan dalam bidang pendidikan tersebut mewariskan dua tipe pendidikan pada abad ke 20. Tipe pertama sekolah tradisional. Tipe kedua, sekolah-sekolah modern yang didirikan oleh pemerintah mesir oleh para misionaris asing. Kedua tipe lembaga pendidikan tidak mempunyai hubungan sama sekali masing-masing berdiri sendiri. 
Adanya dua tipe pendidikan tersebut juga berdampak kepada munculnya dua kelas sosial dengan motivasi yang berbeda. Tipe yang pertama melahirkn para ulama dam tokoh masyarakat yang mempertahankan tardisi, sedangkan tipe sekolah kedua melahirkan kelas elit generasi muda yang mendewakan dan menerima perkembangan dari barat tanpa melakukan filterisasi.
Muhamad Abduh malihat terdapat segi-segi negatif dari kedua bentuk pemikiran seehingga ia mengkritik kedua corak lembaga ini. Oleh karena itu ia memandang bahwa jika pola fikir yang pertama tetap di pertahankan maka akan mengakibatkan umat Islam tertinggal jauh dan semakin terdesak oleh arus kehidupan modern. semetara pola fikir yang kedua, Muhamad Abduh melihat bahwa pemikiran modern yang mereka serap dari barat tampa nilai “religius” merupakan bahaya ynag mengancam sendi agama dan moral. 
Dari sinilah Muhamad Abduh melihat perlunya mengadakan perbaikan terhadap kedua institusi itu sehingga dua pola pandidikan tersebut dan saling menopang demi untuk mencapai suatu kemajuan serta upaya untuk mempersempit jurang pemisah antara dua lembaga pendidikan yang kelak akan melahirkan para generasi penerus.




Ø  Urgensi Ekualisasi Dalam Pendidikan 

Salah satu proyek terbesar Muhamad Abduh dalam gerakannya sebagai seorang tokoh pembaharu sepanjang hayatnya adalah pembaharuan dalam bidang pendidikan, dualisme pendidikan yang muncul dengan adanya institusi yang berbeda sehigga menjadi motivasi bagi Muhamad Abduh untuk berusaha keras dua pola pikir tersebut. 
Langkah yang di tempuh Muhamad Abduh untuk meminimalisir kesenjangan dualisme pendidikan adalah uapaya menselaraskan, menyeimbangkan antara porsi pelajaran agama dengan pelajaran umum. Hal ini di lakukan untuk memasukan ilmu-ilmu umum kedalam kurikulum sekolah agama dan memasukan pendidikan agama kedalam kurikulum modern yang didirikan pemerintah sebagai sarana untuk mendidik tenaga-tenaga administrasi, militer, kesehatan, perindustrian. Atas usaha Muhamad Abduh tersebut maka didirikan suatu lembaga yakni “majlis pendidikan tinggi”.
Untuk mengejar ketertinggalan dan memperkecil dualisme pandidikan Muhamad Abduh mempunyai beberapa langkah untuk memberdayakan sistem Islam antara lain yaitu:
1. Rekonstruksi Tujuan Pendidikan Islam
Untuk memberdayakan sistem pendidkan Islam, Muhamad Abduh menetapkan tujuan, pendididkan islal yang di rumuskan sendiri yakni: Mendidik jiwa dan akal serta menyampaikannya kepada batas-batas kemungkinan seseorang dapat mencapai kebahagian hidup di dunia dan akhirat.
Pendidikan akal ditujuka sebagai alat untuk menanamkan kebiasaan berpikir dan dapat membedakan antara yang baik dan yang buruk. Dengan menanamkan kebiasaan berpikir, Muhamad Abduh berharap kebekuan intelektual yang melanda kaum muslimin saat itu dapat dicairkan dan dengan pendidikan spiritual diharapkan dapat melahirkan generasi yang tidak hanya mampu berpikir kritis, juga memiliki akhlak mulia dan jiwa yang bersih.
Dalam karya teologisnya yang monumental Muhamad Abduh menselaraskan antara akal dan agama. Beliau berpandangan bahwa al-Qur’an yang diturunkan dengan pelantara lisan nabi di utus oleh tuhan. Oleh karena itu sudah merupakan ketetapan di kalangan kaum muslimin kecuali orang yang tidak percaya terhadap akal kecuali bahwa sebagian dari ketentuan agama tidak mungkin dapat meyakini kecuali dengan akal.
2. Menggagas Kurikulum Pendidikan Islam Yang Integral 
Sistem pendidikan yang di perjuangkan oleh Muhamad Abduh adalah sistem pendidikan fungsional yang bukan impor yang mencakup pendidikan universal bagi semua anak, laki-laki maupun perempuan. Semua harus memiliki kemampuan dasar seperti membaca, manulis, dan menghitung. disamping itu, semua harus mendapatkan pendidikan agama.
Bagi sekolah menengah, diberikan mata pelajaran syari’at, kemiliteran, kedokteran, serta pelajaran tentang ilmu pemerintah bagi siswa yang berminat terjun dan bekerja di pemerintahan. Kurikulum harus meliputi antara lain, buku pengantar pengetahuan, seni logika, prinsip penalaran dan tata cara berdebat.
Untuk pendidikan yang lebih tinggi yaitu untuk orientasi guru dan kepala sekolah, maka ia mengggunakan kurikulum yang lebih lengkap yang mencakup antara lain tafsir al-quran, ilmu bahasa, ilmu hadis, studi moralitas, prinsif-prinsif fiqh, histogarfi, seni berbicara.
Kurikulum tersebut di atas merupakan gambaran umum dari kurikulum yang di berikan pada setiap jenjang pendidikan. Dari beberapa kurikulum yang dicetuskan Muhamad Abduh, ia menghendaki bahwa dengan kurikulum tersebut diharapkan akan melahirkan beberapa kelompok masyarakat seperti kelompok awam dan kelompok masyarakat golongan pejabat pemerintah dan militer serta kelompok masyarakat golongan pendidik. Dengan kurikulum yang demikian Muhamad Abduh mencoba menghilangkan jarak dualisme dalam pendidikan.
Adapun usaha Muhamad Abduh menggajukan Universitas Al-Azhar antara lain:
·  Memasukan ilmu-ilmu modern yang berkembang di eropa kedalam al-azhar.
·  Mengubah sistgem pendidikan dari mulai mempelajari ilmu dengan sistem hafalan menjadi sistem pemahaman dan penalaran.
·  Menghidupkan metode munazaroh (discution) sebelum mengarah ke taqlid

