Jumat, 15 Maret 2013

Hakikat Pendidikan


Konsep dan Pendidikan
Dalam kamus besar Bahasa Indonesia dijelaskan, konsep adalah gambaran mental dari objek, proses, atau apapun yang ada di luar bahasa, yang digunakan oleh akal budi untuk memahami hal-hal lain. Sedangkan pendidikan adalah proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan latihan; proses, perbuatan, cara mendidik[1].

Pendidikan adalah usaha sadar atau bersahaja dengan bantuan orang lain (pendidik) atau secara mendiri sebagai upaya pemberdayaan atas segala potensi yang dimiliki (jasmaniah dan rohaniah) agar dapat menciptakan kehidupan yang fungsional dan bernilai bagi diri dan lingkungannya. Pendidikan adala proses perubahan manusia dari tidak berdaya (poerless) menjadi berdaya (powerfull), dari tidak memiliki harapan (hopeless) menjadi berpengharapan (hopeness)[2].

Pendidikan dan Kehidupan
Pendidikan adalah proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan latihan; proses, perbuatan, cara mendidik. Sedangkan kehidupan adalah cara (keadaan, hal) hidup; ciri yang membedakan objek yang memiliki isyarat dan proses penopang diri (organisme hidup) dengan objek yang tidak memilikinya[3].
Sehingga bisa diartikan bahwa dengan melalui proses pendidikan, akan merubah tatanan kehidupan seseorang atau kelompok yang awalnya kurang baik akan menjadi lebih baik. Sedangkan kehidupan akan mengajarkan manusia untuk selalu berproses pendidikan karena kebutuhan dan saling keterkaiytan antara dua hal tersebut.



Fungsi Pendidikan Islam
Dalam UUSPN dinyatakan bahwa: fungsi pendidikan nasional adalah untuk mengembangkan kemampuan serta meningkatkan mutu kehidupan dan martabat manusia. Hal ini berarti setiap bentuk khusus pelaksanaan pendidikan implisit pendidikan Islam juga harus memenuhi fungsi tersebut, yakni mengembangkan kemampuan, meningkatkan mutu kehidupan dan martabat manusia. Ketiga fungsi tersebut jika dilihat secara empirik pada dataran pelaksanaan pendidikan Islam, ada beberapa masukan yang positif yang disuarakan oleh masyarakat.[4]
1.      Pengembangan kemampuan, baik aspek kognitif, afektif dan psikomotorik.
2.      Meningkatkan mutu kehidupan, secara konsepsional, pendidikan Islam berorientasi pada masalah duniawi dan ukhrawi.
3.      Peningkatan martabat manusia, dimulai dari pendidikan tubuh (fisik) menuju tercapainya pendidikan jiwa dan akal pikiran.
Sedangkan fungsi pendidikan Islam menurut Khurshid Ahmad, yang dikutip Ramayulis adalah sebagai berikut[5]:
a.    Alat untuk memelihara, memperluas dan menghubungkan tingkat-tingkat kebudayaan, nilai-nilai tradisi dan sosial, serta ide-ide masyarakat dan bangsa.
b.    Alat untuk mengadakan perubahan, inovasi dan perkembangan yang secara garis besarnya melalui pengetahuan dan skill  yang baru ditemukan, dan melatih tenaga-tenaga manusia yang produktif untuk menemukan perimbangan perubahan sosial dan ekonomi.
Seputar Konsep Pendidikan Islam
Konsep pendidikan Islam memunculkan beragam arti, antara lain[6]:
1.      Pendidikan Islam diartikan secara sempit yaitu proses belajar mengajar dimana Agama Islam menjadi “core curriculum”.
2.      Pendidikan diartikan sebagai lembaga pendidikan yang didalamnya terdapat kegiatan yang menjadikan Islam identitasnya.
3.      Pendidikan Islam diartikan lebih substansial sifatnya yaitu lebih menekankan sebagai suatu iklim pendidikan atau “education athmosphere”, yakni suatu suasana pendidikan yang Islami, memberi nafas keislaman pada semua elemen system pendidikan yang ada.
Perbedaan pemahaman mengenai hakikat pendidikan Islam barangkali disebabkan karena adanya perbedaan dalam memahami hakikat, luas lingkup dan fungsi Islam. Dalam peta pemikiran Islam mengemukakan di kalangan kaum Muslimin sendiri ada beberapa pola pemahaman, antara lain[7]:
1.      Islam sebagai agama terakhir dan penyempurna dari agama-agam wahyu sebelumnya.
2.      Islam hanya mengatur hubungan antara manusia dan Tuhannya, mengajak manusia kembali kepada kehidupan yang mulia dengan menjunjung tinggi budi pekerti yang luhur, sedang urusan-urusan keduniaan termasuk tentang pendidikan, manusia diberikan hak otonomi untuk mengatur bedasarkan kemampuan akal budi yang diberikan.
3.      Dalam Islam hanya terdapat pilar-pilar penyangga tegaknya sistem pendidikan Islam seperti tauhid sebagai dasar pendidikan, konsep manusia yang melahirkan dan member arah tentang tujuan pendidikan, serta konsep tentang ilmu yang merupakan isi dari proses pendidikan.
4.      Islam tidak memberikan petunjuk terhadap semua aspek kehidupan manusia yang bersifat baku dan opersional.
5.      Semua pendapat benar. Persoalan pemahaman itu relative kebenarannya, sedangkan yang absolut kebenarannya hanya Islam itu sendiri.

