Seringkali terjadi kesalahan dalam
penggunaan istilah mahram dan muhrim. Padahal dua kata ini memiliki arti yang jauh
berbeda, Muhrim merujuk pada seseorang yang sedang dalam keadaan ihram
(menjalankan ibadah haji atau umrah), sedangkan Mahram adalah istilah dalam
Islam yang merujuk pada orang-orang yang dilarang untuk dinikahi karena adanya
hubungan darah, persusuan, atau pernikahan. Ada sebuah dalil dalam Al-quran
Surah An-Nisa ayat 22-24 yang membahas tentang mahrom.
Mengapa
Penting Memahami Konsep Mahram?
Memahami konsep mahram sangat penting dalam Islam
karena dengan memahami konsep mahram akan diketahui batasan-batasan dalam muamalah
ataupun pernikahan dengan mahram. Dan hal ini akan menjaga kehormatan dan
martabat diri.
Mahrom
di sini terbagi menjadi dua macam:
1.
Mahrom Muabbad,
Mahrom muabbad artinya tidak boleh dinikahi
selamanya dan jenis mahram ini dibagi menjadi tiga klasifikasi: Karena katurunan
(nasab), Karena ikatan perkawinan (mushoharoh), Karena persusuan (rodho’ah).
A.
Mahrom
muabbad karena nasab ada tujuh wanita
1.
Ibu.
Yaitu adalah
ibu kandungnya dan neneknya (dari jalan laki-laki atau perempuan) ke atas.
2.
Anak
perempuan.
Yaitu anak perempuannya, cucu
perempuannya dan terus ke bawah.
3.
Saudari
perempuan.
4.
Bibi
dari jalur ayah (‘ammaat)
Yang dimaksud
di sini adalah saudari perempuan dari ayahnya ke atas. Termasuk di dalamnya
adalah bibi dari ayahnya atau bibi dari ibunya.
5.
Bibi
dari jalur ibu (khollaat)
Yaitu saudara perempuan dari ibu ke
atas. Termasuk di dalamnya adalah saudara perempuan dari ibu ayahnya.
6.
Keponakan
Yaitu Anak perempuan dari saudara laki-laki
7.
Keponakan
Yaitu anak
perempuan dari saudara perempuan dan ini terus ke bawah.
B.
Mahrom
muabbad karena ikatan perkawinan (mushoro’ah) ada empat wanita
1.
Istri
dari ayah.
2.
Ibu
dari istri (ibu mertua). Ibu mertua ini menjadi mahrom muabbad dengan adanya
akad nikah dengan anaknya (tanpa mesti anaknya disetubuhi), menurut mayoritas
ulama. Yang termasuk di dalamnya adalah ibu dari ibu mertua dan ibu dari ayah
mertua.
3.
Anak
perempuan dari istri (robibah). Ia bisa jadi mahrom dengan syarat
si laki-laki telah menyetubuhi ibunya. Jika hanya sekedar akad dengan ibunya
namun belum sempat disetubuhi, maka boleh menikahi anak perempuannya tadi. Yang
termasuk mahrom juga adalah anak perempuan dari anak perempuan dari istri dan
anak perempuan dari anak laki-laki dari istri.
4.
Istri
dari anak laki-laki (menantu). Yang termasuk mahrom juga adalah istri dari anak
persusuan.
C.
Mahrom
muabbad karena persusuan (rodho’ah)
1.
Wanita
yang menyusui dan ibunya.
2.
Anak
perempuan dari wanita yang menyusui (saudara persusuan).
3.
Saudara
perempuan dari wanita yang menyusui (bibi persusuan).
4.
Anak
perempuan dari anak perempuan dari wanita yang menyusui (anak dari saudara
persusuan).
5.
Ibu
dari suami (mertua) dari wanita yang menyusui.
6.
Saudara
perempuan dari suami (Ipar) dari wanita yang menyusui.
7.
Anak
perempuan dari anak laki-laki (cucu) dari wanita yang menyusui (anak dari
saudara persusuan).
8.
Anak
perempuan dari suami dari wanita yang menyusui.
9.
Istri
lain dari suami dari wanita yang menyesui.
Adapun jumlah persusuan yang menyebabkan mahrom adalah
lima persusuan atau lebih. Inilah pendapat Imam Asy
Syafi’i,
2.
Mahrom Muaqqot,
Mahrom Muaqqot mahrom (dilarang
dinikahi) yang sifatnya sementara artinya tidak boleh dinikahi pada kondisi
tertentu saja dan jika kondisi ini hilang maka menjadi halal. Wanita yang tidak boleh dinikahi sementara
waktu ada delapan.
1.
Saudara
perempuan dari istri (ipar).
Tidak boleh bagi seorang pria untuk
menikahi saudara perempuan dari istrinya dalam satu waktu berdasarkan
kesepakatan para ulama. Namun jika istrinya meninggal dunia atau ditalak oleh
si suami, maka setelah itu ia boleh menikahi saudara perempuan dari istrinya
tadi.
2.
Bibi
(dari jalur ayah atau ibu) dari istri.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
لاَ تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ عَلَى عَمَّتِهَا
وَلاَ عَلَى خَالَتِهَا
“Tidak boleh seorang wanita dimadu dengan bibi (dari ayah atau ibu)
-nya.” (HR. Muslim no. 1408)
Namun jika istri telah dicerai atau
meninggal dunia, maka laki-laki tersebut boleh menikahi bibinya.
3.
Wanita
yang bersuami.
Allah Ta’ala berfirman,
وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ النِّسَاءِ إِلَّا مَا مَلَكَتْ
أَيْمَانُكُمْ
“Dan (diharamkan juga kamu
mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki (Allah
telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu.” (QS. An
Nisa’: 24)
4.
Wanita
yang telah ditalak tiga, maka ia tidak boleh dinikahi oleh suaminya yang dulu
sampai ia menjadi istri dari laki-laki lain.
Allah Ta’ala berfirman,
فَإِنْ طَلَّقَهَا فَلَا تَحِلُّ لَهُ مِنْ بَعْدُ حَتَّى
تَنْكِحَ زَوْجًا غَيْرَهُ فَإِنْ طَلَّقَهَا فَلَا جُنَاحَ
عَلَيْهِمَا أَنْ
يَتَرَاجَعَا إِنْ ظَنَّا أَنْ يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ
“Kemudian jika si suami
mentalaknya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak lagi halal
baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain
itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan
isteri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan
hukum-hukum Allah.” (QS. Al Baqarah: 230)
5.
Wanita
musyrik sampai ia masuk Islam.
Allah Ta’ala berfirman,
وَلَا تَنْكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّى
يُؤْمِنَّ وَلَأَمَةٌ مُؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكَةٍ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ
“Dan janganlah kamu menikahi
wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang
mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu.” (QS.
Al Baqarah: 221)
0 comments:
Posting Komentar