Minggu, 01 September 2024

Posted by Rumah Ratu On Minggu, September 01, 2024


Seringkali terjadi kesalahan dalam penggunaan istilah mahram dan muhrim. Padahal dua kata ini memiliki arti yang jauh berbeda, Muhrim merujuk pada seseorang yang sedang dalam keadaan ihram (menjalankan ibadah haji atau umrah), sedangkan Mahram adalah istilah dalam Islam yang merujuk pada orang-orang yang dilarang untuk dinikahi karena adanya hubungan darah, persusuan, atau pernikahan. Ada sebuah dalil dalam Al-quran Surah An-Nisa ayat 22-24 yang membahas tentang mahrom.

Mengapa Penting Memahami Konsep Mahram?

Memahami konsep mahram sangat penting dalam Islam karena dengan memahami konsep mahram akan diketahui batasan-batasan dalam muamalah ataupun pernikahan dengan mahram. Dan hal ini akan menjaga kehormatan dan martabat diri.

Mahrom di sini terbagi menjadi dua macam:

 

1.      Mahrom Muabbad,

Mahrom muabbad artinya tidak boleh dinikahi selamanya dan jenis mahram ini dibagi menjadi tiga klasifikasi: Karena katurunan (nasab), Karena ikatan perkawinan (mushoharoh), Karena persusuan (rodho’ah).

A.      Mahrom muabbad karena nasab ada tujuh wanita

1.      Ibu.

Yaitu adalah ibu kandungnya dan neneknya (dari jalan laki-laki atau perempuan) ke atas.

2.      Anak perempuan.

Yaitu anak perempuannya, cucu perempuannya dan terus ke bawah.

3.      Saudari perempuan.

4.      Bibi dari jalur ayah (‘ammaat)

Yang dimaksud di sini adalah saudari perempuan dari ayahnya ke atas. Termasuk di dalamnya adalah bibi dari ayahnya atau bibi dari ibunya.

5.      Bibi dari jalur ibu (khollaat)

Yaitu saudara perempuan dari ibu ke atas. Termasuk di dalamnya adalah saudara perempuan dari ibu ayahnya.

6.      Keponakan

Yaitu Anak perempuan dari saudara laki-laki

7.      Keponakan

Yaitu anak perempuan dari saudara perempuan dan ini terus ke bawah.

B.      Mahrom muabbad karena ikatan perkawinan (mushoro’ah) ada empat wanita

1.      Istri dari ayah.

2.      Ibu dari istri (ibu mertua). Ibu mertua ini menjadi mahrom muabbad dengan adanya akad nikah dengan anaknya (tanpa mesti anaknya disetubuhi), menurut mayoritas ulama. Yang termasuk di dalamnya adalah ibu dari ibu mertua dan ibu dari ayah mertua.

3.      Anak perempuan dari istri (robibah). Ia bisa jadi mahrom dengan syarat si laki-laki telah menyetubuhi ibunya. Jika hanya sekedar akad dengan ibunya namun belum sempat disetubuhi, maka boleh menikahi anak perempuannya tadi. Yang termasuk mahrom juga adalah anak perempuan dari anak perempuan dari istri dan anak perempuan dari anak laki-laki dari istri.

4.      Istri dari anak laki-laki (menantu). Yang termasuk mahrom juga adalah istri dari anak persusuan.

C.      Mahrom muabbad karena persusuan (rodho’ah)

1.      Wanita yang menyusui dan ibunya.

2.      Anak perempuan dari wanita yang menyusui (saudara persusuan).

3.      Saudara perempuan dari wanita yang menyusui (bibi persusuan).

4.      Anak perempuan dari anak perempuan dari wanita yang menyusui (anak dari saudara persusuan).

5.      Ibu dari suami (mertua) dari wanita yang menyusui.

6.      Saudara perempuan dari suami (Ipar) dari wanita yang menyusui.

7.      Anak perempuan dari anak laki-laki (cucu) dari wanita yang menyusui (anak dari saudara persusuan).

8.      Anak perempuan dari suami dari wanita yang menyusui.

9.      Istri lain dari suami dari wanita yang menyesui.

Adapun jumlah persusuan yang menyebabkan mahrom adalah lima persusuan atau lebih. Inilah pendapat Imam Asy Syafi’i,

 

2.      Mahrom Muaqqot,

Mahrom Muaqqot mahrom (dilarang dinikahi) yang sifatnya sementara artinya tidak boleh dinikahi pada kondisi tertentu saja dan jika kondisi ini hilang maka menjadi halal.  Wanita yang tidak boleh dinikahi sementara waktu ada delapan.

1.      Saudara perempuan dari istri (ipar).

Tidak boleh bagi seorang pria untuk menikahi saudara perempuan dari istrinya dalam satu waktu berdasarkan kesepakatan para ulama. Namun jika istrinya meninggal dunia atau ditalak oleh si suami, maka setelah itu ia boleh menikahi saudara perempuan dari istrinya tadi.

2.      Bibi (dari jalur ayah atau ibu) dari istri.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ عَلَى عَمَّتِهَا وَلاَ عَلَى خَالَتِهَا

Tidak boleh seorang wanita dimadu dengan bibi (dari ayah atau ibu) -nya.” (HR. Muslim no. 1408)

Namun jika istri telah dicerai atau meninggal dunia, maka laki-laki tersebut boleh menikahi bibinya.

3.      Wanita yang bersuami.

Allah Ta’ala berfirman,

وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ النِّسَاءِ إِلَّا مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ

Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu.” (QS. An Nisa’: 24)

4.      Wanita yang telah ditalak tiga, maka ia tidak boleh dinikahi oleh suaminya yang dulu sampai ia menjadi istri dari laki-laki lain.

Allah Ta’ala berfirman,

فَإِنْ طَلَّقَهَا فَلَا تَحِلُّ لَهُ مِنْ بَعْدُ حَتَّى تَنْكِحَ زَوْجًا غَيْرَهُ فَإِنْ طَلَّقَهَا فَلَا جُنَاحَ

 عَلَيْهِمَا أَنْ يَتَرَاجَعَا إِنْ ظَنَّا أَنْ يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ

Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan isteri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah.” (QS. Al Baqarah: 230)

5.      Wanita musyrik sampai ia masuk Islam.

Allah Ta’ala berfirman,

وَلَا تَنْكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّى يُؤْمِنَّ وَلَأَمَةٌ مُؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكَةٍ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ

Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu.” (QS. Al Baqarah: 221)

 

0 comments:

Posting Komentar