Pemikiran Filosofis tentang Pendidikan Islam
Dalam mengkaji pemikiran filosofis tentang  pendidikan Islam, perlu diterapkan filsafat sebagai content yaitu ontology (metefisika), epistemology (teori pengetahuan), dan aksiologi (teori nilai, estetika) dalam usaha memahami hakikat dan tujuan pendidikan. Penjelasannya sebagai berikut[8]:
1.      Metafisika
Metafisika berasal dari bahasa Inggris metaphisics yang berarti pemahaman mengenai realitas. Realitas yang dimaksud bukan hanya yang berkaitan dengan atau terbatas kepada hal-hal empiris, dapat diukur, dapat dihitumg, dapat diraba dan dapat dilihat, melainkan sebagai “yang ada” dan keberadaannya tidak terbatas sebagai ontology (substansi) atau epistemology (jangkauan inderawi dan logika manusia).
Namun, intelektualitas dari intuisi manusia dapat memberikan penjelasan mengenai keyakinan dan fenomena dari eksistensi metafisis tersebut, termasuk implkasinya terhadap pendidikan. Metafisika dan pengaruhnya terhadap tujuan pendidikan meliputi kosmologi, teologi dan antropologi.
2.      Ontology
Dalam ontology membahas mengenai sifat keberadaan. Apa yang dimaksud dengan “ada” dan apakah yang “ada” terletak pada materi atau yang non materi atau bersifat spiritual.
Dalam pandangan Islam, keberadaan manusia tidak terbatas pada yang bersifat material, tetapi juga terikat pada yang spiritual. Diri manusia tidak hanya bersifat jasmani tetapi juga nafsani dan rohani. Dimensi materialnya terikat pada ruang dan waktu. Manusia dapat mengetahui tetapi tidak maha tahu. Manusia dapat memiliki kekuasaan tetapi tidak akan menjadi maha kuasa.
3.      Epistemology
Epistemology berasal dari bahasa Inggris episteme yang berarti penyelidikan tentang sumber, sifat, metoda dan keterbatasan pengetahuan manusia. Epistemology juga sering diartikan sebagai “teori pengetahuan” yang berhubungan dengan validitasnya (pembenaran atau pengujian).
Pembahasan tentang epistemology meliputi: dimensi pengetahuan, sumber pengetahuan, dan pengujian kebenaran.
Ø  Dimensi Pengetahuan
Dalam perspektif Islam, manusia memiliki kemampuan untuk mengetahui. Atas kehendak Allah manusia memiliki fitrah seperti intelek, kreativitas yang mendorongnya untuk mencari pengetahuan, hikmah dan kebenaran. Ia dapat meluaskan wawasannya seluas-luasnya. Meskipun demikian, manusia sebagai makhluk yang terbatas, tentunya pengetahuan yang diperolehnya juga terbatas. Manusia dapat berbuat kekeliruan dalam menyimak dan menyingkap kebenaran (manipulasi dan pemalsuan).
Karena itu pendidikan Islam harus berupaya untuk membimbing orang untuk memiliki pemahaman bahwa Allah adalah sumber kebenaran objektif, absolute dan atas fitrah dan hanifnya manusia berupaya mencari kebenaran itu. Dalam batas-batas tertentu manusia bisa menjadikan dirinya sebagai sumber pengetahuan, akan tetapi terlepas dari hubungannya dengan Allah, kebenaran yang dipahaminya cenderung bersifat semu.
Ø  Sumber Pengetahuan
Sebagaimana yang telah disampaikan sebelumnya, bahwa sumber kebenaran dan pengetahuan adalah Allah. akan tetapi manusia diperintahkan untuk mencari dan mengembangkan pengetahuannya dengan potensi dan pengetahuan yang dimiliki.
Dalam mencari dan mengemukakan pengetahuan, manusia mengalami proses belajar. Dalam kegiatan belajar, intelek, emosi, kehendak dan bagian-bagian dari panca indera akan terlibat semuanya. Karena itulah keseluruhan dari aspek diri kita ikut aktif menjadi instrument untuk mengetahui dan memperoleh kebenaran Allah. Pendidikan harus member kebebasan kepada peserta didiknya untuk belajar, belajar melalui pengelaman nyata, pengamatan, perbuatan dan perenungan.
Ø  Pengujian Kebenaran
Dalam epistemology, kebenaran dapat diuji melalui tiga cara, yaitu:
Pertama, korespondensi. Teori ini berpendapat bahwa yang dimaksud dengan kebenaran adalah adanya hubungan dengan pernyataan subyek dengan abyek dan tidak ada pertentangan.
Kedua, prinsip koherensi dan konsistensi, jika suatu ide, gagasan yang kita miliki dikaji ulang dengan criteria penilaian sebelumnya serta diteliti dari berbagai sudut dan hasilnya terdapat kesamaan maka hal itu mengandung kebenaran.
Ketiga, pragmatis, berdasarkan pada nilai dan manfaat dari pengetahuan atau kebenaran itu sendiri dalam kehidupan sehari-hari.
4.      Aksiologi
Aksiologi merupakan cabang ilmu filsafat yang berbicara tentang nilai (etika) dan estetika.
·         Masalah Etika
Etika disini berbicara tentang apa yang baik dan apa yang buruk. Pertanyaan yang berkaitan dengan etika adalah soal ukuran atau norma. Nilai yang diajarkan dalam pendidikan agama Islam dituntut untuk mampu membentuk dasar moral kehidupan berdasarkan nilai-nilai ketuhanan (iman).
Upaya menegakkan nilai-nilai tersebut dalam ruang dan waktu yang dinamis, orang-orang beriman harus mampu menerjemahkan secara kontekstual agar tidak terjadi pemutlakan terhadap hal-hal yang seharusnya bersifat relatif. Itulah sebabnya Allah senantiasa memberikan kekuatan dan hikmah. Allah tidak hanya memberikan peringatan dan ancaman, melainkan juga memberikan taufik, hidayah dan inayah.
·         Segi Estetika
Estetika yakni bidang yang membahas tentang nilai-nilai keindahan, kerapian, keserasian dan keharmonisan. Dalam estetika juga membahas tentang imajinasi dan kreatifitas baik dalam domain kognisi, afeksi dan emosi.
Masalah estetika sangat penting dalam pendidikan Islam. Kegiatan belajar mengajar perlu dikelola dengan memperhatikan segi-segi keindahan dan kerapian ruangan, pakaian dan penampilan. Kegiatan belajar mengajar harus mendorong orang lebih kreatif dan imajinatif. Seorang pendidik tidak seharusnya mendoktrin peserta didiknya, karena dengan indoktrinasi cenderung menghambat imajinasi dan kreativitas.






