This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Rabu, 03 November 2010

PEMAHAMAN “DOKTRIN” YANG TIDAK KOMPERHENSIF

PEMAHAMAN “DOKTRIN” YANG TIDAK KOMPERHENSIF

Azhar Muttaqin
Ketua Jurusan Syari’ah Fakultas Agama Islam UMM

Sepasang suami istri ketika menjalin ikatan pernikahan tentu didasarkan pada keinginan, hasrat dan kebutuhan untuk menyalurkan rasa kasih sayang, hasrat biologis dan juga untuk memperoleh keturunan. Dan ketika memutuskan untuk memilih pasangan hidup, masing-masing baik suami maupun istri berharap mendapatkan perlakuan yang baik, layak dan mendatangkan ketentraman lahir maupun batin dari pasangannya. Khususnya istri. Sebagai makhluk yang secara fisik tidak lebih kuat dari pada laki-laki berharap dengan keberadaan suami di sisinya ia merasa aman, tenang dan terlindungi.
Akan tetapi seringkali idealisme indahnya hidup berumah tangga rusak bahkan hancur dengan terjadinya konflik antara kedua belah pihak. Biasanya, konflik dalam rumah tangga itu dianggap wajar sebagai proses adaptasi dan mencari titik temu solusi atas permasalahan yang muncul selama mengarungi hidup berumah tangga. Akan tetapi kewajaran tersebut juga tergantung pada intensitas dan kualitas konflik yang terjadi. Apabila konflik rentan terjadi bahkan sudah mengarah pada tindakan kekerasan, maka hal itu sudah tidak bisa dianggap sebagai kewajaran lagi.
Tindakan kekerasan dalam rumah tangga mayoritas dilakukan oleh suami kepada istri. Diskursus tentang hal inipun sering diangkat karena sudah menjadi momok dalam kehidupan rumah tangga. Banyak fakta membuktikan, ketika pasangan suami istri tidak mampu menghadapi kompleksnya konflik rumah tangga menjadikan tindakan kekerasan mudah untuk dilakukan, khususnya dalam bentuk dipukulnya istri oleh suaminya. Pernah dimuat di majalah Family Relation bahwa di Amerika laki-laki memukul istrinya hingga mengalami koma sebanyak 79%. Dan 17% dari wanita yang dipukul suami harus dirawat di rumah sakit jiwa. Begitu juga yang terjadi di Inggris dan Perancis, demikian di Indonesia. Pada tahun 2007, jumlah kasus kekerasan suami terhadap istri berujung pada perceraian yang ditangani oleh 43 Pengadilan Agama mencapai 8.555 kasus.
Dalam Islam dikenal doktrin bolehnya melakukan kekerasan fisik berupa memukul istri oleh suami sebagai sarana menyadarkannya karena telah berbuat nusyûz. Hal ini termaktub dalam al-Qur`ân surat an-Nisâ ayat 34 yang artinya; …wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyûznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kata idhribû dalam ayat tersebut seringkali diartikan "pukul lah mereka (istri)". Memukul sebagaimana artinya dalam kamus besar besar bahasa Indonesia kontemporer mengandung arti sebuah tindakan atau aksi fisik seperti meninju atau menampar dengan menggunakan anggota fisik seperti tangan atau benda seperti kayu dan lain-lain (Peter Salim, 1991: 1202).
