Konsep dan Pendidikan
Dalam
kamus besar Bahasa Indonesia dijelaskan, konsep adalah gambaran mental dari
objek, proses, atau apapun yang ada di luar bahasa, yang digunakan oleh akal
budi untuk memahami hal-hal lain. Sedangkan pendidikan adalah proses pengubahan
sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan
manusia melalui upaya pengajaran dan latihan; proses, perbuatan, cara mendidik[1].
Pendidikan
adalah usaha sadar atau bersahaja dengan bantuan orang lain (pendidik) atau
secara mendiri sebagai upaya pemberdayaan atas segala potensi yang dimiliki
(jasmaniah dan rohaniah) agar dapat menciptakan kehidupan yang fungsional dan
bernilai bagi diri dan lingkungannya. Pendidikan adala proses perubahan manusia
dari tidak berdaya (poerless) menjadi berdaya (powerfull), dari tidak memiliki
harapan (hopeless) menjadi berpengharapan (hopeness)[2].
Pendidikan dan Kehidupan
Pendidikan
adalah proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang
dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan latihan; proses,
perbuatan, cara mendidik. Sedangkan kehidupan adalah cara (keadaan, hal) hidup;
ciri yang membedakan objek yang memiliki isyarat dan proses
penopang diri (organisme hidup) dengan objek yang
tidak memilikinya[3].
Sehingga
bisa diartikan bahwa dengan melalui proses pendidikan, akan merubah tatanan kehidupan
seseorang atau kelompok yang awalnya kurang baik akan menjadi lebih baik. Sedangkan
kehidupan akan mengajarkan manusia untuk selalu berproses pendidikan karena
kebutuhan dan saling keterkaiytan antara dua hal tersebut.
Fungsi Pendidikan Islam
Dalam UUSPN
dinyatakan bahwa: fungsi pendidikan nasional adalah untuk mengembangkan kemampuan
serta meningkatkan mutu kehidupan dan martabat manusia. Hal ini berarti setiap
bentuk khusus pelaksanaan pendidikan implisit pendidikan Islam juga harus
memenuhi fungsi tersebut, yakni mengembangkan kemampuan, meningkatkan mutu
kehidupan dan martabat manusia. Ketiga fungsi tersebut jika dilihat secara
empirik pada dataran pelaksanaan pendidikan Islam, ada beberapa masukan yang
positif yang disuarakan oleh masyarakat.[4]
1. Pengembangan
kemampuan, baik aspek kognitif, afektif dan psikomotorik.
2. Meningkatkan
mutu kehidupan, secara konsepsional, pendidikan Islam berorientasi pada masalah
duniawi dan ukhrawi.
3. Peningkatan
martabat manusia, dimulai dari pendidikan tubuh (fisik) menuju tercapainya
pendidikan jiwa dan akal pikiran.
Sedangkan fungsi
pendidikan Islam menurut Khurshid Ahmad, yang dikutip Ramayulis adalah sebagai
berikut[5]:
a.
Alat untuk
memelihara, memperluas dan menghubungkan tingkat-tingkat kebudayaan,
nilai-nilai tradisi dan sosial, serta ide-ide masyarakat dan bangsa.
b.
Alat untuk
mengadakan perubahan, inovasi dan perkembangan yang secara garis besarnya
melalui pengetahuan dan skill yang baru ditemukan, dan melatih tenaga-tenaga
manusia yang produktif untuk menemukan perimbangan perubahan sosial dan ekonomi.
Seputar Konsep Pendidikan Islam
Konsep
pendidikan Islam memunculkan beragam arti, antara lain[6]:
1. Pendidikan
Islam diartikan secara sempit yaitu proses belajar mengajar dimana Agama Islam
menjadi “core curriculum”.
2. Pendidikan
diartikan sebagai lembaga pendidikan yang didalamnya terdapat kegiatan yang
menjadikan Islam identitasnya.
3. Pendidikan
Islam diartikan lebih substansial sifatnya yaitu lebih menekankan sebagai suatu
iklim pendidikan atau “education
athmosphere”, yakni suatu suasana pendidikan yang Islami, memberi nafas
keislaman pada semua elemen system pendidikan yang ada.
Perbedaan
pemahaman mengenai hakikat pendidikan Islam barangkali disebabkan karena adanya
perbedaan dalam memahami hakikat, luas lingkup dan fungsi Islam. Dalam peta
pemikiran Islam mengemukakan di kalangan kaum Muslimin sendiri ada beberapa
pola pemahaman, antara lain[7]:
1. Islam
sebagai agama terakhir dan penyempurna dari agama-agam wahyu sebelumnya.