DAFTAR PUSTAKA

Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1989, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka.
Tobroni, 2008, Pendidikan Islam: Paradigma Teologis, Filosofis dan Spiritual, Malang: UMM Press.
Abdurrahman Ms’ud, dkk, 2001, Paradigm Pendidikan Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Mujib, Abdul, 2008, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Kencana.






[1] Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1989, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka.
[2] Tobroni, 2008, Pendidikan Islam: Paradigma Teologis, Filosofis dan Spiritual, Malang, UMM Press: hal 12
[3] Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1989, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka.
[4] Abdurrahman Ms’ud, dkk, 2001, Paradigm Pendidikan Islam, Yogyakarta, Pustaka Pelajar: hal. 182
[5] Mujib, Abdul, 2008, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta, Kencana: hal. 69
[6] Tobroni, 2008, Pendidikan Islam: Paradigma Teologis, Filosofis dan Spiritual, Malang, UMM Press: hal. 13
[7] Tobroni, 2008, Pendidikan Islam: Paradigma Teologis, Filosofis dan Spiritual, Malang, UMM Press: hal. 14
[8] Tobroni, 2008, Pendidikan Islam: Paradigma Teologis, Filosofis dan Spiritual, Malang, UMM Press: hal. 18-27

0 komentar:

Posting Komentar