Ayat ini ternyata telah mengundang diskusi dan perdebatan yang cukup sengit yang berujung pada sikap meragukan resistensi ajaran Islam terhadap klaimnya sebagai ajaran yang kompatibel dengan segala waktu dan tempat. Sementara ayat di atas telah memberi legitimasi kepada seorang suami untuk melakukan tindakan kekerasan agar memukul istri yang dianggap membangkang terhadap suami. Isu 'pukul istri' ini pada kahir maret 2007 menurut Sofjan S Siregar (lihat di www.mui.or.id) pernah mendominasi acara diskusi ICMI Orwil Eropa yang bekerja sama dengan Universitas Islam Eropa Rotterdam di Belanda. Seorang nara sumber menyulut isu kontroversial ini dengan membenarkan fatwa kebolehan suami memukul istri dalam upaya mencari solusi keutuhan rumah tangga dalam Islam sesuai ajaran dan petunjuk al-Qur`ân. Sontak hal itu menuai kecaman dan reaksi keras yang sangat besar dari berbagai kalangan, khususnya dari hampir semua organisasi wanita dan emansipasi serta HAM di Belanda. Menurut mereka hal itu telah merendahkan dan melecehkan harkat dan martabat wanita. Bahkan salah seorang anggota parlemen Belanda yang anti-Islam dari Partai Van Vrijheid (PVV alias Partai Kebebasan) Greet Wilders mengusulkan agar muslim yang ingin tinggal menetap di Belanda harus merobek separuh al-Qur`ân, karena dianggap sudah tidak tepat lagi untuk diterapkan di era kebebasan dan penegakan hak asasi manusia dan anti kekerasan saat ini.
Selain ayat di atas, dalam sebuah hadits juga diajarkan untuk bolehnya memukul anak dalam rangka mengajarkannya tentang sholat ketika sudah berumur 10 tahun. Hadits inipun juga seringkali mendapat tanggapan yang negatif yang mengarahkan pandangan bahwa metode pendidikan dan pembinaan dalam Islam untuk mencapai idealisme tertentu tidak pernah lepas dari tindakan kekerasan, khususnya fisik.
Budaya kekerasan yang mengatasnamakan Tuhan sebagai legitimatornya merupakan bahaya laten bagi keutuhan dan keharmonisan rumah tangga. Akan tetapi meniadakan kultur ini dari doktrin agama bukanlah pekerjaan yang mudah, karena pelakunya merasa tindakanya telah ditopang kuat oleh teks-teks suci.
Seringkali pemeluk agama lebih melihat kekerasan agama dengan paradigma good against evil atau meminjam istilah Mark Juergensmeyer sebagai cosmic war dimana penggunaan kekerasan adalah benar dengan dalih melawan kemungkaran dan kesesatan, bahkan hal ini juga sebagai bentuk ibadah. Celakanya, fenomena ini selalu ada hampir di setiap agama, setidaknya yang terbukti dalam rekaman sejarahnya.
Pemahaman normatif terhadap teks inilah yang sangat sulit diatasi. Para pemikir yang lebih moderat berupaya menawarkan enlightening melalui reinterpretasi terhadap teks dan kontekstualisasinya, namun mereka justru dianggap penyesat ummat,” hasil ijtihad mereka juga dianggap bid’ah dan sarat agenda ghozwul fikr. Meskipun demikian upaya pencerahan tetap harus terus digiatkan, mengingat interpretasi terhadap teks suci adalah motivator paling kuat yang menjadi pemicu kekerasan agama. Violence in the name of God (kekerasan atas nama tuhan) tidaklah beda dengan kekerasan lainnya, yang berbeda hanya motivasinya. Namun secara praksis membuahkan implikasi yang sama yaitu merendahkan kehidupan. Seolah nyawa dan kehormatan seseorang menjadi begitu murah ketika berhadapan dengan ujung pedang agama. Mencegah penggunaan agama sebagai weapon inilah yang harus diupayakan dalam membangun keharmonisan antar sesama manusia, khususnya dalam mendayung bahtera rumah tangga. Karena dengan demikian keselamatan seseorang dalam berumah tangga dapat lebih terjamin.