2. Islam
hanya mengatur hubungan antara manusia dan Tuhannya, mengajak manusia kembali
kepada kehidupan yang mulia dengan menjunjung tinggi budi pekerti yang luhur,
sedang urusan-urusan keduniaan termasuk tentang pendidikan, manusia diberikan
hak otonomi untuk mengatur bedasarkan kemampuan akal budi yang diberikan.
3. Dalam
Islam hanya terdapat pilar-pilar penyangga tegaknya sistem pendidikan Islam
seperti tauhid sebagai dasar pendidikan, konsep manusia yang melahirkan dan
member arah tentang tujuan pendidikan, serta konsep tentang ilmu yang merupakan
isi dari proses pendidikan.
4. Islam
tidak memberikan petunjuk terhadap semua aspek kehidupan manusia yang bersifat
baku dan opersional.
5. Semua
pendapat benar. Persoalan pemahaman itu relative kebenarannya, sedangkan yang
absolut kebenarannya hanya Islam itu sendiri.
Pemikiran
Filosofis tentang Pendidikan Islam
Dalam
mengkaji pemikiran filosofis tentang
pendidikan Islam, perlu diterapkan filsafat sebagai content yaitu
ontology (metefisika), epistemology (teori pengetahuan), dan aksiologi (teori
nilai, estetika) dalam usaha memahami hakikat dan tujuan pendidikan.
Penjelasannya sebagai berikut[8]:
1. Metafisika
Metafisika berasal dari
bahasa Inggris metaphisics yang berarti pemahaman mengenai realitas.
Realitas yang dimaksud bukan hanya yang berkaitan dengan atau terbatas kepada
hal-hal empiris, dapat diukur, dapat dihitumg, dapat diraba dan dapat dilihat,
melainkan sebagai “yang ada” dan keberadaannya tidak terbatas sebagai ontology
(substansi) atau epistemology (jangkauan inderawi dan logika manusia).
Namun, intelektualitas
dari intuisi manusia dapat memberikan penjelasan mengenai keyakinan dan
fenomena dari eksistensi metafisis tersebut, termasuk implkasinya terhadap
pendidikan. Metafisika dan pengaruhnya terhadap tujuan pendidikan meliputi
kosmologi, teologi dan antropologi.
2. Ontology
Dalam ontology membahas mengenai sifat
keberadaan. Apa yang dimaksud dengan “ada” dan apakah yang “ada” terletak pada
materi atau yang non materi atau bersifat spiritual.
Dalam pandangan Islam, keberadaan
manusia tidak terbatas pada yang bersifat material, tetapi juga terikat pada
yang spiritual. Diri manusia tidak hanya bersifat jasmani tetapi juga nafsani
dan rohani. Dimensi materialnya terikat pada ruang dan waktu. Manusia dapat
mengetahui tetapi tidak maha tahu. Manusia dapat memiliki kekuasaan tetapi
tidak akan menjadi maha kuasa.
3. Epistemology
Epistemology berasal
dari bahasa Inggris episteme yang berarti penyelidikan tentang sumber,
sifat, metoda dan keterbatasan pengetahuan manusia. Epistemology juga sering
diartikan sebagai “teori pengetahuan” yang berhubungan dengan validitasnya
(pembenaran atau pengujian).
Pembahasan tentang
epistemology meliputi: dimensi pengetahuan, sumber pengetahuan, dan pengujian
kebenaran.
Ø Dimensi
Pengetahuan
Dalam
perspektif Islam, manusia memiliki kemampuan untuk mengetahui. Atas kehendak
Allah manusia memiliki fitrah seperti intelek, kreativitas yang mendorongnya
untuk mencari pengetahuan, hikmah dan kebenaran. Ia dapat meluaskan wawasannya
seluas-luasnya. Meskipun demikian, manusia sebagai makhluk yang terbatas,
tentunya pengetahuan yang diperolehnya juga terbatas. Manusia dapat berbuat
kekeliruan dalam menyimak dan menyingkap kebenaran (manipulasi dan pemalsuan).
Karena
itu pendidikan Islam harus berupaya untuk membimbing orang untuk memiliki
pemahaman bahwa Allah adalah sumber kebenaran objektif, absolute dan atas
fitrah dan hanifnya manusia berupaya mencari kebenaran itu. Dalam batas-batas
tertentu manusia bisa menjadikan dirinya sebagai sumber pengetahuan, akan
tetapi terlepas dari hubungannya dengan Allah, kebenaran yang dipahaminya
cenderung bersifat semu.
Ø Sumber
Pengetahuan
Sebagaimana
yang telah disampaikan sebelumnya, bahwa sumber kebenaran dan pengetahuan
adalah Allah. akan tetapi manusia diperintahkan untuk mencari dan mengembangkan
pengetahuannya dengan potensi dan pengetahuan yang dimiliki.
