Rabu, 03 November 2010

PEMAHAMAN “DOKTRIN” YANG TIDAK KOMPERHENSIF

PEMAHAMAN “DOKTRIN” YANG TIDAK KOMPERHENSIF

Azhar Muttaqin
Ketua Jurusan Syari’ah Fakultas Agama Islam UMM

Sepasang suami istri ketika menjalin ikatan pernikahan tentu didasarkan pada keinginan, hasrat dan kebutuhan untuk menyalurkan rasa kasih sayang, hasrat biologis dan juga untuk memperoleh keturunan. Dan ketika memutuskan untuk memilih pasangan hidup, masing-masing baik suami maupun istri berharap mendapatkan perlakuan yang baik, layak dan mendatangkan ketentraman lahir maupun batin dari pasangannya. Khususnya istri. Sebagai makhluk yang secara fisik tidak lebih kuat dari pada laki-laki berharap dengan keberadaan suami di sisinya ia merasa aman, tenang dan terlindungi.
Akan tetapi seringkali idealisme indahnya hidup berumah tangga rusak bahkan hancur dengan terjadinya konflik antara kedua belah pihak. Biasanya, konflik dalam rumah tangga itu dianggap wajar sebagai proses adaptasi dan mencari titik temu solusi atas permasalahan yang muncul selama mengarungi hidup berumah tangga. Akan tetapi kewajaran tersebut juga tergantung pada intensitas dan kualitas konflik yang terjadi. Apabila konflik rentan terjadi bahkan sudah mengarah pada tindakan kekerasan, maka hal itu sudah tidak bisa dianggap sebagai kewajaran lagi.
Tindakan kekerasan dalam rumah tangga mayoritas dilakukan oleh suami kepada istri. Diskursus tentang hal inipun sering diangkat karena sudah menjadi momok dalam kehidupan rumah tangga. Banyak fakta membuktikan, ketika pasangan suami istri tidak mampu menghadapi kompleksnya konflik rumah tangga menjadikan tindakan kekerasan mudah untuk dilakukan, khususnya dalam bentuk dipukulnya istri oleh suaminya. Pernah dimuat di majalah Family Relation bahwa di Amerika laki-laki memukul istrinya hingga mengalami koma sebanyak 79%. Dan 17% dari wanita yang dipukul suami harus dirawat di rumah sakit jiwa. Begitu juga yang terjadi di Inggris dan Perancis, demikian di Indonesia. Pada tahun 2007, jumlah kasus kekerasan suami terhadap istri berujung pada perceraian yang ditangani oleh 43 Pengadilan Agama mencapai 8.555 kasus.
Dalam Islam dikenal doktrin bolehnya melakukan kekerasan fisik berupa memukul istri oleh suami sebagai sarana menyadarkannya karena telah berbuat nusyûz. Hal ini termaktub dalam al-Qur`ân surat an-Nisâ ayat 34 yang artinya; …wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyûznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kata idhribû dalam ayat tersebut seringkali diartikan "pukul lah mereka (istri)". Memukul sebagaimana artinya dalam kamus besar besar bahasa Indonesia kontemporer mengandung arti sebuah tindakan atau aksi fisik seperti meninju atau menampar dengan menggunakan anggota fisik seperti tangan atau benda seperti kayu dan lain-lain (Peter Salim, 1991: 1202).
Ayat ini ternyata telah mengundang diskusi dan perdebatan yang cukup sengit yang berujung pada sikap meragukan resistensi ajaran Islam terhadap klaimnya sebagai ajaran yang kompatibel dengan segala waktu dan tempat. Sementara ayat di atas telah memberi legitimasi kepada seorang suami untuk melakukan tindakan kekerasan agar memukul istri yang dianggap membangkang terhadap suami. Isu 'pukul istri' ini pada kahir maret 2007 menurut Sofjan S Siregar (lihat di www.mui.or.id) pernah mendominasi acara diskusi ICMI Orwil Eropa yang bekerja sama dengan Universitas Islam Eropa Rotterdam di Belanda. Seorang nara sumber menyulut isu kontroversial ini dengan membenarkan fatwa kebolehan suami memukul istri dalam upaya mencari solusi keutuhan rumah tangga dalam Islam sesuai ajaran dan petunjuk al-Qur`ân. Sontak hal itu menuai kecaman dan reaksi keras yang sangat besar dari berbagai kalangan, khususnya dari hampir semua organisasi wanita dan emansipasi serta HAM di Belanda. Menurut mereka hal itu telah merendahkan dan melecehkan harkat dan martabat wanita. Bahkan salah seorang anggota parlemen Belanda yang anti-Islam dari Partai Van Vrijheid (PVV alias Partai Kebebasan) Greet Wilders mengusulkan agar muslim yang ingin tinggal menetap di Belanda harus merobek separuh al-Qur`ân, karena dianggap sudah tidak tepat lagi untuk diterapkan di era kebebasan dan penegakan hak asasi manusia dan anti kekerasan saat ini.
Selain ayat di atas, dalam sebuah hadits juga diajarkan untuk bolehnya memukul anak dalam rangka mengajarkannya tentang sholat ketika sudah berumur 10 tahun. Hadits inipun juga seringkali mendapat tanggapan yang negatif yang mengarahkan pandangan bahwa metode pendidikan dan pembinaan dalam Islam untuk mencapai idealisme tertentu tidak pernah lepas dari tindakan kekerasan, khususnya fisik.
Budaya kekerasan yang mengatasnamakan Tuhan sebagai legitimatornya merupakan bahaya laten bagi keutuhan dan keharmonisan rumah tangga. Akan tetapi meniadakan kultur ini dari doktrin agama bukanlah pekerjaan yang mudah, karena pelakunya merasa tindakanya telah ditopang kuat oleh teks-teks suci.
Seringkali pemeluk agama lebih melihat kekerasan agama dengan paradigma good against evil atau meminjam istilah Mark Juergensmeyer sebagai cosmic war dimana penggunaan kekerasan adalah benar dengan dalih melawan kemungkaran dan kesesatan, bahkan hal ini juga sebagai bentuk ibadah. Celakanya, fenomena ini selalu ada hampir di setiap agama, setidaknya yang terbukti dalam rekaman sejarahnya.
Pemahaman normatif terhadap teks inilah yang sangat sulit diatasi. Para pemikir yang lebih moderat berupaya menawarkan enlightening melalui reinterpretasi terhadap teks dan kontekstualisasinya, namun mereka justru dianggap penyesat ummat,” hasil ijtihad mereka juga dianggap bid’ah dan sarat agenda ghozwul fikr. Meskipun demikian upaya pencerahan tetap harus terus digiatkan, mengingat interpretasi terhadap teks suci adalah motivator paling kuat yang menjadi pemicu kekerasan agama. Violence in the name of God (kekerasan atas nama tuhan) tidaklah beda dengan kekerasan lainnya, yang berbeda hanya motivasinya. Namun secara praksis membuahkan implikasi yang sama yaitu merendahkan kehidupan. Seolah nyawa dan kehormatan seseorang menjadi begitu murah ketika berhadapan dengan ujung pedang agama. Mencegah penggunaan agama sebagai weapon inilah yang harus diupayakan dalam membangun keharmonisan antar sesama manusia, khususnya dalam mendayung bahtera rumah tangga. Karena dengan demikian keselamatan seseorang dalam berumah tangga dapat lebih terjamin.

ULUMUDDIN, Volume II, Tahun II, Januari-Juni 2008


0 komentar:

Posting Komentar