ULUMUDDIN, Volume II, Tahun II, Januari-Juni 2008


struktur Sosial Sekolah


  • Struktur sosial dalam sekolah adalah :
  1. Materilnya (guru, murid dll)
  2. Hubungan antar materil (apa yang diharapkan guru dari murid dan sekolah)
  3. hakekat masyarakat itu sebagai keseluruhan (yakni cara bagian bagian menjadi suatu kesatuan yang menjalankan fungsinya)
  • dalam struktur sosial sekolah, kepala sekolah menempati posisi teratas dan pesuruh sekolah adalah yang terendah.
  • Kedudukan dan status menentukan posisi seseorangdalam struktur sosial
  • Kedudukan dan status indvidu juga mempengaruhi perananya.
  • Kedudukan seorang ada yang diperoleh berdasarkan kelahiran, ada pula yang diperoleh berkat usahanya sendiri
  • Peranan adalah konsekuensi atau akibat kedudukan atau posisi seseorang yang mencakup hak dan kewajiban yang bertalian dengan kedudukan

Tingkat kedudukan dalam masyarakat sekolah :
    1. yang berkenaan dengan orang dewasa serta hubungan diantara mereka : mengenai kasek,guru, pegawai administrasi, pesuruh.
    2. yang berkenaan dengan system kedudukan dan hubungan antara murid-murid.

Kedudukan kepala sekolah di sekolah:
  1. menduduki posisi teratas dan sebagai pemimpin dalam struktur sekolah
  2. merupakan perantara antara atasan yakni kanwil dan guru
  3. sebagai konsultan yang memberikan nasehat, petunjuk dan saran kepada guru dalam usaha memperbaiki mutu sekolah
  4. sebagai pelindung dan perisai guru terhadap reaksi dari pihak luar

kedudukan guru dalam struktur sekolah :
  1. sebagai pegawai dan bawahan dari kepala sekolah
  2. sebagai tenaga pengajar

Hubungan Guru-Murid mempunyai ciri sebagai berikut :
  1. terdapat status yang berbeda antara murid dan guru. Guru mempunyai status yang lebih tinggi dari murid
  2. biasanya murid diharapkan mengalami perubahan kelakuan sebagai hasil belajar
  3. perubahan kelakuan yang diharapkan mengenai hal-hal tertentu yang lebih spesifik, misalnya agar menguasai bahan pelajaran tertentu

clique atau kelompok di kalangan guru disebabkan berbagai factor antaralain :
  1. jenis kelamin
  2. minat professional untuk membicarakan masalah-masalah pendidikan
  3. kesamaan minat
  4. lokasi atau tempat tinggal


struktur sosial murid di sekolah :
  • pada umumnya struktur sosial murid bersifat tak formal. Kedudukan murid dalam sekolah hanya diketahui dalam lingkungan sekolah saja.
  • Untuk mempelajari struktur informal murid, maka digunakan beberapa metode. Antara lain :
    1. Teknik sosiometri : dalam garis besarnya kepada murid ditanyakan berbagai hal menyangkut murid lainya. Maka hasil pertanyaan ini akan menghasilkan sosiogram.
    2. Metode partisipasi-observasi : yakni sambil turut berpartisipasi dalam kelompok tertentu selama beberapa waktu mengadakan observasi tentang kelompok tertentu.
  • Di dalam sekolah terdapat kedudukan murid dan hubungan di antara mereka. Antara lain :
    1. Hubungan dan kedudukan berdasarkan usia dan tingkat kelas
    2. Struktur sosial berhubungan dengan kurikulum
    3. Kelompok persahabtan di sekolah
    4. Hubungan struktur masyarakat dengan pengelompokandi sekolah
    5. Kelompok elite
    6. Kelompok siswa yang mempunyai organisasi formal

Sosiologi pendidikan, Nasution.S Prof.Dr.MA, Jemmars, Bandung, 1983
fahdi yang nulis

