Musyrifah namanya hampir sama seperti tokoh dalam laskar pelangi,
semangatnya, kegigihanya, serta senyum dan tutur kata khasnya membuat
wanita yang mulai beruban ini semakin disegani dimata masyarakat.
Beliau masih aktif di Aisiyah bahkan konon beliau merupakan salah satu
penggagas berdirinya Aisiyah di Kintap.
“Saya sebenarnya malu masih ikut
berkecimpung dalam acara-acara Aisiyah, karena penggagas berdirinya
Aisyiyah di kecamatan Kintap saya dan mendiang suami saya, saya
merupakan ketua dari awal berdirinya organisasi ini sampai sekarang.
Jika boleh memilih, lebih baik yang muda-muda,” ujarnya.
Musyrifah adalah satu diantara ratusan transmigran dari jawa tahun
1981 mengikuti jejak suminya yang merasa perlu merubah hidup di
Kalimantan, dengan modal hasil penjualan rumah Ia dan tiga anaknya rela
meninggalkan sanak keluarga dengan banyak celaan dari tetangga. Dia
berkeyakinan bahwa taat pada suami adalah ibadah yang agung tanpa
memperdulikan hujatan tetangga.
Setelah seminggu menempuh perjalanan, kelurga Musyrifah sampai di
lokasi transmigrasi yang sangat jauh dari perkiraan semua anggota
transmigrasi, mereka hanya mendapati rumah panggung sangat sederhana
dengan ukuran 3X4 dan pekarangan seluas 1,5 Ha yang ditumbuhi ilalang
setinggi lutut. Keluarga ini tidak lantas putus asa, musyrifah
berinisiatif untuk mulai berdagang kecil-kecilan dibantu sang suami.
Profesi ini dipilih karena kluarga mereka tidak punya keahlian bercocok
tanam.
Pada tahun 1985 ketika pemerintah mulai membuat jalan beraspal
sebagai fasilitas transmigrasi Abdul Mukti, suami Musyrifah yang saat
itu menjadi kepala desa mencoba peruntungan bisnis jual beli sapi yang
saat itu cukup menjanjikan. Bisnis jual beli sapi ini akhirnya merubah
kehidupan keluarga ini, Musyrifah dapat menyekolahkan anak-anaknya di
Jawa karena saat itu belum ada sekolah tingkat SLTP maupun SLTA. “Saya
harus menyekoahkan anak saya ke Jawa karena pada saat itu pendidikan di
Jawa sangat bagus, juga agar anak-anak lebih dekat dengan sanak
keluarga” kenangnya.
Dengan kondisi ekonomi yang lebih dari cukup Abdul Mukti mulai
sedikit terobsesi untuk menikah lagi, dengan hati berkecamuk dan sedang
hamil muda ia pun menandatangani surat untuk memuluskan pernikahan
suaminya. Sebuah pengorbanan yang sangat sulit didaoatkan dari kaum
wanita. “Atas nama berbakti kepada suami, saya mencoba merelakan agar
dia menikah lagi. Saya yakin hal ini yang terbaik bagi keluarga,” tutur
perempuan kelahiran 1954 tersebut.
Setelah menikahkan anak sulung musibah demi musibah menimpa keluarga
Musrifah. Mulai dari anak pertamanya yang harus pergi jauh mengikuti
jejak suami yang ditugaskan di daerah terpencil Kalimantan Tengah,
kemudian kenakalan kedua anak laki-lakinya di Pulau Jawa yang hidup
hedonis dan gemar berganti sekolah karena kanakalan mereka. Hal ini
dilakukan untuk menarik perhatian kedua orang tua mereka, sedang
Musyrifah dan suami merasa semua bisa dibeli dengan materi. Namun tidak
bagi anak-anak mereka, meskipun kebutuhan finansial tercukupi tapi
mereka juga membutuhkan perhatian dan kasih sayang orang tua. “Bagi kami
kasih sayang orang tua adalah yang utama,” ungkap salah seorang
putranya.
Tahun 1988 Musyrifah melahirkan anak terakhir dengan keadaan sehat.
Ia sering pulang ke Tuban tanah kelahiranya namun suaminya sering
menjemput karena masih sangat memerlukan keberadaan Musrifah di sisinya.
Kendati demikian, seringnya Musrifah menerima perlakuan tidak adil dari
suaminya, tak pernah sekalipun terlontar dari mulutnya minta cerai. Ia
menyadari jika hal ini terjadi, yang menjadikorban bukanlah dirinya
semata, tetapi masa depan anaknya juga akan terancam. “Sebagai ibu,
tentu saya harus menghilangkan ego saya demi anak-anak,” imbuhnya
singkat. Namun cobaan Musyrifah tidak berhenti di situ, bahkan
musibah lebih besar terjadi ketika usahanya gulung tikar dan
meninggalkan hutang menggunung. Ia pun harus menyaksikan bagaimana
bankir menyita kebun jeruk dan cengkehnya untuk menutupi hutangnya.
Tentu saja hal ini membuat hati dan perasaannya menanggung beban yang
teramat berat.
Hebatnya, Musyrifah tidak lantas putus asa ia terus berusaha untuk
menghidupi keluarga. Khususnya demi anak bungsu yang masih duduk di
bangku sekolah dasar. Ia dibantu anak bungsunya mencoba peruntungan
dengan berjualan kripik dan kacang goreng. Karena merasa kurang mendapat
hasil, ia mencoba berjualan onde-onde setiap hari senin dan kamis.
Sedangkan pada hari biasa ia menggoreng kerupuk sementara anak bungsunya
tanpa rasa malu turut serta mendistribusikan kerupuk olahan Musyrifah
pada konsumen. Sementara suaminya sudah tidak dapat kerja lagi lantaran
mengidap diabetes dan katarak. Uang hasil jerih payah berjualanpun
banyak digunakan untuk pengobatan suaminya.
Sekarang, Musyrifah bisa menikmati masa tuanya dengan tentram karena
anak-anaknya sudah bisa mandiri dan menjadi orang sukses. Siapa sangka,
berangkat dari perjuangan hidup yang demikian berat kini menjadi buah
yang sangat manis untuk dinikmati. Kini usia senjanya hanya digunakan
untuk berjuang pada organisasi binaannya serta meluangkan waktu untuk
melimpahkan kasih sayang pada cucu dan cicitnya. Memang hidup adalah
perjuangan, siapa yang tidak mau berjuang maka sudah selayakny ia tidak
perlu hidup lagi.
0 komentar:
Posting Komentar