·         Membuat peraturan-peraturan tentang pembelajaran seperti larangan membaca hasyiyah (komentar-komentar) dan syarh (penjelasan panjang lebar tentang teks pembelajaran) kepada mahasiswa untuk empat tahun pertama.
·       Masa belajar di perpanjang dan memperpendek masa liburan.
Dari beberapa usaha yang dilakukan oleh Muhamad Abduh, meskipun belum sempat ia aplikasikan sepenuhnya secara temporal. Telah memberikan pengaruh positif terhadap lembaga pendididkan Islam.




























                            DAFTAR PUSTAKA

·         Nurcholish Madjid, Khazanah Intelektual Islam (Jakarta : Bulan Bintang, 1984)
·         Arbiyah Lubis, Pemikiran Muhammadiyah dan Muhammad Abduh (Bulan Bintang, 1993)
·         Hamkah (Haji  Abdul Malik Karim Amarullah), Pengaruh Muhammad Abduh di Indonesia (Jakarta : Tintamas, 1961)
·         Muhammad Abduh, Risalat At-Tauhid  (Terjemahan_Ali Shubain, 1965)



[1]  Nurcholish Madjid, Khazanah Intelektual Islam (Jakarta : Bulan Bintang, 1984), hlm. 21
[2] Ibid, hlm.89
[3] Lubis.Arbiyah, Pemikiran Muhammadiyah dan Muhammad Abduh (Bulan Bintang, 1993), hlm.5
[4] Hamkah (Haji Abdul Malik Karim Amarullah), Pengaruh Muhammad Abduh di Indonesia (Jakarta : Tintamas, 1961), hlm. 17
[5] Merupakan Profesor H.Kahar yang memeliti tentang organisasi Islam di Indonesia terutama Muhammadiyah, salah satu penelitiannya ialah “The Crescent Arises Over Banyan Tree
[6] Muhammad Abduh, Risalat At-Tauhid  (Terjemahan_Ali Shubain, 1965), hlm. 65

0 comments:

Posting Komentar