Senin, 01 November 2010

PESANTREN SEBAGAI SUBKULTUR

 
PESANTREN SEBAGAI SUBKULTUR



Pengakuan bahwa pesantren adalah subkultur masih berupa usaha pengenalan identitas kulturil yang dilakukan dari luar kalangan pesantren, bukanya oleh kalangan pesantren sendiri. Jika diingat pendekatan ilmiyah yang terbaik untuk mengenal hakekat sebuah lembaga kemasyarakatan adalah pendekatan naratif (narrative), dimana kalangan lembaga itu sendiri yang melakukan identifikasi dalam bentuk monografi-monografi.
Dengan demikian, selama istilah itu belum diuji secara ilmiah-murni, kesimpulan apapun juga yang didapat dari penggunaan masih akan berupa kesimpulan sementara, tetapi sifat kesementaraan itu tidak mengurangi nilai objektifitas ilmiahnya.
            Dengan pola kehidupan yang unik, pesantren mampu bertahan selama berabad-abad untuk mempergunakan nilai-nilai hidupnya sendiri. Karena itu dalam jangka panjang pesantren berada dalam kedudukan kulturil yang relative lebih kuat daripada masyarakat sekitarnya, kedudukan ini dapat dilihat dari kemampuan pesantren untuk melakukan transformasi total dalam sikap hidup masyarakat sekitarnya, tanpa ia sendiri harus mengorbankan identitas dirinya. Pola pertumbuhan hamper setiap pesantren menunjukan gejala kemampuan melakukan perubahan total ini. Bermula dari inti sebuah surau guna keperluan ibadat dan pengajaran, kemudian pesantren berkembang menjadi lembaga masyarakat yang memainkan peranan dominan dalam pembentukan tata nilai bersama yang berlaku bagi kedua belah pihak. Dalam proses pembinaan inti surau yang kecil hingga menjadi suatu lembaga masyarakat yang kompleks dengan kelengkapanya sendiri, pesantren juga merubah pola kehidupan masyarakat di sekitarnya.
Keberhasilan pesantren selama ini mempertahankan diri dari serangan kulturil yang silih berganti, sebagaian besar  dapat dicari sumbernya pada karisma yang cukup fleksible untuk mengadakan inovasi pada waktunya. Penunjang kehidupan pesantren dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu warga pesantren dan warga masyarakat luar yang mempunyai hubungan erat dengan pesantren.
Yang termasuk dalam warga pesantren adalah kyai (ajengan,nun, atau bendara) yang menjadi pengasuh, para guru (ustadz, bentuk ganda asatidz) dan para santri. Kepengurusan pesantren adakalanya berbentuk sederhana. Dimana kyai memegang pimpinan mutlak dalam segala hal. Sedangkan kepemimpnanya itu seringkali diwakilkan kepada seorang ustadz senior selaku lurah pondok. Seorang kyai dan para pembantunya, merupakan hirarki kekuasaan satu-satunya yang secara eksplisit diakui di dalam pesantren. Demikian besar kekuasaan seorang kyai atas santrinya, sehingga seorang santri untuk seumur hidupnya akan senantiasa merasa terikat dengan kyainya, minimal sebagai sumber inspirasi dan sebagai penunjang moril dalam kehidupanya.
Adapun  kedudukan ustadz memiliki dua fungsi pokok : sebagai latihan penumbuhan kemampuanya untuk menjadi kyai dikemudian hari, dan sebagai pembantu kyai dalam mendidik para santri. Dan yang dimaksud dengan santri adalah siswa yang tinggal di pesantren, guna menyerahkan diri. Ini merupakan persyaratan mutlak untuk memungkinkan dirinya menjadi anak didik kyai sepenuhnya.
Sedangkan yang dimaksud masyarakat luar adalah sebuah kelompok masyarakat yang dinamai “golongan santri” ( dikenal juga dengan sebutan “masyarakat kaum”, sedangkan daerah tempat tinggal mereka biasa disebut “kauman”). Golongan masyarakat kauman inilah yang ikut memelihara pesantren dengan memberikan dukungan meteril dan menyediakan calon santri yang akan belajar di pesantren. 