Dalam
mencari dan mengemukakan pengetahuan, manusia mengalami proses belajar. Dalam
kegiatan belajar, intelek, emosi, kehendak dan bagian-bagian dari panca indera
akan terlibat semuanya. Karena itulah keseluruhan dari aspek diri kita ikut
aktif menjadi instrument untuk mengetahui dan memperoleh kebenaran Allah.
Pendidikan harus member kebebasan kepada peserta didiknya untuk belajar,
belajar melalui pengelaman nyata, pengamatan, perbuatan dan perenungan.
Ø Pengujian
Kebenaran
Dalam
epistemology, kebenaran dapat diuji melalui tiga cara, yaitu:
Pertama,
korespondensi. Teori ini berpendapat bahwa yang dimaksud dengan kebenaran
adalah adanya hubungan dengan pernyataan subyek dengan abyek dan tidak ada
pertentangan.
Kedua,
prinsip koherensi dan konsistensi, jika suatu ide, gagasan yang kita miliki
dikaji ulang dengan criteria penilaian sebelumnya serta diteliti dari berbagai
sudut dan hasilnya terdapat kesamaan maka hal itu mengandung kebenaran.
Ketiga,
pragmatis, berdasarkan pada nilai dan manfaat dari pengetahuan atau kebenaran
itu sendiri dalam kehidupan sehari-hari.
4. Aksiologi
Aksiologi merupakan
cabang ilmu filsafat yang berbicara tentang nilai (etika) dan estetika.
·
Masalah Etika
Etika disini berbicara
tentang apa yang baik dan apa yang buruk. Pertanyaan yang berkaitan dengan
etika adalah soal ukuran atau norma. Nilai yang diajarkan dalam pendidikan
agama Islam dituntut untuk mampu membentuk dasar moral kehidupan berdasarkan
nilai-nilai ketuhanan (iman).
Upaya menegakkan
nilai-nilai tersebut dalam ruang dan waktu yang dinamis, orang-orang beriman
harus mampu menerjemahkan secara kontekstual agar tidak terjadi pemutlakan
terhadap hal-hal yang seharusnya bersifat relatif. Itulah sebabnya Allah
senantiasa memberikan kekuatan dan hikmah. Allah tidak hanya memberikan
peringatan dan ancaman, melainkan juga memberikan taufik, hidayah dan inayah.
·
Segi Estetika
Estetika yakni bidang
yang membahas tentang nilai-nilai keindahan, kerapian, keserasian dan
keharmonisan. Dalam estetika juga membahas tentang imajinasi dan kreatifitas
baik dalam domain kognisi, afeksi dan emosi.
Masalah estetika sangat
penting dalam pendidikan Islam. Kegiatan belajar mengajar perlu dikelola dengan
memperhatikan segi-segi keindahan dan kerapian ruangan, pakaian dan penampilan.
Kegiatan belajar mengajar harus mendorong orang lebih kreatif dan imajinatif.
Seorang pendidik tidak seharusnya mendoktrin peserta didiknya, karena dengan
indoktrinasi cenderung menghambat imajinasi dan kreativitas.
DAFTAR PUSTAKA
Tim Penyusun
Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1989, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka.
Tobroni, 2008, Pendidikan Islam: Paradigma Teologis,
Filosofis dan Spiritual, Malang: UMM Press.
Abdurrahman
Ms’ud, dkk, 2001, Paradigm Pendidikan
Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Mujib, Abdul,
2008, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta:
Kencana.
[1]
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1989, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta,
Balai Pustaka.
[2]
Tobroni, 2008, Pendidikan Islam:
Paradigma Teologis, Filosofis dan Spiritual, Malang, UMM Press: hal 12
[3]
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1989, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta,
Balai Pustaka.
[4]
Abdurrahman Ms’ud, dkk, 2001, Paradigm
Pendidikan Islam, Yogyakarta, Pustaka Pelajar: hal. 182
[5]
Mujib, Abdul, 2008, Ilmu Pendidikan Islam,
Jakarta, Kencana: hal. 69
[6]
Tobroni, 2008, Pendidikan Islam:
Paradigma Teologis, Filosofis dan Spiritual, Malang, UMM Press: hal. 13
[7]
Tobroni, 2008, Pendidikan Islam:
Paradigma Teologis, Filosofis dan Spiritual, Malang, UMM Press: hal. 14
[8]
Tobroni, 2008, Pendidikan Islam:
Paradigma Teologis, Filosofis dan Spiritual, Malang, UMM Press: hal. 18-27
0 comments:
Posting Komentar