  Selain golongan masyarakat kauman, pesantren juga berhasil menciptakan “santri kota”. Yaitu santri yang pada umumnya tinggal di kota dan jarang melakukan hubungan secara langsung dengan pesantren, akan tetapi mereka menggunakan ajaran yang mereka dapatkan dari pesantren dalam kehidupan social mereka, seperti masalah bagi hasil pekerjaan ( qirad ) yang khusus antara pemilik modal dan fihak yang melaksanakan pemutaran modal (dimana bagian yang diserahkan kepada fihak kedua harus dianggap upah bukan laba).
Sedangkan tata nilai kehidupan yang ada dalam pesantren bersifat aplikatif, dalam arti harus diterjemahkan dalam perbuatan dan amalan sehari-hari, sudah tentu segi kemampuan para santri untuk mengaplikasikan pelajaran yang diterimanya, menjadi perhatian pokok kyai.
Pesantren terlibat dalm proses penciptaan tata nilai yang memiliki dua unsur utama : yaitu peniruan dan pengekangan. Unsur pertama, yaitu peniruan, adalah usaha yang dilaksanakan terus-menerus secara sadar untuk memindahkan pola kehidupan para sahabat Nabi SAW dan para ulama salaf ke dalam praktek kehidupan di pesantren. Tercermin dalam hal berikut ; ketaatan beribadat ritual secara maksimal, penerimaan atas kondisi materil yang relative serba kurang, kesadaran kelompok yang tinggi. Unsure kedua, pengekangan,  memiliki perwujudan utama dalam disiplin social yang ketat di pesantren. Kesetiaan tunggal kepada pesantren adalah dasar pokok disipllin ini, sedangkan pengucilan yang dijatuhkan atas pembangkangnya merupakan konsekwensi mekanisme pengekangan yang dipergunakan.
Disamping topongan moril dari seorang kyai bagi kehidupan pribadinya. Kreteria yang biasanya digunakan untuk mengukur kesetiaan seorang santri kepada pesantren adalah kesungguhanya dalam melaksanakan pola kehidupan yang tertera dalam literature fiqh dan tasawuf. Salah satu bentuk penerapan kreteria ini adalah sebuah sebutan “ahli maksiat” bagi semua santri yang melanggar dan dikucilakan.
Kehidupan di pesantren yang diwarnai oleh aserisme yang dikombinir dengan kesediaan melakukan segenap perintah kyai guna memperoleh berkah kyai, sudah barang tentu memberikan bekas yang mendalam pada jiwa seorang santri, dan bekas inilah yang pada gilianya nanti akan membebtuk sikap hidupnya sendiri. Sikap hidup bentukan pesantren ini, apabila dibawakan kedalam kehidupan masyarakat luar, sudah barang tentu pula  akan menjadi pilihan ideal bagi sikap hidup rawan yang serba tak menentu yang merupakan ciri utama kondisi serba transisionil dalam masyarakat dewasa ini. Di sinilah letak daya tarik yang besar dari pesanten sehingga para orang tua masih cukup banyak yang bersedia mengirimkan putera-puterinya untuk belajar di pesantren.
Leitmotif ini dapat dijumpai. Umpanya, pada orang tua yang menyantrikan anaknya untuk waktu terbatas saja di pesantren, untuk mendapatkan pengalaman psikologis yang dianggap sangat diperlukan oleh sang anak. Sangat menarik, sebagaimana digambarkan, yaitu usaha beberapa pesantren untuk mengembangkan “sekolah umum” seperti SMP dan SMA dalam lingkunganya, dengan pengetahuan agama tidak lagi merupakan profesi utama para santrinya.
Sedangkan pengaruh utama yang dimiiki pesantren atas kehidupan masyarakat terletak pada hubungan perorangan yang menembus segala hambatan yang diakibatkan oleh pebedaan strata yang aa di masyarakat. Hubungan ini merupakan jalur timbal-balik yang memiliki dua tugas : mengatur bimbingan spiritual dari fihak pesantren kepada masyarakat dalam soal-soal perdata agama ( perkawinan, waris dll ), dan soal ibadat ritual, dan pemeliharaan materil-finansil oleh masyarakat atas pesantren ( dalam bentuk pengumpulan dana dll ). Bagi anggota masyarakat luar, kehidupan pesantren merupakan gambaran ideal yang tidak mungkin dapat direalisir dalam kehidupanya : dengan demikian pesantren adalah tempat yang dapat memberikan kekuatan spiritual kepadanya dalam saat-saat tertentu.
 di samping itu, bagi pesantren yang menjadi pusat gerakan (tasawuf), terdapat daya tarik dalam kedudukan sebagai pusat gerakan. Tidak jarang pula factor kharismatik yang dimiliki seorang Kyai merupakan daya tarik yang kuat pula.
Hubungan yang matang dan didasarkan atas prinsip-prinsip kerjasama yang sehat tentu akan sangat berguna bagi kedua belah pihak, bagi pesantren hubungan ini akan berarti diperolehnya bimbingan teknis dan dana materil untuk perkembanganya sendiri : bagi masyarakat, hubungan ini akan mengurangi rasa terisolir yang dapat beralibat cukup parah apabila mencapai titik optimal dalam bentuk opsesi.
Dari apa yang telah diuraikan, tampak nyata bahwa proses perubahan sedang terjadi di pesantren, terutama dalam aspek pembentukan tata nilai di dalamnya. Perubahan itu, demikian pula tantangan-tantangn yang dihadapi pesantren dewasa ini, memiliki intensitas lebih tinggi daripada perubahan gradual yang dialami pesantren di masa lampau. Karenanya, pesantren dewasa ini dapat dikatan berada dipersimpangan jalan yang sangat menentukan bagi kelanjutan hidupnya sendiri. Pesantren harus menentukan pilihan diantara berbagai alternative, yang tidak semuanya menggembirakan. Terlebih lagi, pesantren harus mengadakan perubahan kwalitatif yang menyeluruh, terutama dalam sikap hidup yang dimilikinya. Memang banyak kemajuan yang telah dicapai, terutama karena pesantren-pesantren utama dewasa ini tengah terlibat dalam proses mencapai keseimbangan antara tata nilai yang dihayatinya selama ini dan nilai-nilai baru yang menyerap kedalamnya secara massif, terutama sebagai akibat dari perubahan kwasi-politik semenjak pemilihan umum tahun1971.
Tetapi proses lain yang sedang berlangsung pada intensitas tinggi adalah usaha penyerapan terang-terangan yang lebih fundamental terhadap tata nilai yang sudah ada, terutama berupa gejala yang cukup mengkhawatirkan berlangsungnnya proses pendangkalan pengetahuan agama di pesantren. Di antara tantangan yang fundamental itu adalah berlangsungnya proses pengalihan tanggunga jawab dalam mengambil keputusan terakhir dalam suatu persoalan dari tangan kyai kepada rapat pengurus, dengan implikasi semakin banyaknya kyai yang menenpati kedudukan primus interpares. Namun diketahui adalah proses ini akan berakhir pada habisnya kekuasaan tunggal seorang kyai di pesantren.
Kemampuan pesantren untuk tetap dapat mempertahankan identitas dirinya yang bersifat subkulturil sedang diuji. Masih menjadi pertanyaan besar mampu atau tidaknya ia menyerap perubahan demi perubahan kulturil yang sedang dan akan berlangsung di masyarakat, minimal dengan tidak kehilangan tata nilai yang telah dimilikinya selama ini. Di tengah suasana kemasyarakatan dimana kata-kata kejujuran, kesungguhan, kepatuhan dan kesederhanaan tengah mengalami pemutar-balikan pengertian secara sinis, niscara merupakan tragedy bila pesantren harus mengalami pemutar-balikan tata nilai yang telah dimilikinya selama ini. 

Pesantren Sebagai Subkultur ole Abdurrahnan Wahid

Disajikan dalam bentuk makalah guna memenuhi tugas Pak Khozin Msi. Mata kuliah Sejarah Pendidikan Islam




qishas

Qishash


Pengertian Qishas

Secara bahasa memiliki arti “mengikuti jejaknya atau kesannyaتتبع الأثر  sepertiقصصت الأثرberarti: “aku mengikuti jejaknya
Menurut syaraâ’ qishash ialah pembalasan yang serupa dengan perbuatan pembunuhan melukai merusakkan anggota badan atau menghilangkan manfaatnya, sesuai pelangarannya.

Qishash ada dua macam:

1.       Qishash jiwa, yaitu hukum bunuh bagi tindak pidana pembunuhan.
2.       Qishash anggota badan, yakni hukum qishash atau tindak pidana melukai, merusakkan anggota badan, atau menghilangkan manfaat anggota badan.

Hukum Qishash

Hukum qishas adalah wajib dijalankan oleh pemerintah ketika kasus tersebut diangkat oleh mustahiq al-qishâsh. Dari sisi mustahiq al-qishâsh pula di perkenankan (mubâh) untuk meminta dihukum kisas ketika mencukupi syarat-syaratnya. Mustahiq al-qishâsh juga diperkenan untuk melakukan perdamaian atau malah permaafan. Sedangkan yang paling afdal adalah permaafan, baru perdamaian.
Dasar qishas adalah dari beberapa nash:
 يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِصَاصُ فِي الْقَتْلَى الْحُرُّ بِالْحُرِّ وَالْعَبْدُ بِالْعَبْدِ وَالْأُنْثَى بِالْأُنْثَى فَمَنْ عُفِيَ لَهُ مِنْ أَخِيهِ شَيْءٌ فَاتِّبَاع بِالْمَعْرُوفِ

   وَأَدَاءٌ إِلَيْهِ بِإِحْسَانٍ ذَلِكَ تَخْفِيفٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَرَحْمَةٌ فَمَنِ اعْتَدَى بَعْدَ ذَلِكَ فَلَهُ عَذَابٌ أَلِيمٌ
     
       Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka Barangsiapa yang mendapat suatu pema'afan dari saudaranya, hendaklah (yang mema'afkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi ma'af) membayar (diat) kepada yang memberi ma'af dengan cara yang baik (pula). yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat.Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, Maka baginya siksa yang sangat pedih”.

وَلَا تَقْتُلُوا النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ وَمَنْ قُتِلَ مَظْلُومًا فَقَدْ جَعَلْنَا لِوَلِيِّهِ سُلْطَانًا فَلَا يُسْرِفْ فِي الْقَتْلِ إِنَّهُ كَانَ مَنْصُورًا

       “Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan) yang benar dan Barangsiapa dibunuh secara zalim, Maka Sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan kepada ahli warisnya, tetapi janganlah ahli waris itu melampaui batas dalam membunuh. Sesungguhnya ia adalah orang yang mendapat pertolongan”.

Syarat-Syarat Qishash

A. Pembunuh sudah baligh dan berakal (mukallaf). Tidak wajib qishash bagi anak kecil atau orang   gila, sebab mereka belum dan tidak berdosa.
B. Pembunuh bukan bapak dari yang terbunuh. Tidak wajib qishash bapak yang membunuh anaknya. Tetapi wajib qishash bila anak membunuh bapaknya.
C. Orang yang dibunuh sama derajatnya, Islam sama Islam, merdeka dengan merdeka, perempuan dengan perempuan, dan budak dengan budak.
D. Qishash dilakukan dalam hal yang sama, jiwa dengan jiwa, anggota dengan anggota, seperti mata dengan mata, telinga dengan telinga.
E. Qishash itu dilakukan dengn jenis barang yang telah digunakan oleh yang membunuh atau yang melukai itu.
F. Orang yang terbunuh itu berhak dilindungi jiwanya, kecuali jiwa orang kafir, pezina mukhshan, dan pembunuh tanpa hak. Hal ini selaras hadits rasulullah, ‘tidakklah boleh membunuh seseorang kecuali karena salah satu dari tiga sebab: kafir setelah beriman, berzina dan membunuh tidak dijalan yang benar/aniaya’ (HR.Turmudzi dan nasai’)

Pembunuhan oleh massa atau sekelompok orang.
Sekelompok orang yang membunuh seorang harus diqishash, yaitu hukumnya mereka dibunuh semuanya.

Qishash anggota badan

Semua anggota tubuh ada qishashnya. Hal ini selaras dengan firman-nya,

 وكتبنا عليهم فيها أن النفس بالنفس والعين بالعين والأنف بالأنف والأذن بالأذن والسن بالسن والجروح قصاص فمن تصدق به فه كفارة له ومن لم يحكم بما أنزل الله فأولئك هم الظالمون

Dan kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (at taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka luka (pun) ada kisasnya. Barangsiapa yang melepaskan (hak kisas) nya, maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim.’ (qs. Al-maidah : 45)

Syarat-syarat qishas dari anggota tubuh
Korban haruslah seorang yang ma'sum dan satu derajat dengan pelaku dalam masalah agamanya, sehingga seorang Muslim tidak mungkin di qishas dari seorang kafir, hendaklah pelaku seorang mukallaf, korban bukan anak dari pelaku, dan kejahatan dilakukan dengan sengaja, apabila seluruh syarat ini telah terlaksana, maka pelaksanaan qishas wajib untuk dilaksanakan ketika adanya syarat-syarat berikut:

Syarat-syarat pelaksanaan qishas pada anggota tubuh:

1- Terbebas dari kedzoliman: yaitu dengan melakukan pemotongan dari persendian, atau pada batasan yang ada.
2- Sesuai dalam nama dan tempat: contohnya mata dengan mata, sesuatu yang berada di kanan tidak diambil dari kirinya, tidak pula jari kelingking diambil dari jari manis, dan begitu seterusnya.
3-Kesetaraan dalam kesehatan serta kesempurnaan: tangan atau kaki sempurna tidak diambil dari yang cacat, mata melihat tidak diambil dari yang buta, sedangkan kebalikannya bisa dilakukan tanpa diyat baru.

Apabila seluruh syarat tersebut telah terealisasi, barulah qishas bisa dilaksanakan, sedangkan bila tidak terealisasi maka qishas akan batal dan berpindah menjadi diyat.

Dianjurkan untuk memberikan ampunan dari qishas yang berhubungan dengan anggota tubuh maupun luka dan beralih menjadi diyat, yang lebih baik darinya adalah memberikan ampunan dengan cuma-cuma. Barang siapa yang memaafkan dan berbuat ishlah, maka ganjarannya berada disisi Allah, sebagaimana hal tersebut dianjurkan untuk diminta dari dia yang berkuasa atasnya.

 عن أنس بن مالك رضي الله عنه قال:  ما رفع إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم شيء فيه القصاص إلاّ أمر فيه بالعفو. أخرجه أبو داود وابن ماجه
 Berkata Anas bin Malik r.a: tidak ada suatu permasalahanpun yang diangkat kepada Rasulullah SAW berhubungan dengan qishas, kecuali beliau akan meminta untuk dimaafkan. (HR Abu Dawud dan Ibnu Majah)
Hikmah Qishas
Hikmah qishash ialah supaya terpelihara jiwa dari gangguan pembunuh. Apabila sesorang mengetahui bahwa dirinya akan dibunuh juga. Karena akibat perbuatan membunuh oran g, tentu ia takut membunuh orang lain. Dengan demikian terpeliharalah jiwa dari terbunuh. Terpeliharalah manusia dari bunuh-membunuh.
Ringkasnya, menjatuhkan hukum yang sebanding dan setimpal itu, memeliharakan hidup masyarakat dan Al-Quran tiada menamai hukum yang dijatuhkan atas pembunuh itu, dengan nama hukum mati atau hukum gantung, atau hukum bunuh, hanya menamai hukum setimpal dan sebanding dengan kesalahan. Hal ini menjadi bukti betapa tinggi dan benarnya ajaran Islam terutama yang berkenaan hukum qishash atau hukum pidana Islam.
Dan kiranya hanya ini ringkasan pembahasan bab qishas semoga bermanfaat wallahua’lam bisshowab